Media Asuransi, JAKARTA – Salah satu eksekutif industri asuransi yang mendaftar calon Anggota Dewan Komisioner (ADK) Otoritas Jasa Keuangan (OJK) periode 2022-2027 adalah Rista Qatrini Manurung, yang kini menjadi Direktur Hukum, Kepatuhan, dan Risiko PT AIA Financial. Beberapa hal yang ingin dia angkat menjadi program permasalahan utama di sektor IKNB dan perlindungan konsumen, adalah penguatan pengawasan pada IKNB, penetrasi yang lebih besar pada literasi dan inklusi keuangan, serta kolaborasi ekosistem digital.
Hal ini disampaikannya kepada Media Asuransi, secara tertulis, awal Februari 2022. Rista bergabung dengan PT AIA Financial Sejak Mei 2015. Sebelumnya di bekerja di PT Sun Life Financial Indonesia sebegai Direktur Hukum dan Kepatuhan serta Group General Counsel untuk grup Sun Life Financial Indonesia pada 2007-2015. Rista memiliki gelar Sarjana Hukum dari Universitas Indonesia dan gelar master dalam Bidang Hukum Internasional dan Perbankan dari Boston University, Massachusetts, Amerika Serikat. dan
Menurut Rista, OJK telah membentuk basis fundamental yang kuat dalam rangka pengaturan, pengawasan, dan perlindungan konsumen dari lembaga Jasa Keuangan. Namun, masih ada beberapa permasalahan dalam Sektor Jasa Keuangan yang menjadi pekerjaan rumah yang belum terselesaikan dan membutuhkan penanganan yang lebih baik dan cepat.
Apabila terpilih sebagai Anggota Dewan Komisioner OJK periode mendatang, wanita yang kini Wakil Ketua I Asosiasi Dana Pensiun Lembaga Keuangan, sejak 2020., ingin meningkatkan kualitas pengawasan. Menurut dia, OJK perlu meningkatkan pengawasan yang memadai agar dapat menjaga stabilitas industri dan kepercayaan publik terhadap seluruh industri jasa keuangan, melalui optimalisasi hubungan antar lembaga didalam dan diluar negeri dalam rangka peningkatan fungsi pengawasan pelaksanaan tata kelola (GCG), market conduct, dan manajemen risiko di sektor jasa keuangan serta transformasi digital.
|Baca juga: AASI Berharap Sosok Kompeten Pelaku Perasuransian Jadi ADK OJK
“Hal ini merupakan upaya pencegahan dan penindakan atas program penipuan nasabah yang marak terjadi, extraordinary crimes, money laundering dan anti-terrorism financing, serta systematic and organised cross-border crimes di sektor jasa keuangan,” katanya.
Sinergi juga perlu dibangun antara OJK dengan lembaga penegak hukum, seperti Badan Peradilan seperti Pengadilan Niaga, Pengadilan Umum, Pengadilan Pajak, Kepolisian, KPK, BIN, LAPS dan lembaga penegakan hukum lainnya. OJK perlu bekerja sama dengan ahli di industri untuk meningkatkan literasi dan pemahaman para penegak hukum atas penafsiran ketentuan di sektor keuangan, operasional serta produk keuangan dengan cara peningkatan kapabilitas pegawai di lembaga-lembaga tersebut mengenai aspek teknis, operasional dan teknologi terkait sengketa maupun pelanggaran hukum pada sektor jasa keuangan. “Hal ini dapat memaksimalkan penerapan peraturan yang berlaku di industri keuangan dan meningkatkan perlindungan konsumen sektor jasa keuangan,” tuturnya.
Di sisi lain, OJK sebagai pengawas haruslah dapat mengantisipasi risiko-risiko yang akan timbul dengan adanya inovasi teknologi dan perkembangan produk digital yang sangat cepat. OJK diharapkan bisa melakukan pengawasan secara real-time dengan dibantu teknologi. Konsep real-time audit juga merupakan sesuatu konsep yang harus dibangun, di mana pengecekan atau pelaporan tidak lagi harus dilakukan secara tahunan atau bulanan, namun bisa diakses secara real time menggunakan perangkat dan API ke data sistem keuangan perusahaan atau lembaga-lembaga lainnya.
“OJK diharapkan dapat melakukan early warning detection terhadap masalah dan keluhan masyarakat dengan menggunakan social media monitoring, sehingga dapat melakukan pencegahan yang lebih efektif,” jelas Rista Qatrini Manurung.
