1
1

OJK Akan Reformasi Industri Asuransi

   Otoritas Jasa Keuangan (OJK) mencatat, penghimpunan dana di industri asuransi masih positif. Sepanjang tahun 2019, data per November 2019, premi asuransi komersial yang dikumpulkan mencapai Rp261,65 triliun atau timbuh sebesar 6,08 persen yoy (year on year), lebih tinggi dibandingkan pertumbuhan tahun 2018 sebesar 4,1 persen yoyo. Per November 2019, premi asuransi jiwa tercatat sebesar Rp169,86 triliun atau turun 0,20 persen yoy, sedangkan premi asuransi umum dan reasuransi tercatat sebesar Rp91,79 triliun atau naik sebesar 20,07 persen yoy. Dari sisi permodalan, OJK mencatat permodalan industri asuransi jiwa masih memadai, ditandai dengan Risk-Based Capital (RBC) industri asuransi umum sebesar 329,3 persen dan RBC asuransi jiwa sebesar 725,4 persen, jauh lebih tinggi dari threshold 120 persen.

    Walaupun demikian, menurut Ketua Dewan Komisioner OJK Wimboh Santoso, pihaknya menyadari bahwa industri asuransi membutuhkan perhatian lebih serius untuk memperbaiki governance, kehati-hatian, dan kinerjanya. “Untuk itu, OJK pada tahun 2018 telah mencanangkan reformasi industri keuangan non bank (IKNB) yang mencakup perbaikan penerapan manajemen risiko, governance yang lebih baik, dan laporan kinerja investasi kepada otoritas dan publik. OJK akan mengeluarkan manajemen risiko dan governance serta format laporan dan pengawasan yang lebih ketat terhadap kualitas investasi, proyeksi likuiditas, dan solvabilitas (RBC),” kata Wimboh Santoso saat memberikan sambutan dalam acara Pertemuan Tahunan Industri Jasa Keuangan (PTIJK) 2020, yang berlangsung di Jakarta, 16 Januari 2020.

    Dalam jumpa pers, Wimboh menjelaskan bahwa penerapan reformasi ini perlu waktu. Namun dia menegaskan bahwa di tahun 2020 ini sudah ada beberapa hal yang OJK lakukan. “Ini merupakan sesuatu yang berlanjut, karena di perbankan itu perlu waktu sekitar lima tahun. Bukan hanya hilirnya, lembaganya, mengenai pengawasan dan pengaturan, exit policy-nya, tetapi juga hulunya,” tandasnya.

     Lebih rinci Ketua OJK ini menjelaskan bahwa setiap kali pihaknya mereform pengawasan industri jasa keuangan, pasti peraturan kehati-hatiannya akan di-enhance, bahkan saat ini untuk beberapa sudah ada. Mengingat inisiatif ini sebenarnya sudah dilakukan, karena menjadi policy di PTIJK 2018. “Kita akan menginstruksikan kepada lembaga jasa keuangan untuk menerapkan risk manajemen. Risikonya apa saja, bagaimana nanti penerapannya di setiap lembaga keuangan, mulai dari perusahaan itu harus mempunyai kebijakan penerapan risk manajemen,” tuturnya.

   Wimboh juga menegaskan bahwa, dalam kebijakan risk manajemen harus disesuaikan dengan bisnisnya. Setiap perusahaan asuransi risikonya macam-macam, sesuai dengan bisnisnya. Oleh karena itu, tidak bisa saling mencontoh risk manajemennya, karena masing-masing memiliki risk apetite yang berbeda. “Setiap asuransi memiliki bisnis yang berbeda, maka risikonya berbeda. Guidance-nya bisa sama, risikonya bisa kita tunjukkan misalnya ada risiko manajemen arus kas, ini harus di manajemen. Jadi proyeksi perhitungan cash flow harus dilakukan, jangan sampai nggak ada. Cash flow mismatch itu diproyeksikan ke depan, jangka pendek, jangka menengah, dan jangka panjang,” jelasnya.

     Lebih lanjut ditegaskan bahwa kalau memang punya kewajiban jangka pendek jumlahnya besar, jatuh tempo bulan depan, kira-kira bulan depan itu ada cash flow apa. Kalau terjadi mismatch, harus ada action kebijakan apa yang akan dilakukan. “Jangan sampai diproyeksikan terjadi mismatch, namun didiamkan saja. Itu baru risiko likuiditas. Belum lagi risiko investasi atau risiko pasar kalau dia ke saham. Harus dihitung potensi volatility-nya seperti apa. Belum lagi risiko yang ada kaitannya dengan nilai tukar. Kalau sumber dananya mahal, sedangkan pendapatan investasinya kecil, itu otomatis suku bunganya ada gap negatif, ini ‘kan harus dihitung. Mungkin untuk nilai tukar tidak terlalu menjadi masalah, kecuali kalau dia berinvestasi di valuta asing,” tandas Wimboh.

