1
1

Swiss Re: Pasar Reasuransi Menghadapi Tantangan di Tengah Lonjakan Kerugian

Industri reasuransi global. | Foto: Ist

Media Asuransi, GLOBAL – Dalam lingkungan pasar yang menantang, industri reasuransi bergulat dengan rintangan yang signifikan karena kerugian akibat bencana melonjak dan ketergantungan pada modal eksternal menjadi semakin rentan, menurut laporan Swiss Re berjudul “The State of the Reinsurance Property Catastrophe Market”.

Selama dua dekade terakhir, suku bunga rendah telah memicu minat yang lebih besar terhadap risiko di pasar keuangan, yang menyebabkan sebagian besar modal yang mendukung risiko bencana bersumber dari pasar alternatif seperti obligasi dan sekuritas terkait asuransi.

Dilansir dalam laman Insurance News, Swiss Re mengungkapkan bahwa kerugian yang diasuransikan dari bencana alam mencapai US$125 miliar yang mengejutkan pada tahun 2022, menandai tahun tertinggi keempat untuk rekor kerugian yang diasuransikan. Angka-angka itu hanya dikalahkan oleh kerugian pada tahun 2005, 2011, dan 2017.

Secara tradisional, pasar reasuransi mengandalkan model pendanaan swadaya. Namun, dengan meningkatnya keterlibatan modal eksternal, neraca reasuransi menjadi sangat terungkit, membuat mereka rentan terhadap arus modal jangka pendek.

|Baca juga: Tiga Gabungan Perusahaan Insurtech Alami Kerugian US$281,7 Juta di Kuartal I/2023

Pergeseran ini telah mengubah industri, menjadikannya sangat bergantung pada ketersediaan leverage modal eksternal, sehingga menimbulkan risiko dan tantangan.

Sektor reasuransi telah mengalami perubahan mendasar, laba ditahan terbukti tidak cukup untuk menutupi biaya modal, apalagi memperkuat neraca untuk menangani lanskap risiko yang meluas.

Sejak 2017, bencana alam terkait cuaca telah merugikan industri re/asuransi sebesar US$650 miliar (dalam harga tahun 2022) dalam bentuk klaim.

Sayangnya, pendapatan premi gagal mengimbangi peningkatan frekuensi dan tingkat keparahan peristiwa ini, yang mengakibatkan penurunan keuntungan industri.

Kerugian akibat bencana alam berdampak langsung pada kapasitas industri, mengurangi profitabilitas dan pasokan modal. Kerugian ini juga mempengaruhi re/asuransi dan investor untuk menilai kembali evaluasi risiko mereka.

Kekhawatiran mengenai apakah risiko diberi harga yang memadai mempengaruhi pasokan modal dan kapasitas yang tersedia untuk underwriting.

|Baca juga: Aon Perkirakan Kerugian Asuransi Bencana Global pada Kuartal I/2023 sebesar US$15 Miliar

Lonjakan bencana dan aktivitas klaim sejak 2017 telah menimbulkan keraguan di antara re/asuransi dan investor, yang menyebabkan perlambatan pasokan modal. Sebagai konsekuensinya, posisi-posisi dengan leverage melemah dalam menghadapi rekor kerugian dari bahaya sekunder dan lonjakan inflasi yang belum pernah terjadi sebelumnya, yang telah mencapai level tertinggi dalam 40 tahun.

Bahaya sekunder, seperti bencana terkait cuaca, telah menyebabkan kerugian yang menyimpang secara signifikan dari model kerugian industri tradisional. Besarnya kerugian antara tahun 1970 dan 2022 terlihat jelas, mencerminkan tantangan yang dihadapi oleh industri re/asuransi dalam mengelola kejadian tersebut.

Ketidakpastian seputar disiplin pemodelan dan kecukupan tingkat premi untuk mengatasi biaya kerugian yang meningkat dan bahaya sekunder yang muncul juga telah mengurangi selera risiko penyedia.

Menambah tantangan ini adalah pasar lunak yang berkepanjangan yang dialami oleh industri reasuransi, yang berasal dari hasil positif secara historis. Hal ini memungkinkan perusahaan asuransi utama menjadi sangat bergantung pada perlindungan reasuransi pada tingkat pengikatan yang rendah.

Ketika keseimbangan risiko bergeser antara perusahaan asuransi dan perusahaan reasuransi, pasar asuransi menjadi semakin bergantung pada pasar reasuransi, yang pada gilirannya menjadi tergantung pada pasar modal.

Awal dekade ini membawa tekanan lebih lanjut karena reasuransi menghadapi risiko sistemik dan ekonomi makro yang tidak dihargai secara memadai, dimulai dengan pandemi Covid-19 dan kerugian gangguan bisnis terkait.

Selanjutnya, dampak perang Ukraina dan guncangan inflasi yang terus berlanjut menambah tekanan. Ekonom Swiss Re memperkirakan bahwa inflasi yang lebih tinggi akan bertahan pada tahun 2023 dan seterusnya.

Editor: S. Edi Santosa

| Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Related Posts
Prev Post BI Luncurkan Buku Pedoman Pengembangan Ekonomi dan Keuangan Inklusif berbasis Kelompok Subsisten
Next Post Perusahaan Asuransi dengan Aset Besar di Indonesia Masih Dikuasai oleh JV

Member Login

or