Media Asuransi, JAKARTA – Belanja online di e-commerce semakin menjadi keseharian masyarakat, salah satunya diakselerasi oleh pandemi. Kini, memasuki masa pasca pandemi, pola belanja tersebut diprediksi tetap melekat dengan keseharian masyarakat, terlebih dengan tersedianya metode pembayaran digital yang menawarkan kemudahan dan fleksibilitas.
Kredivo dan Katadata Insight Center kembali meluncurkan riset tahunannya mengenai Perilaku Konsumen e-Commerce Indonesia guna menganalisa lebih lanjut mengenai tren belanja konsumen di e-commerce dan penggunaan Paylater yang terus berkembang. Di tahun ke-4 ini, hasil analisis riset tersebut memanfaatkan 22 juta sampel transaksi yang berasal dari 2,2 juta sampel pengguna Kredivo di 34 provinsi dan di enam e-commerce terkemuka di Indonesia pada periode dari Januari hingga Desember 2022.
|Baca juga: Minat Masyarakat Belanja Online Kian Meningkat
SVP Marketing & Communications Kredivo, Indina Andamari, mengatakan bahwa riset tahunan ini telah menjadi riset ikonis dari Kredivo. Berbeda dengan tahun-tahun sebelumnya, riset tahun ini berakar dari tren belanja masyarakat di e-commerce yang semakin bervariasi dan dinamis.
“Sebagai pelaku pembayaran kredit digital yang mendominasi wallet share di 9 dari 10 merchant e-commerce ternama di Indonesia dan memproses jutaan transaksi setiap harinya, Kredivo memiliki data primer yang sangat kaya akan informasi tentang preferensi konsumen. Harapan kami dengan hadirnya riset ini dapat memberikan pengetahuan dan wawasan mengenai tren dan perilaku masyarakat yang dalam berbelanja online sekaligus perkembangan penggunaan Paylater,” katanya dalam keterangan resmi yang dikutip Minggu, 18 Juni 2023.
Beberapa temuan dari riset tahun ini antara lain:
1.Konsistensi peningkatan transaksi di kota tier 2 dan 3, dengan kenaikan sebesar 33 persen di 2020, 36 persen di 2021, dan 43 persen di 2022, meskipun nilai transaksi masih didominasi oleh kota tier 1 yaitu sebanyak 57 persen. Hal ini menandakan daya beli masyarakat di kota tier 2 dan 3 yang terjaga memasuki masa pasca pandemi dan pangsa e-commerce yang semakin luas ke daerah.
2.Konsumen lebih tua semakin adaptif dengan penggunaan e-commerce, dengan kenaikan konsisten dalam 3 tahun terakhir yaitu kelompok umur 36-45 dari 19 persen 2020 menjadi 24 persen di 2022, dan kelompok umur 46-55 tahun dari 4 persen di 2020 menjadi 6 persen di 2022. Penetrasi e-commerce yang sudah mencapai satu dekade berdampak pada daya beli konsumen lebih tua di e-commerce yang juga terus bertumbuh.
3.Memasuki masa pasca pandemi, terjadi pergeseran pola belanja masyarakat dengan perilaku belanja kombinasi online dan offline menjadi tren. Sebanyak 79,1 persen konsumen memilih menggunakan metode belanja kombinasi online dan offline, dengan 21 persen dari total presentasi tersebut lebih banyak melakukan pembelian secara offline dan 58,1 persen lebih banyak melakukan pembelian secara online. Sementara itu, tren belanja online tanpa kombinasi secara offline mengalami penurunan dari yang sebelumnya 28 persen menjadi 18,7 persen.
|Baca juga: 5 Tips Aman Belanja Online
4.Tren pergeseran juga terlihat dari transaksi per kategori produk, dengan turunnya nilai transaksi gadget di 2022 sebelumnya 37 persen yoy menjadi 33,7 persen yoy. Sementara terjadi kenaikan nilai transaksi di produk fashion dari 12,9 persen yoy menjadi 15,6 persen yoy. Tren ini sejalan dengan mulai kembalinya aktivitas offline masyarakat di masa transisi pandemi 2022
5.Tren preferensi belanja yang beragam berdasarkan kelompok umur, status perkawinan, dan jumlah anak. Pulsa dan voucher menjadi kebutuhan paling diminati oleh konsumen berdasarkan kelompok umur, sementara konsumen lajang paling banyak bertransaksi untuk gadget, dan konsumen dengan 1-2 anak paling banyak membeli produk kategori anak dan bayi sedangkan konsumen dengan 3-5 anak cenderung lebih fokus pada peralatan rumah tangga dan makanan
6.Meskipun secara keseluruhan transaksi 2022 meningkat dibanding 2021, terdapat penurunan di kuartal IV/2022 akibat isu resesi dan gejolak ekonomi global, dengan nilai transaksi turun dari sebesar 38,6 persen yoy menjadi 33,3 persen yoy.
