Media Asuransi, JAKARTA – Fitch Ratings telah menurunkan Peringkat Jangka Panjang Mata Uang Asing dan Mata Uang Lokal Issuer Default Rating (IDR) dari kontraktor milik negara PT Wijaya Karya (Persero) Tbk (WIKA) ke ‘B+’ dari ‘BB-‘.
Pada saat yang sama, Fitch Ratings Indonesia telah menurunkan Peringkat Nasional Jangka Panjang WIKA ke ‘BBB-(idn)’ dari ‘A-(idn)’. Outlook adalah Stabil. Fitch telah secara bersamaan menarik seluruh peringkat WIKA.
Dikutip dari keterangan resminya, Fitch menjelaskan penurunan peringkat mengikuti revisi ke bawah Fitch atas Profil Kredit Standalone (SCP) WIKA ke ‘ccc+’/’bb-(idn)’ dari ‘b-‘/’bbb-(idn)’. Revisi ini mencerminkan terbatasnya fleksibilitas keuangan WIKA yang terus berlanjut, dengan EBITDA/interest yang rendah pada 1,0x-1,5x, penghasilan arus kas yang lemah, dan leverage yang tinggi secara berkelanjutan.
IDR dan Peringkat Nasional Jangka Panjang WIKA diuntungkan dari peningkatan tiga notch dari SCP-nya. Hal ini didasari oleh penilaian kami atas kekuatan hubungannya dengan negara dan insentif pemerintah untuk memberikan dukungan berdasarkan Government-Related Entities (GRE) Rating Criteria Fitch, yang menghasilkan total skor dukungan agregat sebesar 15.
|Baca juga: Pefindo Tegaskan Peringkat Wijaya Karya (WIKA) idA Outlook Stabil
Peringkat Nasional ‘BBB’ menunjukkan tingkat risiko gagal bayar yang moderat relatif terhadap emiten atau obligasi lain di negara atau serikat moneter yang sama.
Fitch telah memilih untuk menarik peringkat-peringkat WIKA karena alasan komersial.
Fitch memperkirakan arus kas WIKA akan tetap berada di bawah tekanan dengan arus kas bebas (FCF) yang negatif karena pemulihan EBITDA yang lambat, siklus modal kerja yang panjang, dan kebutuhan belanja modal yang tinggi. Arus kas operasional perusahaan negatif pada 2021 dan 1H22 atas pengumpulan kas yang lambat karena beberapa pemilik proyek belum pulih seutuhnya dari pandemi.
“Kami percaya bahwa perusahaan akan butuh untuk terus bergantung pada utang untuk menutupi kekurangan arus kasnya, menyebabkan net debt/EBITDA-nya tetap tinggi di atas 10x pada 2022-2023.”
WIKA bertujuan untuk menjadi lebih selektif dalam melakukan penawaran untuk proyek-proyek dengan rekanan yang kuat, dan mengurangi beberapa investasinya pada anak-anak perusahaan. Perusahaan juga telah melakukan beberapa inisiatif asset recycling, seperti divestasi jalan tol Cengkareng-Kunciran dan pelabuhan Belawan pada 2022. Hasil dari penjualan aset ini akan membantu memperbaiki likuiditas perusahaan.
|Baca juga: Rekomendasi Saham Wijaya Karya (WIKA) Diturunkan Jadi Trading Buy
Fleksibilitas keuangan WIKA dilemahkan oleh utangnya yang bertumbuh dan coverage-nya yang lemah. Fitch memproyeksikan EBITDA/interest akan tetap rendah pada 1,0x-1,5x pada 2022-2023 (2021:1,5x). EBITDA belum pulih sepenuhnya dan pembayaran bunga kemungkinan akan lebih tinggi karena suku bunga dan utang yang meningkat untuk mendanai kekurangan kas. Pembayaran bunga yang lebih tinggi akan memperparah kekurangan arus kas dan berisiko meningkatkan ketergantungan perusahaan kepada utang untuk menjembatani kekurangan kasnya.
Fitch mengestimasi bahwa WIKA akan menghasilkan EBITDA margin, termasuk bagian laba operasi bersama (joint operation), sebesar 10%-12% pada 2022-2023 (2021:11%). Beberapa tekanan inflasi pada biaya bahan baku dapat menghambat pemulihan EBITDA pada 2022. Perusahaan telah berkomunikasi dengan pemilik-pemilik proyeknya untuk menegosiasikan beberapa kenaikan harga yang dibutuhkan di mana memungkinkan, dan lebih berhati-hati dalam pengembangan dan pelaksanaan proyek.
Fitch memperkirakan orderbook WIKA akan lebih rendah di bawah Rp100 triliun pada 2022-2023 karena perusahaan bermaksud untuk menjadi lebih selektif dalam perolehan kontrak baru dan pemilihan rekanan. Perusahaan bertujuan untuk fokus pada proyek-proyek di mana pemiliknya memiliki kapasitas keuangan yang cukup untuk pembayaran kas yang lebih lancar dan profitabilitas yang lebih baik untuk WIKA. Orderbook yang lebih rendah kemungkinan akan mempengaruhi pertumbuhan dan skala WIKA pada jangka menengah, tetapi membantu arus kas yang dihasilkan dari proyek. Orderbook WIKA sebesar Rp67 triliun pada akhir-1H22 lebih rendah daripada Rp88 triliun pada 2021 dan Rp98 triliun pada 2020.
Pemerintah Indonesia, melalui Kementrian Badan Usaha Milik Negara (BUMN), merupakan pemegang saham terbesar WIKA. Pemerintah memiliki 65% dari saham perusahaan dan kontrol yang kuat atas keputusan-keputusan strategis, investasi dan operasional perusahaan. Pemerintah juga memiliki saham dwiwarna yang memberikannya hak veto atas penunjukan dan pemberhentian anggota direksi, distribusi keuntungan dan M&A.
|Baca juga: Perolehan Kontrak di Atas Ekspektasi, Saham Wijaya Karya (WIKA) Direkomendasikan BUY
Fitch meyakini bahwa dukungan pemerintah, walaupun terus berlangsung, tidak cukup bagi WIKA untuk mempertahankan profil kredit yang cukup selama pandemi. Profil keuangan WIKA telah melemah secara material sejak 2020 dengan leverage yang meningkat dan coverage yang terbatas. Pemerintah terakhir memberikan suntikan modal pada 2016 sebesar Rp4 triliun. Perusahaan sejak saat itu telah bergantung pada pendanaan eksternal untuk proyek-proyeknya, didukung oleh hubungannya yang kuat dengan bank-bank milik negara.
Fitch menilai gagal bayar oleh WIKA memiliki implikasi sosio-politik yang ‘Moderat’ karena kontraktor-kontraktor milik negara dan swasta lainnya dapat hadir untuk menggantikan jasa konstruksi WIKA. Namun, dapat terjadi beberapa gangguan karena ukuran orderbook perusahaan senilai Rp67 triliun pada akhir Juni 2022, di mana 45%-nya merupakan proyek strategis nasional.
“Kami juga percaya bahwa gagal bayar WIKA memiliki implikasi keuangan yang ‘Moderat’ terhadap ketersediaan dan biaya pendanaan mendatang untuk negara dan BUMN lainnya. Hal ini didasarkan atas utang perusahaan yang lebih besar dari Rp25 triliun.”
| Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News