Media Asuransi, JAKARTA – IFG Progress, unit think thank dari Indonesia Financial Group (IFG), menilai kapabilitas industri reasuransi di Indonesia masih kurang proporsional yang ditunjukkan dari jumlah perusahaan reasuransi domestik yang relatif sedikit.
Hal itu menyebabkan porsi reasuransi ke luar negeri tercatat lebih tinggi dibandingkan dengan negara-negara yang diobservasi.
Melalui economic Bulletin-Issue 16 bertajuk Reasuransi 101, Tim Riset IFG Progress yang dipimpin oleh Reza Yamora Siregar selaku Head of IFG Progress menerangkan bahwa penempatan reasuransi di Indonesia masih cukup bergantung kepada pialang reasuransi yang ditunjukkan oleh jumlah perusahaan pialang reasuransi yang jauh signifikan dibandingkan dengan jumlah reasuradur.
|Baca juga: IFG Progress: Indonesia Mau Jadi Negara Maju? 3 Hal Ini Jadi Kunci
Padahal, reasuransi memiliki peran penting yakni sebagai backbone yang menjaga kestabilan sektor keuangan, dikarenakan menjadi pihak yang melindungi dan memitigasi risiko terakhir industri asuransi. “Selain itu, industri reasuransi juga turut memberikan kontribusi yang signifikan pada perekonomian melalui alokasi investasi pada pasar modal,” jelasnya.
Secara definisi, reasuransi adalah perjanjian antara perusahaan asuransi dengan perusahaan reasuransi (reasuradur), yakni perusahaan asuransi setuju untuk menyerahkan atau membagi sebagian dan/atau seluruh risiko yang ditanggungnya kepada perusahaan reasuransi. Dengan menerima sejumlah proporsi premi dari perusahaan asuransi, maka perusahaan reasuransi setuju untuk menanggung atau membayarkan sejumlah proporsi kerugian yang terjadi atas objek pertanggungan atau dinamakan juga dengan hubungan kontraktual.
Secara global, menurut temuan IFG Progress, premi industri reasuransi didominasi dari industri asuransi umum atau non-life dengan share mencapai 66% dari total premi reasuransi secara keseluruhan. Adapun, pasar global didominasi oleh perusahaan dari negara-negara advanced economies terutama Eropa.
Dalam kurun waktu 10 tahun terakhir, compounded annual growth rate (CAGR) 10 Year premi industri reasuransi global tercatat lebih tinggi dibandingkan pertumbuhan premi industri asuransi global yang mengindikasikan bahwa permintaan terhadap proteksi dari industri reasuransi terus meningkat.
Selama 5 tahun terakhir, hasil underwriting reasuransi terpantau menunjukkan tren yang negatif, sedangkan hasil investasi secara rata-rata masih menunjukkan tren yang positif.
Di Indonesia, industri reasuransi memiliki porsi aset yang paling kecil apabila dibandingkan dengan jumlah aset secara keseluruhan di industri asuransi. Pada akhir tahun 2021, diketahui bahwa porsi atau besarnya kontribusi aset reasuransi hanya sekitar 2% dari total aset industri, padahal peran reasuransi cukup besar dalam mem-backup risiko yang terjadi di industri asuransi dan secara historikal, besarnya aset reasuransi terhadap industri tidak pernah lebih dari 2% dari total keseluruhan.
Jika ditinjau dari status kepemilikan berdasarkan badan hukum dan kepemilikan modal, reasuransi di Indonesia terdiri dari 6 perusahaan, yakni 2 perusahaan reasuransi milik BUMN dan 4 perusahaan reasuransi milik swasta nasional. Sedangkan, jumlah perusahaan pialang reasuransi cukup besar yaitu ada sekitar 42 perusahaan per akhir tahun 2020. Apabila dibandingkan dengan jumlah perusahaan reasuransi yang ada, jumlah perusahaan pialang reasuransi mencapai 7 kali lipatnya, hal ini menjadi indikasi bahwa bisnis reasuransi masih sangat bergantung kepada pihak pialang atau broker.
|Baca juga: Studi IFG Progress Usulkan Evaluasi dan Revisi Struktur Biaya Produk Unitlink
Pendapatan premi reasuransi mayoritas berasal dari perusahaan asuransi umum. Lebih dari 50% pendapatan premi kotor asuransi umum dialokasikan untuk pembelian premi reasuransi. Sementara itu, pada asuransi jiwa, porsi premi yang dialihkan ke perusahaan reasuransi cenderung jauh lebih kecil yaitu hanya sekitar 3% secara rata-rata dari total pendapatan premi kotor.
