Oleh Azuarini Diah P. MM, CWMA
Di tengah ancaman bencana alam yang nyata di nusantara, perilaku konsumen Indonesia dalam membeli asuransi bencana alam masih menunjukkan gap yang cukup besar antara risiko yang dihadapi dan proteksi yang diambil.
Berdasar bukti penelitian dan pemetaan risiko yang dilakukan oleh PT Reasuransi MAIPARK Indonesia (MAIPARK), dalam horizon 10 tahun ke depan sebagai tanggapan terhadap potensi gempa besar atau megathrust terdapat sejumlah faktor yang memengaruhi keputusan konsumen serta tantangan dalam penetrasi asuransi bencana.
MAIPARK telah sejak beberapa tahun terakhir melakukan pemetaan intensif terhadap potensi gempa besar termasuk di zona subduksi Barat Sumatera dan Selatan Jawa dan menegaskan bahwa Indonesia memiliki ‘seismic gap’, yaitu area yang sudah lama tidak melepaskan gempa besar dan karenanya risiko terjadinya gempa yang signifikan tetap sangat tinggi (Untari, 2024).
Perusahaan ini juga meluncurkan perangkat modelling kerugian seperti MCM 3.0 (Maipark Catastrophe Modelling) yang menggunakan data klaim dan kerentanan Indonesia untuk memperkirakan potensi kerugian akibat gempa.
Didukung perangkat yang diberi nama SENA dapat diakses oleh perusahaan anggota, karena MAIPARK dimiliki oleh seluruh perusahaan asuransi umum di Indonesia. Bahkan perangkat ini mampu mendeteksi sejauh mana daerah berisiko terhadap bencana alam. Dengan demikian, asuransi bencana alam bukan sekadar pilihan, melainkan bagian dari strategi mitigasi risiko nasional dan individual.
Meski risiko tinggi tercatat, penetrasi asuransi bencana alam pada masyarakat Indonesia masih sangat rendah. Kurang dari lima persen aset properti yang diasuransikan terhadap risiko gempa atau bencana besar (The World Bank, 2012). Contoh nyata: usai gempa di Kabupaten Cianjur (Jawa Barat), yang mengakibatkan kerusakan rumah dan korban jiwa besar, MAIPARK mencatat bahwa banyak dari rumah rusak itu tidak diasuransikan, karena rendahnya kesadaran masyarakat terhadap pentingnya asuransi bencana alam (IARFC, 2023). Dengan demikian, perilaku konsumen menunjukkan bahwa meskipun risiko dan kerugian nyata, pembelian asuransi sebagai instrumen proteksi masih jauh dari ideal.
Faktor-faktor yang Mempengaruhi Pembelian
Berbagai faktor memengaruhi keputusan konsumen Indonesia dalam mengambil asuransi bencana alam:
- Kesadaran risiko.
Tanpa pemahaman yang kuat bahwa bencana alam bisa terjadi kapan saja termasuk gempa besar di zona megathrust konsumen kurang terdorong membeli proteksi.
- Harga premi dan persepsi value
Asuransi bencana alam sering dilihat sebagai biaya tambahan dengan manfaat yang belum digarantikan di benak masyarakat, khususnya jika merasa ‘tidak akan kena’.
- Kepercayaan pada institusi dan produk
Karena produk asuransi kebencanaan di Indonesia masih relatif kurang populer, masyarakat kadang ragu pada mekanisme klaim atau cakupan. MAIPARK menekankan pentingnya building code dan standar mitigasi sebagai bagian dari value-chain asuransi risiko. (Untari, 2024).
- Keterjangkauan dan kemudahan akses
Untuk segmen masyarakat luas, terutama di daerah rawan bencana tapi dengan kapasitas finansial terbatas, produk asuransi mikro (premium kecil, klaim cepat) menjadi penting. MAIPARK menyoroti bahwa “produk asuransi mikro” harus diperkuat untuk meningkatkan penetrasi. (IARFC, 2023)
- Peran regulasi dan edukasi
Pemerintah, asosiasi asuransi, dan pemangku kepentingan lainnya perlu mendorong literasi keuangan kebencanaan dan skema proteksi kolektif agar perilaku konsumen berubah.
Tren 10 Tahun ke Depan
Memasuki dekade mendatang, ketika potensi megathrust semakin menjadi sorotan, perilaku konsumen dalam membeli asuransi bencana alam di Indonesia diperkirakan akan mengalami sejumlah perubahan.