Dari segi SDM, perlu dilakukan peningkatan kompetensi pegawai OJK pusat maupun daerah dengan pembelajaran dan pelatihan kontinyu yang berskala global. Perlu juga belajar dari system atau tatanan regulator keuangan di negara lain dalam rangka benchmarking best practices dan policy making di negara lain. Juga diperlukan pelatihan berkelanjutan tentang produk lembaga jasa keuangan, inovasi keuangan, leadership skills, serta menekankan pendekatan berbasis riset, analisis, logical reasoning dan problem-solving.
|Baca juga: AAJI dan AAUI Harap Ada Tokoh Asuransi yang Terpilih Jadi Komisioner OJK
Penggunaan teknologi secara efektif hanya dapat dilakukan bersamaan dengan peningkatan kualitas sumber daya manusia di OJK secara berkelanjutan. Terutama yang memampukan sumber daya manusia memanfaatkan ekosistem teknologi, digital dan analytics.
“Selain itu, mungkin ada baiknya dipertimbangkan untuk membentuk Deputi Komisioner khusus untuk asuransi mengingat besarnya bisnis asuransi dalam portfolio IKNB. Sehingga memberikan fokus yang lebih besar dan dengan KPI khusus antara lain mempercepat penyelesaian permasalahan perasuransian untuk kepentingan nasabah dan stakeholder lainnya,” jelas wanita yang saat ini dia menjabat sebagai Kepala Departemen Hukum di Asosiasi Asuransi Jiwa Indonesia (AAJI).
Dia tambahkan, selain meningkatkan tata kelola yang dapat meningkatkan efektivitas pengawasan, terutama dalam hal market conduct dan risk management, OJK juga perlu peningkatan pengawasan pelaksanan program ESG (environment, social, and governance) yang mengedepankan pembangunan, investasi, bisnis yang berkelanjutan dari aspek lingkungan, sosial dan governance.
“Perlu dipertimbangkan untuk membentuk tim pengawasan khusus yang mempunyai keahlian dalam bidang ESG dengan KPI tertentu dan hal ini harus dimulai dengan implementasi yang baik dan konsisten, bukan hanya sebatas ketentuan yang diatur dalam regulasi,” tuturnya.
Diakuinya, salah satu tantangan terbesar dari literasi dan inklusi keuangan di Indonesia adalah kondisi geografis yang luas. Untuk meningkatkan indeks literasi keuangan nasional, perlu dilakukan inovasi dan kolaborasi seperti penyusunan materi literasi keuangan dengan stakeholder strategis termasuk melalui antara hubungan antar lembaga pemerintah maupun dengan pelaku usaha.
Menurut Rista, pengembangan edukasi digital secara massif dan mungkin pengaturan baru untuk pengalokasian 5 persen dari biaya operasional/atau biaya karyawan perusahaan dapat difokuskan untuk kegiatan literasi. Program literasi juga harus memanfaatkan platform digital melalui berbagai kegiatan seperti webinar, learning portal, microsite, dan sebagainya.
|Baca juga: Urgensi Unsur Profesional Asuransi di DK OJK Jilid III?
Mengenai perlindungan konsumen, menurutnya, mekanisme perlindungan konsumen yang baik tidak dapat berjalan sebagaimana mestinya tanpa kompetensi pegawai OJK dan LAPS di pusat maupun daerah dan pelayanan LAPS yang terus ditingkatkan dan dibina. Khususnya mengenai pemahaman dasar dan aspek hukum terkait produk dan layanan jasa keuangan yang memampukan SDM melakukan analisa secara tepat dan cepat berdasarkan bukti yang sah.
OJK perlu mengoptimalkan edukasi terhadap masyarakat mengenai langkah-langkah atau upaya hukum apa yang perlu ditempuh seputar sengketa terkait jasa keuangan. “Sepatutnya OJK aktif mendidik dan mengarahkan masyarakat mengenai opsi hukum apa yang tersedia, seperti halnya penyelesaian sengketa secara internal dispute resolution, external dispute resolution melalui LAPS terintegrasi. dan mengunakan litigasi secara perdata atau pidana sebagai ultimum remedium,” jelasnya.
Satu lagi yang ingin diwujudkan Rista Qatrini Manurung adalah pembentukan Lembaga Penjamin Pemegang Polis (LPPP). Menurut dia, pembentukan LPPP diperlukan segera agar tercipta proses perlindungan terhadap pemegang polis dan menjamin industri asuransi jiwa beroperasi secara sehat serta dapat meningkatkan kepercayaan masyarakat terhadap produk asuransi jiwa.
| Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News