Otoritas Jasa Keuangan (OJK) menilai perkembangan industri keuangan non-bank nasional sampai dengan kuartal ketiga 2018 masih tetap tumbuh dan terjaga dengan stabilitas yang memadai. Sampai dengan September 2018, terdapat 1.158 entitas di Industri Keuangan Non Bank (IKNB) dengan nilai aset mencapai Rp2.311,09 triliun atau meningkat 8,71 persen dibandingkan tahun sebelumnya pada periode yang sama. Kenaikan aset industri keuangan non bank tentunya tidak terlepas dari sumbangsih perkembangan industri perasuransian. Sampai dengan September 2018, aset industri asuransi konvensional sebesar Rp678 triliun atau naik 7,84 persen yoy (year on year).
“Kenaikan tersebut ditopang dari cukup besarnya kenaikan aset perusahaan reasuransi yang mencapai 24,9 persen yoy, perusahaan asuransi umum sebesar 12,3 persen yoy, dan perusahaan asuransi jiwa sebesar 7,84 persen yoy,” kata Deputi Komisioner Pengawas IKNB II OJK Moch Ihsanuddin dalam sambutan yang dibacakan Deputi Direktur Pengawasan Asuransi OJK I Wayan Wijaya, pada Seminar Insurance Outlook 2019 yang di selenggarakan Media Asuransi di Jakarta, 27 November 2018.
Kondisi perekonomian yang mulai membaik dan pasar yang merespons positif, menunjukkan perkembangan perekonomian domestik ke arah yang lebih baik. Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat laju inflasi masih stabil dalam kisaran 3,5 persen ± 1 persen dan pertumbuhan ekonomi per Oktober 2018 berada di angka 5,17 persen. Sampai dengan akhir tahun 2018, OJK meyakini bahwa pertumbuhan ekonomi Indonesia tetap akan menunjukkan trend positif yang diperkirakan berada pada angka 5,2 persen dengan tingkat inflasi yang tetap terjaga.
Di tahun 2019, OJK tetap optimistis bahwa industri asuransi nasional mampu tumbuh secara berkualitas dan proyeksi premi industri asuransi konvensional akan tumbuh di atas dua digit. Portofolio premi asuransi jiwa pada tahun 2019 diperkirakan akan tetap didominasi oleh Produk Yang Dikaitkan Dengan Investasi (PAYDI) dan produk pada lini usaha dwiguna atau endowment. Sedangkan portofolio premi pada industri asuransi umum masih akan didominasi oleh produk lini usaha harta benda (properti) dan kendaraan bermotor.
Menurut Ichsanuddin, terkait proyeksi di tahun 2019, OJK melihat ada beberapa hal yang perlu mendapat perhatian bagi industri asuransi. Pertama, kondisi ekonomi global yang terjadi pada masa perang dagang diantara negara besar. Kondisi ini membuat gejolak pada perekonomian global akan mempengaruhi perekonomian di berbagai negara termasuk Indonesia, terlebih perang dagang tersebut telah memasuki tahapan baru berupa lontaran tit-for-tat tariff yang akan terus berdampak hingga di tahun 2019. Kedua, Indonesia akan memasuki tahun politik. Pengalaman menunjukkan bahwa pasar cenderung akan bersikap wait and see, memperhatikan kecenderungan stabilitas politik, sehingga kesiapan dan pengalaman harus menjadi pertimbangan dalam pengambilan keputusan.
Terakhir, adanya perubahan perilaku konsumen yang saat ini didominasi oleh generasi milenial. Mereka merupakan kelompok generasi yang produktif secara finansial dan cenderung memilih produk-produk yang menawarkan simplicity dan memberikan kepuasan dan pengalaman berbeda lebih dari apa yang mereka bayar. Hal lain yang tak kalah penting adalah perkembangan teknologi informasi di industri keuangan atau financial technologi (fintech). Kehadirannya bahkan sering disebut sebagai disrupsi di satu sisi, namun memberikan added value di sisi lain. Hal ini juga berlaku di industri asuransi dengan munculnya insurance technologi (insuretech).
Ditandaskan bahwa industri asuransi kita tidak dapat hanya mengandalkan cara-cara konvensional dalam menciptakan produk, pola distribusi, dan bentuk pelayanan yang ditawarkan. Perlu ada adaptasi yang sesuai dengan karakteristik konsumen saat ini, khususnya konsumen generasi milenial yang akrab dengan dunia digital.
Kehadiran teknologi digital akan menyebabkan pergeseran pola operasional perusahaan asuransi sehingga industri asuransi akan dihadapkan pada isu baru, antara lain tingginya ketergantungan pada data serta interkonektivitas pada sistem informasi yang menimbulkan risiko baru yaitu cyber risk. Perusahaan asuransi dituntut untuk memiliki manajemen risiko serta business continuity plan yang memadai untuk mengatasi jenis disrupsi tersebut. Penggunaan teknologi untuk menyasar masyarakat, harus diimbangi dengan penerapan tata kelola yang baik dan manajemen risiko yang tepat. Dengan demikian nantinya tidak ada yang dirugikan, baik dari pihak perusahaan maupun pihak konsumen. Ken
| Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News