1
1

Menuju Perang Dingin 2.0 dan Kekalahan Amerika Serikat?

Ilustrasi. | Foto: Freepik

Oleh: Denny JA

 

Di balik gemuruh perang tarif antara Amerika Serikat (AS) dan China hari ini, tersembunyi pertarungan yang jauh lebih besar. Kita tengah menyaksikan lahirnya Perang Dingin 2.0.

Dalam Perang Dingin pertama, dunia menyaksikan runtuhnya Uni Soviet di hadapan Amerika Serikat. Soviet tak hanya kalah akibat inferioritas militer, tetapi karena lumpuh secara ekonomi dan sosial (Kissinger, 2011).

Dengan pertumbuhan ekonomi yang rendah —sekitar 1-2 persen per tahun— dan hampir seperempat PDB habis demi bersaing senjata dengan Barat, Uni Soviet ambruk dari dalam (Allison, 2017). Namun, kini Amerika menghadapi lawan berbeda. China bukan Uni Soviet yang kelelahan, melainkan kekuatan baru yang sehat, stabil, dan lebih terorganisir.

|Baca juga: Meningkat 17%, BCA Life Raih Laba Rp92,47 Miliar di 2024

|Baca juga: Trump Tunda Tarif Resiprokal ke Puluhan Negara Selama 90 Hari, Kecuali China

Bayangkan dua petinju kelas berat di atas ring global. Amerika memiliki pukulan besar berupa dominasi militer dan finansial dunia. Dengan anggaran militer sekitar 842 miliar dolar AS per tahun, jauh melampaui China yang hanya sekitar 293 miliar dolar AS (Congressional Research Service, 2022), secara kasat mata Amerika tampak unggul.

Tetapi sejarah pertarungan dunia membuktikan, kemenangan sejati tidak datang dari pukulan besar sesekali, melainkan dari konsistensi pukulan kecil yang efektif. Di sini China unggul. Pertumbuhan ekonominya stabil antara 4-6 persen tiap tahun selama dua dekade terakhir, melampaui AS yang berkisar hanya 1-3 persen (Congressional Research Service, 2022).

Jika proyeksi ini bertahan, di 2030-an, China berpeluang besar melampaui ekonomi Amerika. PDB China diproyeksi mencapai sekitar 35 triliun dolar AS, sedangkan Amerika sekitar 32 triliun dolar AS (Congressional Research Service, 2022).

Kekuatannya semakin nyata lewat dominasi manufaktur global yang mencapai hampir 30 persen, sementara Amerika hanya 16 persen (Congressional Research Service, 2022). Ketergantungan global terhadap produksi China menjadikan banyak negara enggan berkonflik terbuka dengannya.

Dari barang elektronik hingga pakaian, mainan hingga panel surya, dunia seakan tak bisa melepaskan genggaman ekonomi China.

Namun, keunggulan sejati China terletak pada model kapitalisme negara yang diterapkannya (Kissinger, 2011). Sistem ini memungkinkan pengambilan keputusan cepat dan investasi besar tanpa gangguan perdebatan politik berkepanjangan.

Belt and Road Initiative (BRI), dengan investasi lebih dari 1 triliun dolar AS di lebih dari 60 negara, menciptakan jaringan pengaruh global yang masif (Allison, 2017). Di sisi lain, Amerika Serikat terjebak dalam pertarungan politik internal. Demokrasi yang dulu jadi kebanggaan kini terasa lambat merespons perubahan global yang cepat.

Keputusan strategis tertunda, birokrasi memanjang, dan polarisasi politik melemahkan respons Amerika terhadap ancaman global. Era digital juga menunjukkan China mulai menyalip Amerika di sektor krusial seperti teknologi 5G, kecerdasan buatan, kendaraan listrik, dan energi terbarukan (Congressional Research Service, 2022).

|Baca juga: Hasil Investasi Asuransi Jiwa Diramal Terdampak IHSG yang Membara, Tergerus Signifikan?

|Baca juga: Diversifikasi dan Rebalancing Portofolio Berkala Wajib Jadi Pegangan Asuransi Jiwa Hadapi Tarif AS

Perusahaan seperti Huawei, Alibaba, dan BYD kini setara bahkan melampaui beberapa raksasa teknologi Amerika. Sementara Amerika bergumul dalam regulasi privasi data dan isu etika teknologi, China melangkah cepat dan agresif tanpa hambatan.