Dalam hal ini, perusahaan asuransi umum lebih besar memindahkan risiko kepada perusahaan reasuransi dibandingkan dengan perusahaan asuransi jiwa karena berdasarkan dengan bisnis atau produk yang dijual, perusahaan asuransi umum memiliki produk atau bisnis yang memiliki risiko ketidakpastian yang lebih tinggi dibandingkan dengan perusahaan asuransi jiwa.
Secara keseluruhan, kinerja neraca keuangan perusahaan reasuransi cukup stabil selama 5 tahun terakhir yaitu dari 2016 hingga 2021, didapatkan rata-rata pertumbuhan aset perusahaan reasuransi naik sebesar 15% per tahun (CAGR Q4 2016–Q4 2021), dengan komponen aset yang terdiri dari 57% aset investasi dan 43% aset bukan investasi. Performa aset reasuransi didorong oleh kenaikan aset investasi sebesar 13% per tahun dan aset non-investasi sebesar 16% per tahun (CAGR Q4 2016–Q4 2021).
Secara rata-rata selama 5 tahun terakhir, alokasi aset investasi perusahaan reasuransi didominasi oleh penempatan pada instrumen investasi yang konservatif yaitu 37% pada deposito dan obligasi sebesar 32%, kemudian pada reksa dana sekitar 18%, saham 3%, penyertaan lainnya 7% dan 2% untuk alokasi investasi pada instrumen lainnya.
Sama halnya dengan kinerja aset, kinerja liabilitas tumbuh lebih tinggi sekitar 18% setiap tahunnya (CAGR Q4 2016 – Q4 2021). Mayoritas liabilitas reasuransi terbentuk oleh cadangan teknis sebesar 84% dan sekitar 16% untuk jumlah utang. Cadangan teknis terdiri dari besarnya cadangan premi, cadangan klaim, cadangan atas premi yang belum merupakan pendapatan (Unearned Premium Reserve/UPR) dan cadangan atas risiko bencana alam (catastrophic reserve).
|Baca juga: Dukung Pengembangan Sektor Asuransi dan Dana Pensiun, IFG Gelar Konferensi Internasional
Dalam hal ini, cadangan klaim dan cadangan premi yang belum merupakan pendapatan mendominasi cadangan teknis pada industri reasuransi yaitu masing-masing sebesar 48% dan 29% secara rata-rata setiap tahunnya.
Dengan keterbatasan kapasitas yang dimiliki perusahaan reasuransi lokal menyebabkan banyak perusahaan asuransi untuk mereasuransikan risiko ke reasuransi di luar negeri karena tingkat permodalan reasuransi dalam negeri yang relatif tidak cukup untuk menanggung seluruh risiko sehingga dibutuhkan lah peran reasuransi dari luar negeri.
Kinerja underwriting reasuransi Indonesia juga terpantau terus mengalami penurunan setiap tahunnya. Padahal, bisnis reasuransi dalam negeri ini telah mendapat dorongan dari regulator melalui peraturan POJK No.14/POJK.05/2015 yang mengatur tentang retensi sendiri dan dukungan reasuransi ke dalam negeri dengan tujuan peningkatan penetrasi serta mengurangi defisit neraca jasa asuransi.
“Oleh sebab itu, untuk mewujudkan implementasi dari peraturan regulator yang mendukung kewajiban reasuransi ke dalam negeri, maka kapabilitas dari industri reasuransi harus terus ditingkatkan,” pungkas IFG Progress.
| Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News