Direktur Katadata Insight Center, Adek M Roza, menjelaskan bahwa beberapa temuan riset tahun ini semakin mengindikasikan daya beli masyarakat di e-commerce yang tetap terjaga selama 2022, yang merupakan masa transisi menuju endemi. Meskipun terdapat beberapa pergeseran pola belanja, kami melihat bahwa e-commerce akan tetap menjadi pilihan masyarakat untuk memenuhi kebutuhan hariannya dan akan tetap menjadi penggerak utama perekonomian Indonesia.
“Kami berharap, riset tahunan ini dapat menjadi panduan bagi para pelaku industri digital dan instansi pemerintah terkait, terutama untuk mempersiapkan strategi dalam mengoptimalkan pemulihan ekonomi di masa pasca pandemi,” katanya.
Pertumbuhan transaksi di e-commerce tidak luput dari integrasi metode pembayaran digital seperti Paylater dengan e-commerce. Sejalan dengan kebutuhan masyarakat akan opsi pembayaran yang terjangkau dan fleksibel, tren penggunaan Paylater di e-commerce terus meningkat. Persentase pengguna layanan Paylater dalam e-commerce mengalami peningkatan signifikan, dari 28,2 persen pada tahun 2022 menjadi 45,9 persen pada tahun 2023.
|Baca juga: Survei APJII: Ini Dia Daftar E-commerce Favorit Pelaku UMKM
Paylater kini juga mampu mengungguli metode transfer bank, sebanyak 16,2 persen konsumen memilih Paylater sebagai metode pembayaran yang paling sering digunakan di e-commerce, sedangkan hanya 10,2 persen konsumen yang memilih metode pembayaran transfer bank/virtual account. Sementara itu, sebanyak 60,9 persen responden yang telah menggunakan Paylater menyebutkan bahwa Paylater merupakan kredit pertama yang mereka dapatkan, terutama bagi Socio-Economic Status (SES) C.
Lebih lanjut dijelaskan bahwa, seiring dengan semakin konsistennya edukasi terkait Paylater di masyarakat, penggunaan Paylater pun mulai beralih menjadi metode pembayaran kebutuhan harian diantaranya untuk belanja barang (87,1 persen), tagihan bulanan (51,8 persen), serta pulsa & paket internet (48,9 persen).
Selain itu, pola penggunaan Paylater telah berubah menjadi lebih banyak digunakan untuk berbelanja kebutuhan bulanan dengan cicilan tenor pendek (56,8 persen) alih-alih untuk kebutuhan mendadak (52,1 persen). Perubahan ini terjadi seiring semakin tingginya tingkat pengetahuan pengguna mengenai Paylater yang kini berada di angka 32,0 (level tinggi) dibanding tahun sebelumnya di angka 26,0 (level sedang).
Menanggapi hal tersebut, Direktur CELIOS (Center of Economic and Law Studies) sekaligus Ekonom, Bhima Yudhistira, mengatakan bahwa kehadiran Paylater perlu diakui cukup memberikan manfaat ketersediaan akses kredit yang aman, terjangkau, dan mudah bagi hampir seluruh lapisan masyarakat. “Saya melihat instrumen Paylater di ekosistem e-commerce berdampak pada confidence level konsumen, terutama di kelas menengah ke atas yang sebelumnya cukup menahan pengeluaran akibat dampak pandemi,” katanya.
Menurut Bima, studi ini juga semakin menguatkan bahwa Paylater tidak hanya digunakan untuk kebutuhan mendesak, tapi sebagai metode pembayaran yang efisien untuk bertransaksi sehari-hari. “Ke depannya, seiring penggunaan Paylater yang meningkat, maka akan semakin meningkatkan multiplier effect atau dampak turunan panjang bagi industri ekonomi digital ini, mulai dari percepatan pembangunan infrastruktur hingga penyerapan tenaga kerja yang akan berdampak pada perputaran roda perekonomian,” jelas Bima.
Editor: S. Edi Santosa
| Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News