Media Asuransi, JAKARTA – Permintaan nikel yang berpotensi masih menjanjikan ke depan membuat Mirae Sekuritas mempertahankan rekomendasi overweight untuk sektor pertambangan logam.
Melalui Daily Write Up bertajuk Metal Mining (Maintain/Overweight) – 2H22 outlook: Attractive opportunity, analis Mirae Sekuritas, Juan Harahap, mengatakan bahwa berdasarkan studi yang dia lakukan tentang resesi baru-baru ini di AS pada tahun 1990, 2000, 2008, dan 2020, Juan melihat harga nikel turun setiap saat, berkisar 7,4%-67,4% dengan rata-rata -32,5%.
“Perhatikan bahwa penurunan harga nikel terbesar terjadi selama resesi 2008. Kami juga mencatat bahwa harga nikel sudah turun 123,6% dari level puncaknya pada 2022F. Oleh karena itu, kami percaya pelemahan harga nikel dari potensi resesi AS sudah diperhitungkan,” katanya.
|Baca juga: Eropa Serbu Batubara Indonesia, Seminggu Harga Naik 20%
Dia menjelaskan, industri nikel Indonesia berkembang pesat setelah pemerintah menerapkan larangan ekspor bijih nikel pertama pada tahun 2014. Juan yakin industri ini akan terus tumbuh di masa depan mengingat pemerintah menargetkan 30 smelter nikel beroperasi pada 2024 (2020: 19 smelter). Sebagai hasil dari ekspansi agresif ini, pemerintah memperkirakan produksi nikel mencapai 2,6 juta ton (+12,5% yoy) pada tahun 2022, di mana produk Nickel Pig Iron (NPI) diperkirakan akan meningkat sebesar 25,0% yoy. Perhatikan bahwa Indonesia telah menyalip China untuk menjadi produsen NPI terbesar di dunia pada tahun 2020.
Secara keseluruhan, Juan memperkirakan pasar nikel global akan tetap defisit pada tahun 2022 dan berubah menjadi surplus pada tahun 2023 didukung oleh pertumbuhan kapasitas yang kuat dari nikel kelas II di Indonesia. Namun, dia melihat pasar nikel global dapat kembali mengalami defisit pada tahun 2025, didorong oleh pertumbuhan permintaan yang kuat dari segmen baterai EV.
“Kami mempertahankan rekomendasi overweight di sektor pertambangan logam Indonesia. Kami percaya permintaan nikel masih menjanjikan di masa depan mengingat: 1) potensi permintaan yang kuat dari industri baja nirkarat; 2) risiko terbatas terkait pelemahan oleh resesi di US; dan 3) potensi permintaan yang besar dari sektor EV.”
| Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News