Media Asuransi, DENPASAR – Bank-bank yang saat ini memiliki Unit Usaha Syariah (UUS) mesti menghitung dengan seksama dampak yang dapat ditimbulkan jika akan melakukan spin off dan mendirikan bank umum syariah (BUS). Terlebih, jika aturan dalam RUU P2SK yang menghapuskan kewajiban pemisahan (spin-off) UUS dari bank induk di tahun 2023, jadi diberlakukan.
Hal ini disampaikan oleh para pembicara dalam acara Media Training & Outing CIMB Niaga Syariah di Denpasar, Bali, 25-26 Agustus 2022. Acara bertema “Sinergi Bersama Pacu Pertumbuhan Berkelanjutan Unit Usaha Syariah di Indonesia” ini diikuti wartawan dari Jakarta dan Bali.
Dari sisi consumer banking, bila spin off UUS tetap dilakukan maka diperkirakan berdampak pada penurunan service level dan customer experience. Pasalnya selama ini dalam melayani masyarakat yang dipakai adalah standar kinerja bank induknya, misalnya bank BUKU 4.
“Nanti kalau kita spin off, yang kita kelola itu jauh lebih kecil. Jika selama ini kita melayani pakai standar BUKU 4, maka jika terjadi penurunan yang akan merasa dampaknya adalah customer kita,” kata Head of Sharia Consumer CIMB Niaga, Bung Aldilla.
Dampak spin off lainnya adalah terkait branding. Jika spin off, maka branding akan kalah jauh dengan yang selama ini, karena ikutan branding dengan bank induk yang telah punya nama besar.
Selain itu dampak lainnya adalah cost off fund. Menurut Bung Aldilla, nantinya cost off fund yang akan dikeluarkan bila jadi BUS akan jauh lebih mahal.
|Baca juga: Dual Banking Leverage Model Pacu Pertumbuhan UUS Bank
“Kemudian terkait dengan program dan produk yang ada di UUS selama ini, pasti berbeda dan pasti berkurang jika menjadi BUS. Hal ini juga berdampak kepada digital banking capabilitas dan sharia talent,” jelasnya.
Sementara itu Head of Sharia Business Banking CIMB Niaga, Riboet Budiono, mengatakan bahwa dampak spin off untuk bisnis syariah akan ada terasa pada penurunan di sektor dana pihak ketiga (DPK), pembiayaan, dan tambahan investasi.
“DPK akan ada penurunan secara massif. Mengingat selama ini nasabah korporat mempunyai kerja sama dengan BUKU 3 atau BUKU 4 yang menjadi induk UUS, nantinya kalau dengan BUS rate-nya akan lebih mahal,” katanya.
Kemudian rate pembiayaan tidak kompetitif dan menurunkan kualitas nasabah yang dibiayai, sehingga berpotensi meningkatkan NPF (non performing finnancing). Spin off juga akan membuat perlunya tambahan nilai investasi. Infrastruktur baru untuk perbankan BUS menjadikan tidak efisien, karena tambahan beban operasional yang akan meningkat.
“Spin off juga akan berdampak pada BMPK (batas maksimum pemberian kredit). Pasalnya BUS akan punya keterbatasan plafon untuk BMPK kepada beberapa nasabah corporate banking,” kata Riboet. Hal ini terjadi karena plafon BMPK sesuai dengan modal BUS tersebut. Sedangkan jika UUS, plafonnya sesuai modal bank induk.
|Baca juga: CIMB Niaga Syariah dan Asbisindo Dukung Penghapusan Kewajiban Spin Off UUS di RUU P2SK
Dari sisi nasabah, spin off juga berdampak pada penurunan nasabah baru. Bila sudah menjadi BUS, ada keterbatasan dalam menambah nasabah baru. Karena misalnya tidak dapat berpatisipasi dalam pembiayaan sindikasi dalam mendukung program pemerintah dalam akselerasi pembangunan infrastruktur.
Sementara itu Head of Sharia Product & Business Process CIMB Niaga, Ade Hotamawaty, menjelaskan dampak spin off terhadap pengembangan produk. “Di UUS, dalam pengembangan produk telah melibatkan unit terkait di bank induk seperti risk management, compliance, AML, legal, administrasi kredit, keuangan, dan pajak,” katanya.
Review pengembangan produk juga telah dilakukan secara komprehensif dengan kualitas yang sama dengan bank induk, karena melibatkan expertise di bidang masing masing. Unit syariah (UUS) berperan dalam hal memastikan bahwa produk dan proses sesuai skema syariah. “Setiap produk dilakukan monitoring post implementaai dengan optimal, meliputi pergorma penjualan maupun kualitas pelayanan produk,” tegasnya.
Sedangkan Head of Sharia Strategy CIMB Niaga, Ulil Amri, mengatakan bahwa dalam 6 tahun terakhir, pertumbuhan perbankan syariah tanpa UUS hanya akan mencapai 13 persen (compound annual growth rate/CAGR). Namun dengan kontribusi UUS, pertumbuhan rata-rata menjadi 15 persen.
Ulil memaparkan beberapa data, antara lain: pembiayaan BUS tumbuh 8,9 persen (CAGR) sedang pembiayaan UUS tumbuh 17 persen (CAGR). Pendanaan BUS tumbuh 13 persen (CAGR) dan pendanaan UUS tumbuh 20 persen (CAGR). Sedangkan aset BUS tumbuh 13 persen (CAGR) dan asset UUS tumbuh 19 persen (CAGR). “Dengan melihat data-data ini, UUS perbankan syariah tumbuh lebih pesat dibandingkan BUS,” tegasnya.
| Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News