1

Keadilan di Tengah Pluralisme Hukum: Menimbang Peran Asuransi sebagai Instrumen Sosial

Oleh: Dr. Yurita Puji Agustiani S.Kom., M.T., QCRO

 

Indonesia adalah negara dengan tatanan pluralisme hukum. Hukum tidak hadir dalam satu suara. Hukum di Indonesia berkaitan dengan hukum negara, hukum agama, dan adat yang berjalan bersama dalam kehidupan kita. Tidak dapat dipungkiri, hukum yang berjalan berdampingan kadang saling berbenturan.

Industri asuransi adalah industri yang menawarkan proteksi dan pada praktiknya industri ini sering kali berada di area yang bertabrakan dalam hukum pluralisme. Salah satu produk asuransi yang akan dibahas adalah asuransi jiwa. Keadilan bagi pemegang polis dan ahli waris apakah berjalan dengan seharusnya saat hukum yang ditetapkan tidak tunggal?

Fenomena waris ini cukup menarik. Ketika musibah datang yaitu tertanggung meninggal dunia, keluarga yang mengetahui bahwa ada polis asuransi yang dimiliki tertanggung, maka keluarga akan mencari kepastian dari dokumen polis. Dokumen yang menjadi kunci dalam waris ini akan berhadapan dengan realitas, yaitu bagaimana ketentuan polis yang berhubungan dengan hukum perdata dan peraturan OJK, aturan agama, dan aturan adat. Contoh kasus dalam hal ini, misalnya tertanggung meninggal dunia lalu polis menunjuk penerima manfaat yang berbenturan dengan porsi pembagian waris versi agama atau adat. Terutama jika kasus ini merupakan klaim asuransi jiwa syariah yang berbenturan dengan praktik hibah atau wakaf yang dipahami oleh keluarga.

Konsep keadilan dalam pluralisme seharusnya tidak menjadi penghambat dengan memperhatikan empat dasar keadilan yaitu: keadilan distributif, keadilan komutatif, keadilan legal (hukum), dan keadilan sosial. Keadilan harus mampu memandu industri asuransi dan regulator. Industri dan regulator harus mengakui bahwa nasabah tidak homogen, ada yang memilih produk konvensional dan ada yang memilih produk syariah. Syarat klaim atau pembuktian hubungan dengan tertanggung sering mengabaikan pihak yang rentan seperti perempuan, anak, lansia atau pihak yang tidak paham proses administrasi pengurusan klaim.

Keadilan prosedural dalam pengurusan, dari awal pengisian formulir, harus mudah dipahami termasuk klausa di dalamnya harus dijabarkan dengan jelas, dengan bahasa yang mudah dan tegas terutama masalah batas waktu. Pada sengketa dalam pluralisme, sangat penting diatur mengenai conflict of laws internal, kapan perusahaan mengikut beneficiary dalam polis dan kapan diperlukan penyesuaian dengan hukum waris, serta bagaimana proses mediasi harus dilakukan jika ada keberatan di keluarga.

Dalam penerapan keadilan korektif atau restorative dalam penyelesaian sengketa klaim asuransi jiwa saat melibatkan hukum adat dan agama, tidak hanya fokus pada hukuman atau pencarian siapa yang benar atau yang salah. Tetapi bagaimana mencari solusi dalam memperbaiki hubungan banyak pihak, di antaranya hubungan keluarga, masyarakat, dan perusahaan, agar semua pihak merasa dihormati.

Kenyataannya dalam praktiknya selisih paham yang terjadi tidak serta-merta langsung dibawa ke pengadilan, tetapi melalui tahap mediasi yang melibatkan beberapa pihak, sehingga hasil yang didapat sejalan dengan nilai spiritual dan sosial masyarakat. Tujuan yang ingin dicapai dengan pertimbangan ini bukan hanya mematuhi hukum saja, tetapi juga menjaga kepercayaan sosial. Sesuai dengan pandangan Aristoteles, keadilan korektif  bertujuan untuk mengembalikan keseimbangan jika terjadi pelanggaran atau ketimpangan sehingga mampu memperbaiki hak dari pihak yang di rugikan.

