1
1

Indef: Motif Demonstrasi Bukan soal Asing tapi Masalah Perut

Direktur Eksekutif Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Esther Sri Astuti. | Foto: Media Asuransi/Muh Fajrul Falah

Media Asuransi, JAKARTA – Direktur Eksekutif Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Esther Sri Astuti menilai gelombang unjuk rasa yang belakangan merebak bukan sekadar isu politik atau campur tangan asing, melainkan dipicu oleh kebijakan fiskal yang dinilai semakin memberatkan rakyat.

“Kalau kita lihat motif demonstrasi yang ada di DPR itu sebenarnya bukan soal asing atau kelompok yang tidak ingin Indonesia maju. Ternyata ini masalah perut. Pajak bumi dan bangunan naik drastis,” ujar Esther, dalam diskusi publik secara virtual, Senin, 1 September 2025.

|Baca juga: CORE Indonesia Desak Pemerintah Koreksi Kebijakan Imbas Kerusuhan di RI

|Baca juga: Fasilitas Umum hingga Mobil Rusak Akibat Unjuk Rasa, AAUI: Segera Lakukan Klaim!

Ia menyoroti kesenjangan kesejahteraan yang semakin jomplang antara masyarakat dengan pejabat negara. Saat pekerja dengan upah minimum rata-rata hanya menerima Rp5 juta, di sisi lain anggota DPR justru memperoleh pendapatan resmi hingga Rp104 juta.

“Berarti kan (pendapatan DPR) 20 kali lipatnya. Di sisi lain, PHK terus terjadi dan Undang-Undang Ketenagakerjaan tidak memberikan perlindungan yang layak bagi tenaga kerja,” tegas Esther.

Selain menekan daya beli masyarakat, tambahnya, kondisi sosial-politik belakangan juga memberi dampak langsung ke pasar keuangan. Esther menyebutkan rupiah terdepresiasi terhadap dolar AS dan indeks saham terpantau turun.

“Riset menunjukkan kondisi politik ini berpotensi memengaruhi pergerakan nilai tukar dan IHSG. Pada 24 Maret, misalnya, IHSG turun 1,55 persen. Bahkan pengumuman tarif Trump 11 April juga membuat IHSG bereaksi,” katanya.

Esther mengingatkan persoalan fundamental ada pada struktur APBN. Belanja modal, menurutnya, jauh lebih kecil dibandingkan dengan belanja rutin yang sebagian besar terserap untuk gaji pegawai, belanja barang, dan pembayaran bunga utang. Sementara itu, penerimaan pajak sebagai tulang punggung APBN terus melambat.

|Baca juga: Transaksi Saham Bank Capital (BACA) Alami Volatilitas, Manajemen Buka Suara!

|Baca juga: Investor Asal Korea Selatan Lepas Seluruh Kepemilikan Saham di Bank KB Indonesia, Ada Apa?

“Kewajiban utang jatuh tempo tahun ini sekitar Rp800,33 triliun. Kalau ditambah bunga utang totalnya Rp1.353,18 triliun. Luar biasa besar, sementara penerimaan negara bukan pajak porsinya masih kecil dan rentan fluktuasi global,” jelas Esther.

Dalam kondisi seperti ini, ia menilai, prioritas fiskal pemerintah harus lebih diarahkan ke kebutuhan mendasar masyarakat, bukan sekadar memperbesar belanja pertahanan maupun tambahan fasilitas pejabat.

“Transparansi alokasi anggaran harus dijaga untuk menghindarkan distress masyarakat. Kenaikan pajak sebaiknya ditunda di tengah ekonomi yang lesu. Bahkan sebaiknya ada moratorium PPN, PBB, dan segera terapkan pajak kekayaan untuk kelompok super kaya,” ungkapnya.

Esther merekomendasikan pemerintah untuk lebih memfokuskan anggaran ke sektor riil, penciptaan lapangan kerja, serta efisiensi belanja agar konsumsi dalam negeri bisa terdorong.

|Baca juga: Saham Bank KB Indonesia (BBKP) Bergejolak, Ini Jawaban Resmi Perusahaan!

|Baca juga: BI Siaga Penuh Jaga Stabilitas Rupiah dan Kecukupan Likuiditas

“Lebih prioritas untuk saat ini adalah pendidikan, kesehatan, dan riset. Jangan memaksa anggaran program prioritas di luar kapasitas fiskal. Kalau terus dipaksakan, ekonomi justru makin terkontraksi,” pungkasnya.

Editor: Angga Bratadharma

| Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Related Posts
Prev Post Investor Asal Korea Selatan Lepas Seluruh Kepemilikan Saham di Bank KB Indonesia, Ada Apa?
Next Post 4 Saham Berpotensi Ngebut Hari Ini saat IHSG Diprediksi Rawan Koreksi

Member Login

or