Media Asuransi, JAKARTA – Pemerintah mengakui bahwa sepanjang tahun ini, subsidi energi yang telah dialokasikan tidak tepat sasaran. Subsidi yang seharusnya dinikmati oleh golongan tidak mampu dan rentan, justru dinikmati mereka yang mampu alias orang kaya.
Kepala Badan Kebijakan Fiskal (BKF) Kementerian Keuangan, Febrio Nathan Kacaribu, menjelaskan bahwa harga energi di tahun 2022 ini meningkat tajam. Sehingga pemerintah harus memberikan subsidi dan kompensasi sebesar Rp520 triliun.
Baca juga: Siap Lunasi Obligasi, Pefindo Tegaskan Kembali Peringkat SMI idAAA
Untuk LPG tabung 3 kg misalnya, membuat harga jual eceran (HJE) dengan harga patokan menjadi sangat jauh. “HJE Rp 4.250, sementara harga patokan Rp19.609. Sehingga menunjukkan betapa besarnya beban dari subsidi LPG yang kita lakukan,” jelas Febrio dikutip Rabu Media Asuransi, 29 Juni 2022.
Tren konsumsi LPG 3 kg yang disubsidi ini pun, kata Febrio terus meningkat dibandingkan dengan konsumsi LPG non subsidi. Data yang dimiliki BKF Kementerian Keuangan, sepanjang tahun 2022 konsumsi LPG 3 kg mencapai 7,82 juta metrik ton. Sementara LPG non subsidi konsumsinya hanya 0,58 juta metrik ton.
Baca juga: Sektor Batu Bara Dipertahankan Overweight, Saham ADRO Jadi Top Picks
“Distribusi manfaat yang diterima masyarakat terhadap LPG ini memang terlihat dinikmati hampir seluruh masyarakat. Justru lebih banyak dinikmati oleh kelompok yang mampu,” jelas Febrio.
“Ini terus menjadi evaluasi untuk mempertajam subsidi ini ke depan. Kita menyadari penyediaan LPG di Indonesia hampir 89% adalah dari impor,” ujarnya lagi.
Sebagian besar suplai LPG berasal dari impor, sehingga berdampak pada defisit neraca perdagangan jika konsumsinya tidak dikendalikan.
Hal yang sama juga terjadi pada subsidi bahan bakar minyak (BBM) RON 90 atau pertalite. Konsumsi pertalite, mayoritas oleh masyarakat berpenghasilan atas.
“40% terbawah menikmati 20,7% dari total konsumsi atau sekitar 17,1 liter per rumah tangga per bulan. Sementara 60% terkaya menikmati hampir 80% dari total konsumsi atau 33,3 liter per rumah tangga per bulan. Ini kenapa kita perlu memperkuat lagi subsidy reform kita,” jelas Febrio. Aha
| Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News