Pendekatan yang dikembangkan dalam kriminologi modern oleh Howard Zehr (1990) melalui bukun Changing Lenses: A New Focus for Crime and Justice, prinsip utamanya adalah bahwa keadilan tidak hanya berkaitan dengan pelanggaran hukum, tetapi juga dengan pemulihan hubungan sosial yang rusak akibat suatu peristiwa. Pendekatan ini menekankan dialog, empati, dan tanggung jawab sosial antarpihak yang terlibat. Dalam praktiknya, keadilan restorative sering diterapkan dalam sistem hukum adat, seperti melalui musyawarah kampung, sidang adat, atau restorative circle, dengan tujuan utama menjaga keharmonisan dan keseimbangan sosial di masyarakat.

Industri asuransi memiliki produk dan layanan yang harus diperhatikan apakah akses masyarakat tidak ada ketimpangan. Hal ini berkaitan dengan keadilan distributif, karena ketimpangan akses tidak boleh terjadi seperti premi yang terjangkau, proses pembayaran yang mudah diakses, dan edukasi proteksi yang mudah dipahami dengan bahasa sehari-hari. Jika proteksi mampu diakses oleh orang dengan pendidikan yang baik, artinya keadilan distributif tidak terlaksana.

Pada dasarnya kontrak dalam industri asuransi tetap yang utama. Aturan kebebasan dalam melakukan kontrak mampu menjadi landasan penunjukan beneficiary dan syarat polis. Namun, perlu diperhatikan ada batasan konstitusional, yakni perlu diperhatikan bahwa kontrak harus sesuai batasan, contohnya perlindungan anak, non diskriminasi, dan lainnya. Hal ini perlu dilakukan agar jika terjadi ketidakadilan yang ditimbulkan karena norma adat atau agama, maka perusahaan tidak dapat menutup mata hanya karena mengikuti adat atau agama.

Syariah bukan sebuah label saja, tetapi syariah adalah sebuah aturan kepatuhan. Aturan kepatuhan ini dalam asuransi ayariah harus dilakukan seusai aturan Syariah. Ada dewan pengawas syariah yang harus dilibatkan untuk memastikan bahwa klaim dengan isu waris, hibah, atau wakaf, perlu dibahas dengan terbuka. Masyarakat adat juga menjadi sebuah solusi untuk mengatasi tidak lengkapnya dokumen sipil selama ada kepatuhan yang jelas. Perusahaan dapat memanfaatkan daftar bukti yang ekuivalen agar komunitas adat sebagai nasabah tidak terabaikan karena syarat administrasi.

Regulator memiliki peran yang sangat penting, regulator harus dapat memberikan pedoman sektoral untuk pembuktian relasi keluarga, standar pengurusan klaim, dan transparansi jika terjadi penolakan. Hal ini diperlukan untuk melindungi konsumen dalam sengketa waris dan kebijakan untuk inovasi dari produk asuransi, agar tidak melanggar batas konstitusional.

Asuransi adalah kontrak yang dibayar di depan, sehingga penetapan janji dapat saja rapuh. Dalam negara dengan pluralisme hukum kontrak, dapat dijaga jika kontrak meliputi kontrak modern yang melibatkan nilai agama dan kebijakan adat yang dikemas dengan keadilan. Contoh keadilan yang dimaksud meliputi prosedur yang adil, melindungi pihak yang lemah, serta lindungan dari regulator, industri, dan masyarakat.

Jika keadilan ini dapat terlaksana, maka klaim tidak akan menimbulkan perselisihan. Namun, akan tercipta ruang adil yang manusiawi yang menekankan bahwa hukum negara, agama, dan adat, saling menguatkan untuk tujuan kepentingan kesejahteraan masyarakat.

 

| Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Related Posts
Prev Post Pasar Asuransi Kesehatan Diperkirakan Melesat 6,4% di 2031, Apa Pemicunya?
Next Post Ada di Kawasan Ring of Fire, Asuransi Gempa Bumi Dinilai Wajib Diterapkan di Indonesia!

Member Login

or