Namun, sejarah mencatat, kekuatan besar sering runtuh bukan karena lawan eksternal, tetapi akibat kelemahan internalnya sendiri (Allison, 2017).

China menghadapi tantangan besar: Krisis demografi akibat kebijakan satu anak, ketergantungan tinggi pada ekspor yang membuatnya rentan terhadap fluktuasi global, serta ketimpangan ekonomi antarwilayah yang rawan gejolak sosial (Kissinger, 2011).

Kontrol politik ketat China, meski efisien jangka pendek, berpotensi meredam inovasi jangka panjang. Regulasi ketat terhadap Alibaba dan Tencent merupakan contoh nyata. Tantangan lingkungan dengan emisi karbon tertinggi di dunia juga memberi tekanan serius pada pertumbuhan ekonominya di masa depan.

Sebaliknya, Amerika Serikat masih punya harapan besar dalam inovasi teknologi dan budaya. Silicon Valley tetap menjadi pusat inovasi global, melahirkan Tesla, SpaceX, dan OpenAI yang mendominasi revolusi teknologi masa depan.

Universitas seperti MIT, Stanford, dan Harvard terus menarik talenta terbaik dunia. Amerika juga punya keunggulan soft power budaya melalui film, musik, dan media sosial yang hingga kini tak tertandingi China.

Pertarungan ini bukan sekadar duel dua raksasa, tetapi ujian bagi negara ‘kelas menengah’ seperti Indonesia. Di tengah badai geopolitik, Indonesia memiliki kartu as: Posisi strategis sebagai hub ekonomi digital Asia Tenggara (Google, Temasek, Bain & Company, 2023).

Indonesia juga mengontrol 22 persen cadangan nikel global (USGS, 2023). Ini komponen kunci baterai kendaraan listrik yang diperebutkan AS dan China. Dengan kebijakan hilirisasi nikel sejak 2024, Indonesia berhasil menarik investasi miliaran dolar dari CATL (China). Ini menunjukkan potensi besar dalam diplomasi ekonomi berbasis sumber daya strategis.

|Baca juga: Bank Mega (MEGA) Bagi Dividen Tunai 2024 sebesar Rp1,05 Triliun

|Baca juga: Survei: Warga Singapura Bidik Miliki Kebebasan Finansial di Usia 40 Tahun

Di bidang digital, inisiatif seperti Pusat Data Nasional dan Strategi Nasional AI 2020-2045 menunjukkan potensi Indonesia sebagai penyeimbang: Menggunakan standar keamanan ala AS sambil mengadopsi teknologi harga terjangkau dari China.

Kunci keberhasilan terletak pada kemampuan menjadikan persaingan AS-China sebagai laboratorium kebijakan hybrid. Yaitu memanfaatkan investasi asing tanpa kehilangan kedaulatan digital, sekaligus membentuk aliansi ASEAN sebagai kekuatan tawar kolektif.

Ini jalan untuk mengubah ‘kutukan geografi’ menjadi geostrategi visioner. Ini juga saatnya Indonesia mengukuhkan diri, bukan sebagai korban pertarungan dua raksasa, tetapi sebagai pemimpin bijak yang merajut harapan baru bagi dunia.

Dalam perjalanan menuju 2045, Indonesia tak lagi cukup sekadar bermimpi menjadi ekonomi terbesar keempat di dunia, dengan proyeksi PDB sekitar 7 triliun dolar AS. Angka ini bukan sekadar target statistik, tetapi panggilan sejarah yang menuntut refleksi mendalam tentang makna kemajuan itu sendiri.

