Media Asuransi, JAKARTA – Proses digitalisasi telah banyak merubah proses bisnis dari konvensional menjadi berbasis teknologi, tak terkecuali di industri asuransi.
Istilah insurance technology (insurtech) kemudian muncul yang dipahami sebagai proses pemasaran produk asuransi secara digital atau online.
Kemunculan insurtech ini sering kali dianggap sebagai sebuah disrupsi pemasaran produk asuransi yang selama ini dijalankan melalui agen, broker, atau saluran distribusi lainnya. Apakah benar seperti itu definisi insurtech?
Untuk mengenal lebih jauh mengenai apa itu sebenarnya insurtech dan perbedaannya dengan insurance broker konvensional, mari simak penjelasan dari Founder dan CEO Bindcover, Victor Roy.
Menurut Victor, ada banyak hal yang membedakan antara insurtech dan broker konvensional, antara lain:
1. Karakter
Broker konvensional cenderung high value dan low volume, yakni jumlah klien yang dikerjakan tidak terlalu banyak tapi nilainya besar. Dari sisi komunikasi harus bertatap muka dan konsultasi, sistem proses klaimnya harus menunggu dari klien, paper work administrasi yang masih menggunakan hardcopy dan manual input, serta buyer process yang panjang dari mulai menunggu kuotasi, negosiasi, hingga transaksi yang tidak langsung tercatat.
Sementara itu, operasional insurtech cenderung sederhana dan mudah dipahami dari sisi komunikasi, menggunakan teknologi, proses klaim yang fleksibel dan terotomasi, buying process yang simple, seamless, dan realtime, serta paperwork administration yang paperless dan terotomasi.
|Baca juga: Insurtech Berpeluang Tumbuh di 2021
Selain itu, insurtech secara khusus fokus pada pertumbuhan dan mengurangi biaya akuisisi.
Insurtech memiliki parameter pertumbuhan yang akan fokus pada peningkatan customer experience, termasuk juga melakukan upselling dan crossselling. Dari sisi cost reduction, insurtech fokus pada mengurangi biaya akuisisi dan biaya administrasi, karena kedua hal ini merupakan cost terbesar dari asuransi konvensional.
2. Tujuan
Insurtech memiliki tujuan untuk mempermudah akses membeli asuransi (seamless), coverage yang paling minim (affordable), reliable claim services (fast), build ecosystem (partnership), dan memberikan insurance literacy atau education.
Victor menerangkan bahwa ada 8 perbedaan utama insurtech dibandingkan dengan broker konvensional yaitu akses online kapanpun, customer yang lebih proaktif, proses buying yang lebih sederhana, core benefit only, premi yang lebih murah, digital customer service, mempermudah klien untuk membandingkan antara produk satu dan yang lain (aggregator), dan banyak promo terkait metode pembayaran.
3. Value Chain
Insurtech mengubah value chain dari monolithic menjadi modular dan khusus. Yang dimaksud monolithic adalah proses dari produk, distribution, dan underwriting seperti ban berjalan. Kalau ada satu proses yang berhenti, semua proses akan ikut berhenti. Jika ada salah satu yang gagal maka ongkosnya akan besar.
Sementara itu kalau insurtech berbasis moduler, istilahnya setiap proses memiliki satu modul sendiri-sendiri sehingga lebih seamless dan lebih cepat. Contoh dalam produk dikerjakan dengan partner, dapat data, dan bisa testing. Jika gagal di satu modul maka biayanya akan lebih kecil.
4. Framework
Insurtech memiliki kerangka kerja yang paling dasar yaitu digitalisasi dan data. Jadi kalau bisa semua proses diotomasi. Dan data memiliki peran yang sangat penting dari sisi produk. Untuk market distribution, data acquisition akan dipelajari melalui machine learning keseharian sehingga dapat memberikan rekomendasi.
|Baca juga: Perusahaan Asuransi Bekerjasama dengan Insurtech untuk Memperluas Pasar
Di dalam proses underwriting, ada data conversion yang bisa menciptakan sesuatu baru seperti microinsurance, parametic insurance, atau usebased insurance. Lalu ada policy admin, yakni collection dilakukan untuk mengetahui data loyalty untuk mengetahui pelanggan yang loyal sehingga bisa memberikan layanan seperti peer to peer atau on demand insurance. Berikutnya, ada claim management yakni melalui digital servising sehingga bisa mendapatkan bigdata dari seluruh proses.
Landscape Insurtech di Indonesia
Di Indonesia, insurtech dapat dikategorikan menjadi tiga kelompok yaitu Corporate Venture, Indonesian Startup, dan Global Startup.
Corporate Venture adalah insurtech yang didanai atau dimiliki oleh perusahaan-perusahaan yang sudah mapan contohnya Futuready, Jagain, Premiro, dan Rumah Polis.
Indonesian startup adalah insurtech startup yang memerlukan pendanaan dari venture capital contohnya: Bindcover, Eypolis, Fuse, Lifepal, Pasapolis, Qoala, RajaPremi, Rey, dan WE+.
Terakhir ada global startup yaitu insurtech dari luar negeri yang masuk ke Indonesia contohnya: Igloo, Sunday, ZA tech, Appman, dan Covergenius.
Di Indonesia, Otoritas Jasa Keuangan memiliki klasifikasi sendiri terkait insurtech yang dimasukkan ke dalam klasifikasi Inovasi Keuangan Digital (IKD). OJK membagi IKD ini ke dalam 19 kluster seperti aggregator, insurtech, claim handling, insurance broker marketplace, dan kluster-kluster keuangan lainnya.
Adapun di luar negeri, kluster insurtech ini lebih banyak lagi seperti digital carriers, P2P insurers, microinsurers, marketplace, personal financial assistants, dan digital brokers. Namun di Indonesia, masih banyak kluster-kluster insurtech yang belum terisi sehingga masih tertinggal dibandingkan dengan praktik di luar negeri. (Edi)
| Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News