Oleh: Ir. Russel Effandy, AAAI-K, IPGDI. Dip. CII., CII Ambassador
Sebanyak 13 perusahaan asuransi, termasuk reasuransi kini dalam status pengawasan khusus Otoritas Jasa Keuangan (OJK). Pengawasan tersebut bertujuan untuk mengamankan dana nasabah dan eksistensi perusahaan itu sendiri.
Kepala Eksekutif (KE) Pengawas Industri Keuangan Non Bank (IKNB) OJK, Ogi Prastomiyono, pada hari Selasa, 6 Desember 2022 mengungkapkan bahwa perusahaan yang sedang diawasi khusus di IKNB itu kurang lebih ada 7 perusahaan yang saat ini dalam kategori pengawasan khusus di asuransi jiwa dan 6 perusahaan yang asuransi umum, termasuk di reasuransi. Pemantauan pun dilakukan OJK secara intensif dengan menjalin koordinasi bersama pemegang saham, direksi, dan komisaris perusahaan terkait.
Dia tidak membeberkan nama masing-masing perusahaan yang dimaksud dan permasalahannya. Namun demikian, jumlah itu tidak sedikit jika merujuk direktori OJK per kuartal II/2022 bahwa ada 53 entitas perusahaan asuransi jiwa, 71 perusahaan asuransi umum, dan 7 perusahaan reasuransi (131 perusahaan semuanya).
Salah satu yang menjadi sorotan OJK adalah terkait bisnis asuransi kredit di sektor industri asuransi umum. Ogi menerangkan, rasio klaim lini bisnis itu secara industri memang masih di bawah agregat 100%. Namun ada satu-dua perusahaan yang memiliki rasio klaim yang sudah tembus 100%.
Apakah pengawasan yang telah dilakukan oleh OJK sudah benar dan cukup?
Underwriting Auditing
Dari pengalaman berasuransi penulis, rasanya ada yang belum pernah dilakukan atau dibahas oleh OJK sampai tuntas. Hal itu adalah Underwriting Auditing. Apakah Underwriting Auditing dalam perusahaan asuransi?
Di dalam buku IF3 CII Insurance underwriting process dikatakan bahwa peran underwriting termasuk identifikasi, penilaian dan penerimaan risiko, penetapan tarif dan faktor keuangan lain yang relevan. Lalu di halaman 11 dikatakan peran underwriter adalah untuk antara lain menilai risiko yang akan dimasukkan ke pool; memutuskan apakah akan menerima risiko atau tidak, atau berapa banyak yang akan diterima; menentukan syarat, ketentuan dan luas jaminan pertanggungan asuransi yang akan ditawarkan; dan menghitung premi yang sesuai dan adil.
Isi buku IF3 CII ini sejalan dan bisa menjadi salah turunan penting dari POJK 44/2020 terkait Penerapan Manajemen Risiko. Mengapa demikian? Banyak sekali petunjuk cara kita melakukan underwriting dengan baik di sana. Dan ini akan dibahas penulis dalam tulisan berikutnya.
Jika diizinkan mengambil salah satu contohnya, maka referensi di bawah ini dapat menjadi salah satunya: di bab 10 kita diajak untuk membedah komponen dari tarif premi risiko yang akan diterima oleh perusahaan asuransi. Kelima komponen itu adalah Risk premium, Expenses, Return on capital employed (ROCE), Investment income, dan Premium taxes.
Sehingga setiap kali harga risiko ditetapkan oleh seorang underwriter, maka kelima komponen di atas harus dipertimbangkan. Dan saat underwriting auditing dilakukan, maka pertanyaan yang diajukan sebaiknya mengerucut kepada apakah keberadaan kelima komponen sudah dipertimbangkan dalam kertas kerja sebelum penetapan tarif dilakukan.
Jikalau kita menukik lebih dalam, maka salah satu komponen terpenting yang harus selalu ada di dalam tarif premi adalah risk premium. Premi risiko dapat didefinisikan sebagai biaya akhir yang diharapkan dalam klaim dari risiko yang diterima, termasuk loading yang wajar dari tingkat ketidakpastian yang melekat pada biaya klaim (baik dalam proses estimasi atau melalui sifat dari klaim itu sendiri).
Apakah underwriter kita di 13 perusahaan asuransi yang diawasi OJK sudah disiplin menerapkan perilaku yang sesuai dengan role of underwriters di atas? Mari kita bahas di tulisan selanjutnya.
Referensi:
PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 44 /POJK.05/2020 TENTANG PENERAPAN MANAJEMEN RISIKO BAGI LEMBAGA JASA KEUANGAN NONBANK
Intisari POJK 44/2020
Risiko adalah potensi kerugian yang tidak dapat dikendalikan dan/atau dapat dikendalikan akibat terjadinya suatu peristiwa tertentu.
Manajemen risiko adalah serangkaian prosedur dan metodologi yang digunakan untuk mengidentifikasi, mengukur, mengendalikan, dan memantau risiko yang timbul dari seluruh kegiatan usaha LJKNB.
Risiko strategis adalah risiko akibat ketidaktepatan dalam pengambilan dan/atau pelaksanaan suatu keputusan strategis serta kegagalan dalam mengantisipasi perubahan lingkungan bisnis.
Risiko operasional adalah risiko akibat ketidakcukupan dan/atau tidak berfungsinya proses internal, kesalahan manusia, kegagalan sistem, dan/atau adanya kejadian eksternal yang memengaruhi operasional LJKNB.
Risiko asuransi adalah risiko kegagalan perusahaan asuransi, perusahaan reasuransi, perusahaan asuransi syariah, dan perusahaan reasuransi syariah untuk memenuhi kewajiban kepada pemegang polis, tertanggung, atau peserta sebagai akibat dari ketidakcukupan proses seleksi risiko (underwriting), penetapan premi atau kontribusi, penggunaan reasuransi, dan/atau penanganan klaim.
Risiko kredit adalah risiko akibat kegagalan pihak lain dalam memenuhi kewajiban kepada LJKNB.
Risiko pasar adalah risiko pada posisi aset, liabilitas, ekuitas, dan/atau rekening administratif termasuk transaksi derivatif akibat perubahan secara keseluruhan dari kondisi pasar.
Risiko likuiditas adalah risiko akibat ketidakmampuan LJKNB untuk memenuhi liabilitas yang jatuh tempo dari sumber pendanaan arus kas dan/atau dari aset likuid yang dapat dengan mudah dikonversi menjadi kas, tanpa mengganggu aktivitas dan kondisi keuangan LJKNB.
Risiko hukum adalah risiko yang timbul akibat tuntutan hukum dan/atau kelemahan aspek hukum.
Risiko kepatuhan adalah risiko akibat LJKNB tidak mematuhi dan/atau tidak melaksanakan peraturan perundang-undangan dan ketentuan yang berlaku bagi LJKNB.
Risiko reputasi adalah risiko akibat menurunnya tingkat kepercayaan pemangku kepentingan yang bersumber dari persepsi negatif terhadap LJKNB.
Pasal 3 (1) LJKNB wajib menerapkan manajemen risiko secara efektif.
Penulis adalah Chartered Insurance Institute (CII) Ambassador
| Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News