Di tengah pergolakan Perang Dingin 2.0 antara Amerika Serikat dan China, yang sejak 2023 telah mencatatkan 730 miliar dolar AS perdagangan bilateral dalam tekanan tarif tinggi, Indonesia harus merumuskan ulang visinya dengan kepekaan mendalam terhadap realitas global.

Posisi Indonesia sebagai pemegang jalur perdagangan strategis. Lalu lintas perdagangan senilai lebih dari 5 triliun dolar AS melewati Selat Malaka setiap tahun. Ini harus menjadi fondasi diplomasi damai yang fleksibel.

Menjadi ‘jembatan perdamaian’ tak cukup sekadar slogan. Ia sebuah praksis filosofis yang menjunjung tinggi prinsip nonblok, kemanusiaan universal, dan solidaritas global.

|Baca juga: Berikut Klarifikasi Allianz Indonesia terkait Isu PHK Sepihak

|Baca juga: RUPST 2025 Permata Bank (BNLI) Setujui Tebar Dividen Rp1,08 Triliun

Lebih jauh dari aspek ekonomi, Indonesia mesti secara serius membangun soft power digital yang humanis. Dengan pengguna internet mencapai 215 juta jiwa atau 78 persen populasi pada 2023, bangsa ini punya kekuatan besar untuk mengubah teknologi menjadi instrumen kesejahteraan.

Teknologi digital harus dirangkul sebagai perpanjangan tangan kemanusiaan. Ini kawasan di mana algoritma tak sekadar dingin menghitung data. Tetapi teknologi tinggi ikut menjaga ingatan kolektif bangsa, menguatkan empati sosial, dan merayakan identitas budaya yang kaya.

Perlindungan lingkungan hidup harus pula menjadi prioritas. Krisis iklim global telah meningkatkan suhu rata-rata Bumi hingga 1,2 derajat Celcius pada 2024 dibandingkan dengan era pra-industri. Ini tidak bisa lagi dipandang sebatas kebijakan teknis.

Ia harus menjadi landasan filosofis pembangunan nasional. Indonesia, sebagai rumah bagi 10 persen hutan hujan tropis dunia, dengan keanekaragaman hayati nomor dua terbesar di dunia, perlu menegaskan komitmen ekologisnya sebagai perwujudan tanggung jawab moral terhadap generasi mendatang.

Budaya Nusantara, dengan lebih dari 1.300 kelompok etnis, 718 bahasa daerah, dan tradisi yang melintasi zaman, harus menjadi inti diplomasi yang membanggakan sekaligus rendah hati. Kekayaan budaya ini adalah perwujudan filosofis dari toleransi, keterbukaan, dan kreativitas. Ini sebuah oase perdamaian di tengah kerasnya konflik global.

Visi baru menuju 2045 bukan sekadar menjadikan Indonesia negara yang besar secara angka. Tetapi negara kita perlu juga dihormati secara nilai. Kemajuan ekonomi, kelestarian lingkungan, dan kearifan budaya harus menyatu dalam harmoni sempurna.

|Baca juga: BRI Danareksa dan BRI Bersinergi Hadirkan Layanan Investasi Terintegrasi

|Baca juga: Premi SeaInsure Melonjak Hampir 350%

Indonesia akan menjadi negara di mana angka-angka statistik bersanding mesra dengan kebijaksanaan filosofis, bersama-sama menata perjalanan bangsa menuju masa depan yang seimbang dan harmonis.

Masa depan tidak berpihak pada yang terkuat secara ekonomi atau militer semata, tetapi pada bangsa yang mampu mengubah konflik menjadi harmoni, teknologi menjadi empati, dan angka menjadi makna hidup yang sesungguhnya.

Keterangan penulis: Pendiri Lingkaran Survei Indonesia (LSI)

Editor: Angga Bratadharma

| Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Related Posts
Prev Post IHSG Diprediksi Mixed, Ajaib Sarankan Koleksi Saham AMMN, ICBP, PANI
Next Post Fore Coffee Resmi Listing di BEI dengan Kode Saham FORE

Member Login

or