1
1

Memangkas ‘Stunting’ di Industri Asuransi

Budi Sartono Soetiardjo Pemerhati Publik & Asuransi. | Foto: doc

Oleh: Budi Sartono Soetiardjo

Stunting atau dalam Bahasa Indonesia disebut tengkes, beberapa tahun terakhir ini tengah menjadi perhatian serta pemerintah. Stunting adalah gangguan pertumbuhan anak, terjadi akibat minimnya asupan nutrisi atau gizi.

Ciri khas penderita stunting adalah kurangnya tinggi badan anak dibandingkan dengan teman-teman seusianya. Dampak stunting antara lain, rendahnya kemampuan belajar anak. Selain itu, penderita stunting sangat potensial terserang penyakit kronis.

Analogi stunting diketengahkan di sini guna memberi gambaran umum tentang kondisi perasuransian di tanah air yang membutuhkan penguatan dan penyehatan secara berjenjang, serta berkelanjutan.

Fenomena ketidaksehatan perusahaan asuransi sebetulnya sudah lama terjadi, namun kurang memperoleh perhatian serius pemerintah untuk segera ditangani. Indikasi stunting di perusahaan asuransi antara lain, kinerja buruk perusahaan, perlambatan ekspansi bisnis, dan menurunnya solvabilitas perusahaan asuransi dalam memenuhi semua kewajibannya kepada pihak lain, terutama kepada para pemegang polis.

Salah satu Upaya Otoritas Jasa Keuangan (OJK) untuk mengatasi ‘stunting’ di perusahaan asuransi adalah dengan melakukan penyehatan perusahaan melalui kewajiban meningkatkan ‘asupan nutrisi atau gizi’, yakni dengan menambah modal inti atau melakukan upaya pemenuhan modal perusahaan.

Ada dua pola penyehatan yang bakal dilakukan, yakni melalui KPPE (Kelompok Perusahaan Perasuransian berdasarkan Ekuitas) dan KUPA (Kelompok Usaha Perusahaan Asuransi). Kedua pola ini mirip dengan apa yang dilakukan oleh dunia perbankan dengan apa yang disebut KBMI, yakni menyusun klasifikasi bank berdasarkan modal inti, dan mengelompokkan usaha bank atau yang dikenal dengan sebutan KUB.

Dalam KPPE, penguatan atau pemenuhan modal perusahaan asuransi dibuat secara berjenjang melalui dua tahap. Tahap pertama, pemenuhan modal yang ditargetkan selesai akhir tahun 2026, dan tahap kedua selesai pada akhir tahun 2028.

Adapun pengaturan KPPE ditetapkan sebagai berikut:

1.Perusahaan asuransi konvensional, pada tahun 2026 harus memenuhi target modal minimum Rp500 miliar dan pada akhir tahun 2028 sudah harus mencapai Rp1 triliun.

2.Perusahaan reasuransi konvensional, akhir tahun 2026 harus memenuhi target modal minimum Rp1 triliun dan pada akhir tahun 2028 sebesar Rp2 triliun.

3.Asuransi syariah, pada tahun 2026 modal minimum harus Rp250 miliar dan akhir tahun 2028 harus sudah mencapai Rp500 miliar.

4.Sedangkan reasuransi syariah, pada tahun 2026 modal inti harus Rp500 miliar dan pada tahun 2028 harus mencapai Rp1 triliun.

Apabila perusahaan asuransi tidak masuk KPPE, maka diarahkan untuk masuk KUPA.

Perusahaan asuransi dan reasuransi konvensional serta perusahaan asuransi dan reasuransi syariah, suka tidak suka harus meningkatkan ‘asupan nutrisinya’ agar tidak mengalami ‘stunting’. Kesehatan perusahaan asuransi sangat penting untuk menjaga keamanan dan kepercayaan pemegang polis.

Namun demikian, penyehatan perusahaan asuransi melalui pola KPPE tidak serta-merta menyelesaikan masalah ketika good governance dan risk management perusahaan asuransi tidak dijalankan secara benar, hati-hati, dan berkelanjutan.

Prinsip kerja perusahaan asuransi yang berbasis risk transfer harus diwujudkan dalam bentuk pengelolaan usaha yang senantiasa mengedepankan aspek prudent underwriting, sehingga perusahaan mampu tumbuh dan berkembang secara sehat dan kompetitif.

Melalui pengelompokan KPPE 1 dan 2, perusahaan asuransi bakal tidak bisa leluasa lagi menutup atau meng-cover beragam jenis risiko. Nantinya, akan ada pembatasan operasi perusahaan asuransi yang hanya boleh beroperasi di salah satu ranah risiko, yakni simple risk atau complicated risk.

Salam

 

| Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Related Posts
Prev Post Danamon, PNM, dan MUFG Bank Kerja Sama Pembiayaan UMKM
Next Post Allianz Berkomitmen Terus Tingkatkan Literasi dan Penetrasi Asuransi

Member Login

or