Oleh Christian Evan Chandra, S. Aktr., FSAI*
Meskipun Surat Edaran Otoritas Jasa Keuangan yang diekspektasikan akan memperbaiki pengalaman nasabah atas produk asuransi unitlink atau dikenal dengan PAYDI telah berlaku efektif, juga perusahaan asuransi jiwa telah meluncurkan berbagai produk yang memenuhinya, pendapatan premi dari lini PAYDI masih turun pada Maret dan April 2023 kemarin. Industri pun mulai lebih giat meluncurkan produk asuransi jiwa tradisional, khususnya pada lini nonpartisipasi. Apakah ini sudah saatnya industri asuransi jiwa kembali ke “habitat”, menawarkan proteksi tanpa unsur ketidakpastian investasi dan manajemen aset?
Sekitar dua puluh tahun lalu, asuransi jiwa individu Tanah Air yang sebelumnya diisi oleh produk asuransi tradisional untuk proteksi jiwa, pendidikan, dan pensiun mulai beralih ke PAYDI. Berbasis kontrak investasi, nasabah wajib membeli proteksi jiwa dan dapat menambahkan proteksi kesehatan, penyakit kritis, sampai pembebasan premi akibat penyakit kritis dan kecacatan. Premi tidak bersifat tetap dan pembayarannya boleh saja cuti, proteksi asuransi dapat disesuaikan dengan kebutuhan nasabah, biaya asuransi bisa berubah sewaktu-waktu, dan masa pertanggungan tidak pasti tergantung pada imbal hasil investasi serta kecukupan dana yang disetorkan nasabah untuk membayar biaya yang ada. Sekelumit permasalahan yang menyebabkan kekecewaan nasabah akhirnya berujung pada SEOJK PAYDI dan peluncuran produk baru oleh perusahaan asuransi yang lebih ramah konsumen.
Beberapa hal menjadi penyebab penurunan premi PAYDI selain citra yang sudah terlanjur kurang menyenangkan. Pertama, pembaruan prosedur penjualan yang melibatkan asesmen risiko nasabah menjadi terasa lebih merepotkan bagi nasabah itu sendiri. Kedua, penentuan premi menurut SEOJK kini harus mempertimbangkan kecukupan dana hingga masa pertanggungan berakhir termasuk dengan imbal hasil yang kurang memuaskan, sekalipun perusahaan asuransi bisa mengenakan premi yang lebih murah tanpa mengorbankan profitabilitas dan nasabah tidak menargetkan proteksinya sepanjang itu. Ketiga, kenaikan biaya asuransi atas proteksi kesehatan secara signifikan yang terjadi tahun ini di beberapa perusahaan asuransi besar dan berpengaruh terhadap polis lama maupun polis baru sehingga premi di awal penerbitan polis tidak lagi cukup alias perlu ditambah. Keempat, pembatasan biaya akuisisi per tahunnya justru malah memperpanjang durasi pengenaan biaya akuisisi, menambah total biaya akuisisi, dan memperkenalkan biaya lainnya pada produk baru tertentu.
Di sisi lain, jika nasabah hanya memerlukan proteksi jiwa, kecelakaan, cacat tetap, atau penyakit kritis dengan pembayaran tunai tertentu, produk asuransi jiwa tradisional tersedia dengan premi tetap sejak penerbitan. Beberapa di antaranya pun menetapkan masa pembayaran premi terbatas alias tidak perlu seumur hidup dan memberikan manfaat hidup terjamin baik di tengah masa pertanggungan maupun saat jatuh tempo. Keputusan Menteri Keuangan di masa lampau yang sampai saat ini masih berlaku pun menetapkan besaran nilai tunai minimum ketika pertanggungan hendak diakhiri di tengah jalan dan praktiknya perusahaan asuransi menjamin nilai tertentu yang bisa didapat sejak penerbitan polis.
Nasabah pun kini mulai bisa menerima produk asuransi kesehatan tradisional dengan perpanjangan setiap tahun (atau dikenal dengan YRT), premi yang “hangus begitu saja” jika tidak melakukan klaim, dan besar premi yang tidak menentu tetapi dapat dipastikan meningkat seiring umur. Pelayanan BPJS Kesehatan yang semakin membaik dan keberadaan program asuransi kesehatan kumpulan dari tempat kerja juga membuat sebagian masyarakat menunda atau bahkan menghindari sama sekali untuk membeli polis asuransi kesehatan pribadi.
Kesadaran nasabah akan risiko investasi ditambah dengan ketidakpastian ekonomi global perlahan memang akan menggeser pangsa pasar PAYDI kembali ke produk asuransi tradisional. Kecuali untuk proteksi kesehatan khususnya terkait biaya perawatan, inflasi medis yang tinggi akan membuat preminya tidak bisa ditetapkan untuk jangka panjang dan nasabah hanya punya pilihan untuk memilikinya melalui PAYDI atau produk asuransi YRT.
Para aktuaris, ahli asuransi, dan manajer investasi akan dituntut berpikir lebih keras dalam mengelola risiko investasi dan memastikan kemampuan membayar manfaat sesuai yang dijanjikan pada kontrak asuransi tradisional. Nasabah juga dituntut lebih jeli dan realistis dalam menghindari produk dengan premi yang relatif “terlalu murah” terhadap manfaat yang diberikan. Pekerjaan rumah tersisa bagi industri asuransi dan Pemerintah secara bersama-sama dalam membuat program asuransi kesehatan lebih terjangkau bagi masyarakat.
Pemerintah khususnya Kementerian Kesehatan perlu meninjau kembali hal-hal yang menyebabkan keterjangkauan biaya dan kualitas pelayanan berobat di Indonesia belum maksimal dan bisa bersaing dengan negara tetangga. Sulit bagi industri asuransi untuk menurunkan premi proteksi kesehatan jika biaya klaim yang harus dibayar tinggi dan terus meningkat. Peningkatan derajat kesehatan masyarakat melalui penerapan gaya hidup sehat dan mengedepankan perilaku mencegah daripada mengobati penyakit juga dapat menurunkan frekuensi terkena penyakit dan akhirnya biaya klaim tersebut dapat ditekan.
Dalam jangka panjang, inovasi produk asuransi kesehatan mutlak diperlukan. Program Integrated Shield Plan di Singapura yang dapat mengintegrasikan manfaat program sejenis BPJS Kesehatan di sana dan kepemilikan proteksi kesehatan swasta sudah selayaknya dipertimbangkan di Tanah Air. Kelak proteksi asuransi individu hanya perlu membayar apa yang tidak ditanggung oleh BPJS Kesehatan dan juga proteksi asuransi kumpulan dari tempat kerja, sehingga premi bisa ditekan.
Berbagi risiko dengan nasabah itu sendiri juga berpotensi menurunkan biaya klaim. Mekanisme coinsurance, copay, atau deductible yang menuntut nasabah untuk turut menanggung sendiri sebagian dari biaya perawatan dapat dipertimbangkan. Dengan demikian, nasabah berpikir lebih keras dalam memilih tempat dan kelas perawatan yang terjangkau serta mengendalikan diri terhadap tindakan yang sebenarnya tidak diperlukan. Proteksi keluarga dalam satu polis dengan batasan bersama juga dapat menurunkan premi.
*Penulis merupakan alumni Program Sarjana Ilmu Aktuaria Universitas Indonesia (UI) yang saat ini bekerja sebagai analis aktuaria dan memegang sertifikasi FSAI.
Disclaimer: Tulisan ini mewakili pandangan pribadi dan bukan pandangan tempat kerja.
| Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News