Media Asuransi, JAKARTA – Fitch Ratings telah mengafirmasi Peringkat Jangka Panjang Mata Uang Asing Issuer Default Rating (LT FC IDR) PT Profesional Telekomunikasi Indonesia (Protelindo) di ‘BBB’.
Pada saat yang bersamaan, Fitch Ratings Indonesia juga mengafirmasi Peringkat Nasional Jangka Panjang dan Peringkat Nasional Senior Tanpa Jaminan di ‘AAA(idn)’. Outlook adalah Stabil.
Melalui keterangan resminya, Fitch menerangkan bahwa Outlook Stabil merefleksikan posisi pemimpin pasar Protelindo dalam industri menara Indonesia dan komitmen perusahaan terhadap peringkatnya saat ini. Profil bisnis Protelindo terus membaik, dengan kontribusi pendapatan yang lebih tinggi dari segmen bisnis non-menara dan konsolidasi dalam industri telekomunikasi dan menara. Namun, ruang gerak peringkat tetap rendah.
“Kami mengestimasi net debt/EBITDA pada tahun 2022 pada level 4,5x, walaupun kami memperkirakan ini akan membaik ke sekitar 4,0x pada tahun 2023,” jelasnya.
|Baca juga: Rencana Emisi Obligasi Protelindo Rp5 Triliun Diganjar Peringkat BBB/AAA
Peringkat Nasional ‘AAA’ menunjukkan peringkat tertinggi yang diberikan oleh Fitch dalam skala Peringkat Nasional untuk negara tersebut. Peringkat ini diberikan kepada emiten atau obligasi dengan ekspektasi risiko gagal bayar yang paling rendah dibandingkan dengan semua emiten atau obligasi lain di negara atau serikat moneter yang sama.
Fitch memperkirakan net debt/EBITDA Protelindo akan membaik ke sekitar 4,0x pada tahun 2023 (estimasi akhir-2022: 4,5x) didukung oleh penghasilan kas yang lebih tinggi dengan pertumbuhan kuat dari bisnis non-menara,
Manajemen berkomitmen untuk menurunkan leverage ke target jangka menengah net debt/EBITDA kuartal terakhir disetahunkan (LQA) pada level 2,5x-3,0x dari 4,3x di 2Q22, dan telah menargetkan pengembalian pemegang saham (dividen dan pembelian kembali saham) yang lebih rendah pada tahun 2022. Manajemen mempunyai rekam jejak yang kuat untuk memelihara struktur modal yang konservatif dengan net debt/LQA EBITDA sebesar 1,5x-2,5x pada periode 2015-2021.
Protelindo memimpin industri menara independen Indonesia dengan 29.263 menara dana 54.716 penyewa, dengan pangsa pasar sekitar 28% pada akhir-Juni 2022. Industri menara sekarang sebagian besar terkonsolidasi dengan tiga perusahaan menara terbesar – Protelindo, PT Dayamitra Telekomunikasi Tbk dan PT Tower Bersama Infrastructure Tbk (TBI, BBB-/AA+(idn)/Stabil), – mengontrol sekitar 74% dari pasar.
|Baca juga: Protelindo Jamin Pinjaman Solusi Tunas Pratama (SUPR) senilai Rp5,25 Triliun
Pasar yang tersisa ditempati oleh Edgepoint milik DigitalBridge Group Inc, yang memiliki 9.000 menara, dan beberapa perusahaan menara lebih kecil dengan 1.000-3.000 menara, seperti PT Bali Towerindo Sentra Tbk (A-(idn)/Stabil). Industri telekomunikasi juga telah terkonsolidasi setelah merger antar PT Indosat Tbk (BBB-/AA(idn)/Stabil) dan PT Hutchison 3 Indonesia (Hutch), yang telah mengurangi risiko gagal bayar oleh pelanggan untuk perusahaan-perusahaan menara.
Fitch tidak memandang risiko pembaruan kontrak sebagai hal yang signifikan karena hanya 6% dari kontrak perusahaan yang akan jatuh tempo pada tahun 2023 dan 15% pada tahun 2024. Permintaan sewa dari PT Telekomunikasi Indonesia Tbk (BBB/Stabil) dan PT XL Axiata Tbk (BBB/AAA(idn)/Stabil) dapat mengimbangi sewa yang tidak diperpanjang oleh Indosat selama 2022-2024.
Fitch mengestimasi Indosat kemungkinan akan mengakhiri sekitar 10% dari situsnnya saat ini untuk mengurangi biaya sewa sebagai bagian dari integrasi mergernya dengan Hutch. Rasio penyewa Protelindo membaik dengan kontribusi pendapatan dari tiga operator telekomunikasi dengan peringkat investment grade sebesar 87% pada akhir-Maret 2022 (2021: 58%).
Fitch percaya diversifikasi pendapatan akan terus membaik, dengan pendapatan dari bisnis non-menara meningkat ke 26% pada tahun 2023 (estimasi 2022: 22%). Akuisisi aset fiber sebesar 10.750km dari PT Alita Praya Mitra memperkuat portfolio fiber Protelindo dan akan mendorong pertumbuhan pendapatan dalam jangka menengah.
Bisnis fiberisasi menara mempunyai risiko profil bisnis yang sama dengan bisnis menara, didukung oleh kontrak jangka panjang yang tidak dapat dibatalkan (10-14 tahun), kepemilikan fiber dan operating leverage yang tinggi. Namun, marjin EBITDA yang sebesar 70%-75% lebih rendah daripada marjin EBITDA bisnis menara yang di atas 85%.
Fitch memperkirakan pendapatan Protelindo akan meningkat sebesar 26% ke sekitar Rp11 triliun pada tahun 2022 dan EBITDA akan meningkat 24% ke Rp9 triliun. Visibilitas arus kas tinggi, dengan pendapatan kontrak terkunci sebesar Rp65 triliun dengan rata-rata tertimbang sisa periode kontrak 5,8 tahun pada akhir-Juni 2022.
Pada 1H22, pendapatan dan EBITDA masing-masing meningkat sebesar 34% setelah konsolidasi penuh PT Solusi Tunas Pratama Tbk (STP) dan pertumbuhan bisnis non-menara. Marjin EBITDA secara definisi Fitch, akan menurun perlahan ke 80%-82% (2021: 83%) karena kontribusi pendapatan yang meningkat dari bisnis non-tower yang mempunyai marjin lebih rendah.
Fitch memperkirakan marjin arus kas bebas (FCF) Protelindo akan berada pada sekitar 13%-19% berkat penghasilan arus kas yang kuat untuk membiayai belanja modal dan pengembalian pemegang saham. Fitch memperkirakan rasio belanja modal/pendapatan pada tahun 2022 akan meningkat ke 33% (2021: 25%) karena belanja modal terkait fiber yang lebih tinggi. Belanja modal untuk jaringan fiber akan tetap tinggi, karena perusahaan menargetkan pembangunan 30.334km fiber (10.357km dibangun pada tahun 2021) untuk memperluas layanan konektivitas. “Kami mengestimasi 10% dari situs Protelindo akan jatuh tempo untuk pembaruan sewa tanah setiap tahun,” tegasnya.
| Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News