1
1

TuK Indonesia Sebut Taksonomi Keuangan Berkelanjutan dari OJK Sebuah Kemunduran

Ilustrasi. | Foto: Media Asuransi/Arief Wahyudi

Media Asuransi, JAKARTA – Transformasi untuk Keadilan (TuK) Indonesia menyatakan kekecewaannya atas Taksonomi untuk Keuangan Berkelanjutan Indonesia (TKBI) yang diluncurkan oleh Otoritas Jasa Keuangan (OJK) pada 20 Februari 2024.

Direktur Eksekutif TuK Indonesia Linda Rosalina menilai TKBI sebagai pengkinian Taksonomi Hijau Indonesia (THI) oleh OJK mengalami kemunduran. Pengkinian taksonomi semestinya memberikan progress positif, bukan melakukan pengaburan dengan kategori ‘transisi’.

|Baca juga: IHSG Diprediksi Menguat Terbatas, Ajaib Rekomendasikan ADMR, EXCL, dan SIDO

“Klasifikasi ‘merah-kuning-hijau’ menjadi penting untuk memberikan detail informasi yang clear, terlebih secara spesifik tujuan TKBI di antaranya meminimalkan multitafsir, greenwashing, social washing, dan impact washing dengan kerangka yang berbasis science,” kata Linda, dikutip dari keterangan resminya, Kamis, 22 Februari 2024.

Kekecewaan TuK Indonesia terhadap TKBI didasari oleh beberapa alasan yakni:

  1. Sikap plin-plan OJK terhadap keuangan keberlanjutan di Indonesia. Laporan pilot project pelaporan THI (OJK, 2022) mengungkapkan portofolio kredit/pembiayaan kepada sektor ekonomi yang memiliki klasifikasi ‘merah’ atau ‘kuning’ memiliki tingkat kredit bermasalah (NPL) lebih tinggi daripada klasifikasi ‘hijau’. Pengaburan klasifikasi melalui kategori ‘transisi’ pada TKBI menimbulkan kekhawatiran atas transparansi dan risiko. Kurangnya transparansi dalam sistem klasifikasi OJK dapat menghambat pengambilan keputusan investasi/pemberian pinjaman yang tepat. Adanya ketidakjelasan ini juga berpotensi mengarah pada praktik greenwashing yang merugikan berbagai pihak, seperti negara, masyarakat, maupun sektor keuangan.
  2. Potensi deforestasi yang semakin masif. Klasifikasi ‘hijau’ dan ‘transisi’ dalam TKBI berpotensi memicu deforestasi masif. Aktivitas ekonomi berisiko tinggi terhadap lingkungan, seperti pertambangan dapat diklasifikasikan dalam kategori ‘hijau’ dan ‘transisi”. Laporan Stefan Giljum dari Institute for Ecological Economics, Vienna University of Economics and Business, Austria, menunjukkan bahwa industri pertambangan justru menyumbang 58,2 persen deforestasi hutan tropis di Indonesia. Hal ini menunjukkan inkonsistensi OJK dalam mendukung tujuan dari Paris Agreement yang sudah diratifikasi oleh Indonesia.
  3. Pengabaian fakta pada sektor pertambangan dan penggalian yang mematikan. Pada saat pemberlakukan THI yang mengklasifikasikan pertambangan dan penggalian sebagai aktivitas berisiko tinggi bagi lingkungan, kredit yang disalurkan oleh perbankan terhadap industri ini mencapai Rp256,41 miliar pada Mei 2023. Angka ini menunjukkan peningkatan signifikan dibandingkan dengan periode yang sama tahun sebelumnya sebesar Rp187,43 miliar (OJK, 2023). Oleh karena itu, ketidakjelasan klasifikasi dalam TKBI dikhawatirkan akan mendorong peningkatan pembiayaan yang signifikan oleh bank-bank di Indonesia pada bisnis pertambangan yang berisiko tinggi.
  4.  Mekanisme penanganan pengaduan yang tidak jelas. TKBI tidak menyediakan mekanisme penanganan pengaduan yang dapat diakses masyarakat, termasuk kelompok rentan dan marjinal. Hal ini membuat masyarakat sulit untuk menyampaikan keluhan dan mendapatkan solusi atas dampak negatif lingkungan dan sosial dari aktivitas ekonomi. Lebih lanjut, OJK semacam melempar tanggung jawab dari proses penanganan pengaduan ini karena memberikan wewenang kepada pelaku aktivitas ekonomi yang berpotensi memiliki dampak negatif lingkungan dan sosial untuk melihat pengaduan dan keluhan dari masyarakat sekitar terhadap aktivitas ekonomi yang mereka lakukan.
  5. Ketiadaan sanksi dan insentif. TKBI tidak memiliki ketentuan mengenai sanksi maupun denda bagi pengguna yang tidak patuh. Penggunaan TKBI bersifat sukarela. Hal ini dikhawatirkan akan menghambat transisi aktivitas ekonomi yang berkeadilan dan praktik bisnis yang berkelanjutan.

|Baca juga: Lagi, OJK Cabut Izin Usaha BPR, Kini Giliran BPR Bank Purworejo

TuK INDONESIA merekomendasikan beberapa langkah untuk mengatasi kekurangan TKBI, meliputi:

  • Memunculkan aktivitas yang dinilai ‘tidak memenuhi klasifikasi’ sebagai sebuah klasifikasi agar tidak mengaburkan dan posisi lebih jelas.
  • Membuat TKBI sebagai aturan wajib bagi pelaku bisnis dalam sektor keuangan untuk mendorong percepatan transisi praktik ekonomi menuju berkelanjutan.
  • Menyediakan mekanisme penanganan pengaduan yang mudah diakses oleh masyarakat untuk menyampaikan keluhan dan mendapatkan solusi atas dampak negatif lingkungan dan sosial dari aktivitas ekonomi dari pelaku industri.
  • Menetapkan sanksi dan insentif bagi pengguna TKBI untuk memastikan kepatuhan dan mendorong transisi menuju praktik ekonomi yang berkelanjutan.
  • Memberlakukan pembatasan pembiayaan berdasarkan klasifikasi aktivitas ekonomi.

Editor: Angga Bratadharma

| Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Related Posts
Prev Post IHSG Diprediksi Menguat Terbatas, Ajaib Rekomendasikan ADMR, EXCL, dan SIDO
Next Post Laba Bank CIMB Niaga Naik 27,0% Jadi Rp8,4 Triliun

Member Login

or