Pertama, peningkatan permintaan proteksi. Risiko gempa besar atau tsunami akan makin dicanangkan sebagai ‘tidak bisa diabaikan’, maka pasar asuransi bencana alam berpotensi tumbuh. MAIPARK menargetkan pertumbuhan premi double digit untuk beberapa tahun ke depan. (Saputra & Werdiningsih, 2025)
Kedua, produk yang lebih adaptif dan terjangkau. Konsumen akan mencari asuransi yang mudah diakses, dengan premi yang lebih ringan dan prosedur klaim yang cepat. Skema asuransi mikro akan makin penting.
Ketiga, integrasi teknologi dan data. Dengan penggunaan model kerugian dan data zona gempa seperti MCM 3.0, konsumen semakin mampu memilih produk yang sesuai risiko lokal mereka yang mungkin mendorong pembelian di wilayah rawan.
Keempat, peningkatan kolaborasi publik-swasta. Untuk menjangkau masyarakat yang belum terlindungi, skema kerjasama antara pemerintah dan asuransi seperti PPP (public private partnership) akan makin marak. Konsumen akan mendapatkan opsi produk bersama yang mungkin disubsidi atau difasilitasi oleh negara.
Kelima, kesadaran tertanam sebagai bagian dari gaya hidup. Sebagaimana pelindungan kesehatan atau pendidikan, maka asuransi bencana alam harus mulai dilihat sebagai kebutuhan dasar bagi rumah tangga di wilayah rawan. Konsumen yang proaktif mulai membeli proteksi dengan mindset ‘preventif’ bukan sekadar ‘reaktif’.
Tantangan
Meskipun tren di atas menunjukkan potensi yang positif, masih banyak hambatan yang mempengaruhi perilaku pembelian, yakni:
- Banyak konsumen yang masih merasa “bencana tidak akan terjadi kepada saya”. fenomena psikologis yang disebut optimism bias.
- Biaya premi yang masih dianggap relatif tinggi untuk rumah tangga menengah ke bawah, khususnya di wilayah pedesaan atau pulau terpencil.
- Kurangnya literasi finansial dan asuransi. Beberapa rumah tangga belum memahami dengan jelas manfaat proteksi dan bagaimana mekanisme klaim bekerja.
- Ketidakpastian regulasi atau implementasi asuransi bencana alam secara nasional. Meskipun MAIPARK dan lembaga terkait sudah aktif, skema yang mencakup seluruh masyarakat belum menyeluruh.
- Kapasitas industri asuransi dan reasuransi yang harus diperkokoh agar dapat menanggung potensi klaim besar bila gempa megathrust benar-benar terjadi.
Bagi masyarakat Indonesia yang tinggal di wilayah rawan bencana alam seperti zona megathrust, zona subduksi, pinggiran gunung api, beberapa langkah praktis dapat dilakukan:
Pertama, kenali risiko lokal Anda. Apakah wilayah Anda termasuk zona gempa besar, longsor, tsunami, atau banjir? MAIPARK bahkan menyajikan peta zonasi yang bisa menjadi acuan. Kedua, cari produk asuransi yang mencakup risiko bencana alam secara spesifik tidak hanya asuransi kebakaran umum atau kerusakan struktural biasa.
Ketiga, perhitungkan premi sebagai ‘investasi proteksi’, bukan sekadar tambahan biaya. Jika rumah atau aset Anda rusak atau hilang akibat bencana, kerugiannya bisa jauh melebihi premi yang dibayarkan.
Keempat, pastikan mekanisme klaim jelas dan cepat, pilih perusahaan yang memiliki reputasi baik dan jaringan pemulihan yang jelas. Kelima, pertimbangkan skema asuransi mikro atau berbasis pemerintah jika kapasitas finansial terbatas. Mulailah dari sekarang, jangan menunggu setelah bencana terjadi untuk baru sadar pentingnya asuransi.
Perilaku konsumen Indonesia dalam membeli asuransi bencana alam saat ini masih didominasi oleh rendahnya penetrasi dan rendahnya kesadaran. Padahal risikonya sangat nyata termasuk potensi gempa megathrust yang bisa menimpa ratusan ribu rumah dan mengakibatkan kerugian besar.
Dengan bukti dan pemetaan yang dilakukan oleh MAIPARK, penting bagi konsumen untuk segera menempatkan asuransi bencana alam bukan sebagai opsi tambahan, melainkan bagian integral dari perlindungan aset dan kehidupan.
Dalam rentang 10 tahun mendatang, ketika industri asuransi mampu menghadirkan produk yang lebih adaptif, teknologi prediksi risiko semakin baik, dan literasi masyarakat meningkat, maka perilaku konsumen akan bergeser ke arah pembelian proaktif proteksi bencana alam namun keberhasilan akhirnya sangat tergantung pada kesiapan individu dan kolektif untuk bertindak saat ini.
Penulis adalah Ketua Umum Komunitas Penulis Asuransi Indonesia ( KUPASI )
| Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
