1
1

Pasar Saham dan Obligasi Melemah Pasca Libur Lebaran, Apa Penyebabnya?

Media Asuransi, JAKARTA – Pelemahan pasar dibayangi oleh komentar dari bank sentral Amerika Serikat (The Fed) yang menekankan komitmennya untuk menanggulangi inflasi dan mempertahankan arah kenaikan suku bunga agresif. Ketidakpastian pasar juga meningkat terhadap outlook pertumbuhan ekonomi AS, karena kenaikan suku bunga yang agresif dikahwatirkan dapat memicu resesi ekonomi.

Selain itu pasar juga dibayangi oleh lockdown di China karena meningkatnya kasus Covid-19 dan kebijakan ‘zero Covid’ pemerintah China. Kondisi ini meningkatkan kekhwatiran gangguan rantai pasokan dunia, karena peranan penting China dalam produksi global, dan dampaknya terhadap inflasi dunia. Chief Economist & Investment Strategist PT Manulife Aset Manajemen Indonesia (MAMI), Katarina Setiawan, dalam keterangan resmi yang dikutip Media Asuransi, Selasa, 21 Juni 2022.



Saat ini dunia dibayang-bayangi kekhawatiran bahwa kenaikan suku The Fed yang agresif akan dapat menyebabkan resesi ekonomi. Menurut Katarina, terlalu cepat untuk memvonis akan terjadi resesi karena kondisi global saat ini sangat dinamis dan outlook ekonomi dapat berubah sewaktu-waktu. “Kami melihat saat ini kondisi ekonomi AS masih kuat, didukung oleh tingkat pengeluaran masyarakat, sektor tenaga kerja dan manufaktur yang solid sehingga dapat bertahan menghadapi kenaikan suku bunga The Fed yang agresif dalam jangka pendek,” jelasnya.

|Baca juga: Antisipasi Kenaikan Fed Rate, Investor Disarankan Trading Selektif di Pasar Saham

Namun diakuinya memang tidak semuanya positif, MAMI juga melihat terdapat tekanan di beberapa bagian ekonomi AS. Hal itu terlihat dari sentimen bisnis dan konsumen yang melemah, serta tingkat suku bunga kredit properti yang naik ke level tertinggi sejak 2009. “Faktor ini dapat mempengaruhi outlook pertumbuhan ekonomi di AS dan mendorong The Fed untuk menjadi lebih suportif. Secara keseluruhan kami melihat ekonomi AS memiliki kemungkinan besar dapat menghindari resesi walau outlook pertumbuhan ekonomi AS melemah,” kata Katarina.

Lebih lanjut dituturkan bahwa dalam jangka pendek, The Fed masih diperkirakan bergerak agresif. Saat ini pasar memperhitungkan kenaikan suku bunga 50bps di bulan Juni dan Juli. Namun setelah itu MAMI memandang The Fed dapat bergerak lebih fleksibel, lebih data-dependent mencermati perkembangan kondisi ekonomi sebelum memutuskan untuk tetap agresif atau bergerak lebih suportif.

“Dari berbagai komentar ketua The Fed Jerome Powell sebelumnya, kami melihat The Fed dapat bergerak lebih dovish apabila beberapa kondisi terpenuhi, yakni inflasi melewati puncak atau mulai mendatar, dan ekspektasi inflasi jangka panjang tetap terjaga. Data inflasi AS terakhir di bulan Apri mulai menunjukkan perbaikan,” urainya.

Data ‘anekdot’ seperti biaya pengapalan kontainer dan biaya pupuk Amerika Utara yang merupakan indikator untuk biaya ekspor-impor dan bahan pangan, sudah menunjukkan penurunan yang mengindikasikan tekanan inflasi mulai berkurang. Namun ini memang masih merupakan indikator sangat awal dan masih harus terus dipantau apakah perbaikan ini adalah awal dari titik balik atau hanya bersifat sementara.

Sementara itu mengenai outlook ekonomi Indonesia di tengah tekanan inflasi dan pelemahan pertumbuhan ekonomi global, Katarina Setiawan, mengatakan bahwa MAMI memiliki pandangan yang konstruktif terhadap ekonomi Indonesia. Pertumbuhan ekonomi diperkirakan membaik tahun ini seiring dengan meningkatnya mobilitas masyarakat karena tingkat kasus Covid-19 domestik yang rendah.

|Baca juga: Minat Investor terhadap Pasar Obligasi Negara Masih Solid

Konsumsi rumah tangga menyumbang sekitar 55 persen terhadap pertumbuhan ekonomi, jadi meningkatnya mobilitas akan menjadi faktor pendukung yang kuat bagi ekonomi. Selain itu Indonesia juga diuntungkan oleh harga komoditas yang meningkat, suportif bagi kinerja ekspor dan mendukung stabilitas nilai tukar rupiah. Secara historis harga komoditas yang kuat juga berdampak positif pada pertumbuhan ekonomi.

