Media Asuransi, JAKARTA – Direktur Eksekutif Center of Economic and Law Studies (Celios) Bhima Yudhistira menilai kebijakan kenaikan suku bunga yang dilakukan oleh Bank Indonesia (BI) merupakan upaya dalam meredam pelemahan rupiah. Tapi, kebijakan itu lebih bersifat jangka pendek saja.
“Kenaikan suku bunga cuma obat parasetamol untuk meredam pelemahan rupiah jangka pendek. Ya kalau mau pakai suku bunga terus jangankan 25 bps, sebanyak 50 bps saja belum cukup cegah pelemahan rupiah,” ujar Bhima, ketika diwawancarai Media Asuransi, Jumat 26 April 2024.
Bhima menambahkan kenaikan suku bunga oleh BI cukup memberikan dampak nyata bagi kredit perbankan. Pasalnya, kejadian ini akan membebani masyarakat yang sedang mengajukan pinjaman atau pembelian kendaraan.
“Efek dari kenaikan bunga acuan membuat masyarakat semakin terbebani karena pembelian rumah dan kendaraan bermotor sebagian besar pakai fasilitas kredit,” ungkapnya.
|Baca juga: IHSG dan Rupiah Perdagangan Pagi Kompak Dapat Rapor Merah
Ia melanjutkan kenaikan bunga acuan juga menyebabkan perlambatan dalam kredit konsumsi. Hal ini disebabkan oleh tingginya tingkat suku bunga perbankan di Indonesia, yang kemudian diperparah oleh kenaikan suku bunga acuan BI.
“Pendapatan masyarakat yang dialokasikan untuk bayar cicilan kredit bisa makin besar porsinya dan mengurangi alokasi pembelian barang lainnya,” imbuhnya.
Bhima memprediksi situasi ini dapat berlangsung lebih lama atau hingga akhir tahun. “Situasi volatilitas dari nilai tukar bisa berlangsung sampai akhir tahun dan bergantung pada eskalasi konflik geopolitik, perlambatan ekonomi negara tujuan ekspor tradisional, hingga pergerakan konsumsi domestik,” pungkasnya.
Sebelumnya, Rapat Dewan Gubernur (RDG) Bank Indonesia pada 23-24 April 2024 memutuskan untuk menaikkan BI-Rate sebesar 25 bps menjadi 6,25 persen, suku bunga deposit facility sebesar 25 bps menjadi 5,50 persen, dan suku bunga lending facility sebesar 25 bps menjadi 7,00 persen.
Editor: Angga Bratadharma
| Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News