     Dia mengingatkan bahwa risiko itu bermacam-macam, termasuk risiko operasional, risiko hukum, risiko reputasi. Nah, itu semua itu harus menjadi kebijakan perusahaan. Tentunya di risk manajemen, perusahaan harus menerapkan kebijakan dan monitoring implementasinya. “Dan itu harus dilaporkan kepada top manajemen. Ini juga harus dilaporkan kepada masyarakat posisi risiko monitoringnya dan pasti secara rutin juga dilakporkan kepada otoritas. Otoritas dengan adanya laporan tadi bisa mendapatkan gambaran bahwa symptom potensi risiko itu ada,” katanya.

    “Nah, ini baru risk manajemen. Guideline-nya kita siapkan dan sebenarnya guide line risk manajemen itu ada di mana-mana. Kalau memang memerlukan akan kita siapkan. Nantinya selain risk manajemen, harus ada report mengenai governance,” tegas Wimboh. Dia tambahkan, sebenarnya governance ini kan hal yang umum, namun kalau diperlukan guideline, maka OJK akan menyiapkan misalnya governance untuk industri asuransi, terkait dengan transparansinya dan juga struktur organisasinya. “Mengenai risk manajemen dan governance ini, kita juga akan melakukan monitoring. Oleh karena itu harus dilaporkan ke OJK. Selain itu, banyak hal lagi yang akan kita lakukan. Saya rasa nantinya untuk pengawasan, kita sudah memiliki pedoman berdasarkan risikonya,” tuturnya.

     Hal lain yang akan di-reform, menurut Wimboh Santoso adalah permodalannya. “Ya otomatis kalau nanti ternyata banyak yang permodalannya tidak sustain, tidak solven, maka akan kita minta kepada pengurus untuk melakukan penyetoran modal. Ya… pengurus biasanya ‘kan melaporkan kepada pemegang saham agar dilakukan penyetoran modal,” tegasnya.

   Kemudian yang terakhir akan dibuat OJK, seperti di perbankan dulu, kalau sudah selesai di-reform, maka lembaga penjaminannya akan dipikirkan. “Tapi tentu saja kita betulkan dulu, yang tidak solven harus solven, risk manajemen, dan governance-nya kita benahi, baru lembaga penjaminannya kita on-kan. Mungkin bisa saja dari awal sudah kita diskusikan mengenai lembaga penjaminan asuransi, tetapi tentunya eksekusinya atau penerapannya tunggu ini beres dulu. Kalau lembaga penjaminnya kita buat namun masalah solven, risk manajemen, governance belum beres, maka akan menjadi tidak efektif. Karena begitu lembaga ini berdiri, langsung butuh uang banyak untuk membayari jaminannya,” urainya.

    Mungkin kalau sekadar diskusi dan dibuat draft-nya, tidak menjadi masalah jika dilakukan dari sekarang. Namun Ketua OJK menegaskan bahwa eksekusinya tunggu masalahnya diberesi dulu. “Ini yang akan kita lakukan, sama dengan waktu kita lakukan reformasi di perbankan dulu, yakni LPS (Lembaga Penjamin Simpanan) diaktifkan setelah masalah di perbankan kita bereskan,” kata Wimboh.

    Untuk jangka pendek, OJK akan melakukan screening, melihat semua kondisi lembaga jasa keuangan bisa dilakukan sekarang. “Bahkan kita bisa gunakan eksternal auditor misalnya akuntan publik khusus untuk me-review semua ini. Ya… inilah yang namanya reform, bukan spesifik ditujukan untuk lembaga-lembaga jasa keuangan tertentu, tapi industrinya secara keseluruhan. Proses ini tidak akan selesai dalam satu tahun. Mudah-mudahan bisa lebih cepat, dua tahun. Tetap ini nantinya dalam prosesnya kan kita harus bicara dengan stake holder. Kami berharap mendapat dukungan dan dapat berdiskusi dengan stake holder lainnya, termasuk industri tentu akan kita ajak berdiskusi,” jelasnya. Edi

| Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Related Posts
Prev Post Gelar Award 2020, MAIPARK Luncurkan Buku Sejarah Pendirian Perusahaan
Next Post Maipark Luncurkan Buku 16 Tahun Kiprahnya di Industri Asuransi

Member Login

or