Selain dari pertumbuhan ekonomi, Indonesia juga diuntungkan oleh tingkat inflasi domestik yang terjaga. Pemerintah memastikan harga BBM Pertalite dan listrik bersubsidi tidak naik tahun ini, serta menaikkan anggaran subsidi dan kompensasi energi. Kebijakan ini akan berdampak positif bagi inflasi domestik dan memberi ruang bagi Bank Indonesia untuk tidak buru-buru menaikkan suku bunga, menjaga momentum pemulihan ekonomi.

“Jadi di tengah tantangan inflasi dan pertumbuhan global, Indonesia menawarkan proposisi yang menarik bagi investor karena memberi lindung nilai (hedge) terhadap inflasi dan bantalan (buffer) terhadap melambatnya pertumbuhan ekonomi global,” jelas Katarina.

Mengenai kenaikan anggaran subsidi dan kompensasi energi, menurut dia, kenaikan anggaran subsidi dan kompensasi energi dapat dibiayai oleh kenaikan pendapatan dari sektor komoditas sehingga beban APBN tetap terjaga. Dalam APBN Perubahan 2022, target pendapatan naik 23,1 persen sementara anggaran belanja naik 14,4 persen, sehingga defisit anggaran justru membaik dari 4,85 persen dari PDB menjadi 4,5 persen dari PDB. “Perubahan postur APBN ini positif bagi pasar obligasi karena mengurangi risiko tekanan inflasi dan mengurangi asumsi penerbitan SBN tahun ini,” tegasnya.

Sementara itu mengenai pasar saham Indonesia apakah masih ada ruang untuk penguatan lebih lanjut, atau tidak, MAMI masih memandang positif potensi pasar saham Indonesia. Kondisi makroekonomi domestik masih suportif dengan membaiknya pertumbuhan ekonomi, tingkat inflasi terjaga, dan neraca perdagangan yang kuat.

|Baca juga: REVIEW SEPEKAN: Mayoritas Data Pasar Saham Positif

Kondisi makroekonomi Indonesia secara relatif juga menarik dibandingkan kawasan lain yang harus menghadapi tantangan lonjakan inflasi dan melambatnya pertumbuhan ekonomi, sehingga potensi arus dana asing masuk ke pasar saham Indonesia juga masih terbuka. Secara bottom-up MAMI juga melihat kinerja emiten Indonesia yang membaik tahun ini seiring dengan kondisi ekonomi domestik yang kondusif. “Ekspektasi kami IHSG dapat mencapai level 7600 tahun ini dengan asumsi pertumbuhan laba korporasi sekitar 12 persen,” kata Katarina.

Di sisi lain, kinerja pasar obligasi Indonesia yang tertekan sepanjang tahun ini, dalam pandangan MAMI saat ini tekanan di pasar obligasi sudah berkurang. Dari sisi domestik, tekanan inflasi diperkirakan lebih terjaga dari ekspektasi pasar sebelumnya didukung keputusan pemerintah untuk menjaga harga BBM Pertalite dan tarif listrik bersubsidi. Pendapatan pemerintah yang meningkat dari sektor komoditas juga membawa angin positif bagi APBN, karena bisa membiayai naiknya subsidi dan mengurangi penerbitan SBN.

Selain itu, dengan tingkat inflasi yang lebih terjaga maka kenaikan suku bunga Bank Indonesia juga dapat menjadi lebih konservatif dibandingkan perkiraan pasar sebelumnya. Dari sisi eksternal, MAMI melihat masih ada kemungkinan untuk The Fed beranjak lebih dovish seiring dengan outlook ekonomi AS yang melemah dan tekanan inflasi yang mereda. Perubahan postur The Fed yang lebih dovish dapat menjadi katalis bagi pasar obligasi.

| Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Related Posts
Prev Post Ini Dia Top 5 Reksa Dana Return Tertinggi Ytd 17 Juni 2022
Next Post Maybank Indonesia Emisi Obligasi Rp5 Triliun, Peringkat Ditetapkan idAAA Stabil

Member Login

or