Media Asuransi, JAKARTA – Pasar saham global bergerak fluktuatif di bulan Maret, dipengaruhi oleh beberapa faktor. Sentimen pasar global dibayangi oleh beberapa faktor, seperti lonjakan harga komoditas karena konflik Rusia–Ukraina, postur kebijakan suku bunga The Fed yang agresif, dan lonjakan kasus Covid-19 di China. Walau demikian, PT Manulife Aset Manajemen Indonesia (MAMI) memandang positif outlook pasar Indonesia tahun ini.
Ketiga faktor ini saling berhubungan karena berdampak pada outlook pertumbuhan ekonomi dunia. Lonjakan harga komoditas dapat mempengaruhi inflasi secara global dan berdampak pada daya beli masyarakat, serta dapat mempengaruhi postur kebijakan bank sentral global menjadi lebih agresif untuk menangani inflasi.
“Sentimen pasar juga kembali dibebani oleh kasus Covid-19 yang melonjak di China, terutama karena kebijakan zero Covid di China yang dikhawatirkan dapat menyebabkan lockdown secara luas dan mempengaruhi kapabilitas China sebagai pabrik dunia dalam tanda kutip,” kata Senior Portfolio Manager Equity MAMI, Samuel Kesuma, dalam keterangan resmi yang dikutip Media Asuransi, Rabu, 20 April 2022.
|Baca juga: Pasar Saham Global Bergerak Fluktuatif di Bulan Januari, Apa Penyebabnya?
Berlawanan dengan kinerja pasar global, pasar saham Indonesia konsisten mencatat kinerja positif sepanjang tahun ini. Menurut MAMI, Indonesia saat ini berada pada ‘sweet spot’ yang membuat pasar saham Indonesia kembali masuk dalam radar investor.
Beberapa faktor yang menjadi katalis bagi pasar saham Indonesia:
- Dari perspektif makroekonomi, Indonesia berada dalam siklus pemulihan yang menarik bagi investor yang mencari growth di tengah tren normalisasi ekonomi global saat ini.
- Indonesia adalah net eksportir komoditas yang dipandang diuntungkan dari kenaikan harga komoditas saat ini dan dapat menjadi tempat berlindung bagi investor global.
- Stabilitas nilai tukar Rupiah dan makroekonomi yang solid.
- Posisi Indonesia dan ASEAN yang netral di tengah tensi geopolitik antara negara barat dengan Rusia meminimalkan risiko geopolitik terhadap Indonesia.
“Secara keseluruhan kami memandang positif outlook pasar Indonesia tahun ini didukung oleh bauran faktor pendukung dari pemulihan ekonomi domestik dan dinamika pasar global yang suportif bagi Indonesia,” jelas Samuel.
Lebih lanjut ditambahkan bahwa rapat FOMC bulan Maret menjadi titik balik bagi pasar, karena The Fed menegaskan fokus kebijakannya untuk menanggulangi inflasi dan menekankan kondisi ekonomi sudah kuat untuk menghadapi kenaikan suku bunga. Kejelasan arah kebijakan The Fed mengurangi spekulasi pasar dan mendukung perbaikan sentimen yang terlihat dari kinerja indeks S&P 500 yang menguat pasca rapat FOMC The Fed.
“Secara keseluruhan kami melihat pasar telah memperhitungkan The Fed akan bergerak secara agresif sehingga kenaikan suku bunga yang agresif tidak berdampak negatif bagi outlook pasar saham. Di sisi lain, kami berpendapat ekspektasi pasar terlalu agresif, karena berdasarkan data dari Bloomberg ekspektasi pasar untuk Fed rate dapat mencapai 2,25 – 2,50 persen tahun ini, lebih tinggi dari median proyeksi The Fed di level 2 persen. Oleh karena itu terdapat potensi good news bagi pasar apabila kenaikan Fed rate tidak seagresif ekspektasi pasar,” tutur Samuel Kesuma.
|Baca juga: Pemerintah Terbitkan Global Bond Perdana US$1,75 Miliar
Di sisi lain, MAMI menilai bahwa Asia adalah kawasan yang luas dan variatif, jadi terlalu generik untuk memberi label bagi Asia seperti itu. Negara penghasil komoditas di Asia seperti Indonesia tentunya diuntungkan dari harga komoditas yang tinggi saat ini. Sementara itu negara importir komoditas belum tentu dirugikan, karena kinerja ekspornya yang juga kuat. Contohnya Korea Selatan dan Taiwan yang didukung oleh ekspor barang elektronik dan semikonduktor yang kuat di tengah tren digitalisasi saat ini.
Sehingga secara keseluruhan MAMI melihat Asia sebagai kawasan yang menarik bagi investor untuk diversifikasi dari kawasan Eropa yang terekspos pada Rusia, atau Amerika Serikat yang memasuki siklus pengetatan suku bunga.
Dampak kenaikan harga komoditas terhadap inflasi Indonesia relatif lebih gradual dibanding di kawasan negara maju. Di Indonesia terdapat beberapa barang yang harganya diatur oleh pemerintah sehingga dapat menjadi bantalan di tengah kenaikan harga komoditas. Konsekuensinya adalah akan ada tekanan fiskal untuk subsidi. Tetapi pendapatan pemerintah juga berpotensi lebih baik tahun ini disumbang dari komoditas yang dapat mengurangi tekanan fiskal negara.
Bank sentral masih mempertahankan pandangan akomodatif, meskipun prospek inflasi cenderung meningkat seiring meningkatnya harga komoditas dunia. Bank Indonesia (BI) menegaskan bahwa kebijakan suku bunga rendah akan dipertahankan sampai terjadi tekanan inflasi yang bersifat fundamental yang terlihat pada inflasi inti, dan tidak menanggapi secara langsung kenaikan harga volatil dan yang diadministrasi. Suku bunga diperkirakan belum berubah selama tingkat inflasi inti masih terjaga, sementara rupiah didukung oleh stabilitas eksternal yang baik.
Di tengah kondisi global yang dinamis, menurut MAMI, strategi portofolio difokuskan pada tema besar yang secara fundamental mendukung bagi Indonesia. MAMI melihat ada dua tema besar yang potensial di pasar Indonesia. Pertama adalah tema pemulihan ekonomi pasca pandemi yang diuntungkan dari adanya pent-up demand masyarakat. Beberapa sektor yang potensial dari tema ini adalah di sektor perbankan dan properti.
Kedua adalah yang lebih bersifat struktural dan membawa perubahan di lanskap ekonomi Indonesia. MAMI melihat sektor yang berhubungan dengan ekonomi digital dan green economy yang berhubungan dengan rantai pasokan energi terbarukan masuk dalam kategori ini. “Kedua sektor ini sangat menarik didukung oleh potensi ekonomi digital Indonesia yang besar dan tren dunia menuju penggunaan energi terbarukan untuk menggantikan energi fosil,” jelas Samuel.
| Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News