1
1

Tanpa Gatekeeper, Inflasi Medis akan Menghancurkan Sistem Kita

Nickolai Indrarajasa Head of Managed Healthcare Services mQare (bagian dari grup Sinarmas). | Foto: doc

Oleh: dr. Nickolai Indrarajasa, MARS., QRGP

 

Inflasi medis Indonesia telah melampaui 13 persen per tahun, dan proyeksi terbaru menyebutkan bisa menembus 19 persen di tahun depan (BPS, 2024; Mercer Marsh, 2023). Sementara inflasi umum tetap di bawah tiga persen, biaya layanan kesehatan justru berlari tanpa kendali. Ini bukan sekadar angka, ini ancaman langsung terhadap keberlanjutan sistem jaminan sosial dan industri asuransi kesehatan.

Sebagai pelaku industri dan pengamat di bidang pembiayaan kesehatan, saya merasa kita sudah terlalu lama menghindari pertanyaan paling mendasar: Mengapa pasien masih dapat langsung ke spesialis di rumah sakit tanpa rujukan, dan kita seolah membiarkan sistem ini terus bocor dari hulunya?

Kita sering kali merasa bahwa market selalu benar, kemudian takut untuk memperbaiki arah yang salah.

 

Masalah dan Solusinya

Di balik inflasi medis yang tak terkendali, kita akan menemukan pola yang berulang:

– Pasien datang ke RS langsung ke spesialis, bahkan untuk keluhan ringan.
– Tidak ada kontrol apakah layanan itu perlu secara klinis atau bisa ditangani di FKTP.
– RS, didorong oleh model fee-for-service, berlomba menawarkan layanan tambahan, tanpa insentif untuk efisiensi.

Sistem saat ini mendorong overutilisasi. Tanpa gatekeeper, biaya kesehatan akan selalu tumbuh lebih cepat daripada kemampuan finansial negara dan industri. Hal ini akan memberikan dampak sistemik terhadap sustainibilitas industri kesehatan, baik fasilitas kesehatan maupun penjamin.

Solusinya adalah kita perlu menerapkan sistem managed care murni, bukan setengah hati. Bukan sekadar sistem kapitasi FKTP lalu dibobol oleh RS melalui akses langsung ke spesialis.

Kita butuh sistem gatekeeping yang wajib, digital, dan tidak bisa disiasati. Klinik Pratama dan Klinik Utama harus menjadi pintu masuk wajib untuk semua layanan kesehatan. Diagnosis awal, tata laksana awal, rujukan rasional berbasis protokol. Bukan opini bebas pasien atau rumah sakit.

 

Bukti Empiris: Gatekeeper Menurunkan Biaya

Telemedicine juga menjadi bagian penting dari sistem gatekeeper modern. Sebagai kanal kontak pertama (digital front door), telemedicine terbukti efektif melakukan triase awal, menyaring kasus ringan, dan mencegah rujukan tidak perlu ke layanan sekunder.

Studi di AS menunjukkan 83 persen keluhan pasien selesai di sesi telemedicine pertama tanpa perlu rujukan lanjutan (Taskforce Telehealth, 2020). Di Brasil, integrasi telemedicine dalam proses rujukan menurunkan daftar tunggu spesialis hingga 88 persen dan mempersingkat waktu tunggu rujukan kritis lebih dari 100 hari (Gadenz et al., 2021).

Dari sisi efisiensi biaya, telemedicine juga mencatatkan penghematan signifikan:

– Biaya rata-rata konsultasi: telemedicine US$40-US$50 vs US$136-US$176 tatap muka (HRS, 2022)
– Pengurangan kunjungan IGD hingga 36 persen (Cigna, 2022)
– Penurunan biaya total per episode hingga enam persen (Anthem Study, pre-COVID)
– ROI positif dan pengalihan hingga US$250 miliar belanja medis tahunan ke telehealth (McKinsey, 2023)

Dengan fungsi gatekeeping digital dan efisiensi klaim, telemedicine dalam sistem managed care dapat berkontribusi menurunkan inflasi medis tahunan sebesar 2–3 poin persentase. Jika tanpa intervensi inflasi medis Indonesia berpotensi naik ke 19 persen (Mercer, 2023), maka dengan penerapan gatekeeper digital berbasis telemedicine, proyeksi inflasi dapat ditekan ke kisaran 15-16 persen bahkan lebih rendah bila terintegrasi penuh dengan DCP dan adjudikasi AI.

Namun efektivitas telemedicine juga tidak lepas dari keterbatasan. Tidak semua kasus dapat diselesaikan secara jarak jauh, kasus gawat darurat, kebutuhan pemeriksaan fisik langsung, dan tindakan invasif tetap membutuhkan kunjungan ke fasilitas.

Selain itu, tantangan konektivitas, keterbatasan literasi digital, dan kemungkinan risiko overutilisasi (jika tanpa sistem verifikasi atau insentif yang tepat) perlu diwaspadai. Oleh karena itu, integrasi telemedicine dalam managed care harus selalu dilengkapi dengan clinical pathway dan adjudikasi digital agar tetap efisien dan akuntabel.

Dalam banyak studi internasional dan simulasi lokal, hasilnya konsisten:

Intervensi Efek Terhadap Klaim
Gatekeeping (klinik sebagai filter awal) ↓ klaim hingga 25–53% (Ferris et al., 2001; OECD, 2022)
DCP & AI adjudication ↓ fraud & inefisiensi (Cochrane, 2024; Deloitte, 2023)
Program chronic care ROI > 3:1, penurunan biaya hingga 28 persen (Harvard Meta-Analysis, 2010; CMS, 2022)

Bayangkan, jika kita dapat menurunkan klaim tahunan per kapita dari Rp4,2 juta menjadi Rp3,1 juta, kita dapat menghemat lebih dari Rp100 miliar per 100.000 peserta. Ini merupakan proyeksi berbasis data yang dapat diwujudkan dengan implementasi tepat.

 

KMK 1366/2025: Peluang atau Ancaman Baru terhadap Inflasi Medis?

Pada September 2024, Kementerian Kesehatan menerbitkan KMK No. 1366/2025 yang mengatur skema Coordination of Benefit (CoB) antara BPJS Kesehatan dan asuransi tambahan. Regulasi ini memungkinkan rumah sakit menagih hingga 200 persen dari tarif INA-CBG, dengan skema: BPJS menanggung 75 persen, dan asuransi tambahan menanggung sisanya (hingga 125 persen) (Kemenkes, 2024).

Tanpa kendali medis seperti gatekeeper dan DCP, skema CoB ini dapat mempercepat inflasi medis secara sistemik.

Simulasi Dampak CoB terhadap Inflasi Biaya

Komponen Tanpa CoB CoB Bebas (Tanpa Kendali)
Rata-rata klaim per kapita/tahun Rp4.200.000 Rp6.300.000
Populasi CoB (10 persen dari 100.000) 10.000 10.000
Total klaim tahunan Rp42 M Rp63 M
↑ Selisih beban klaim – Rp21 M (+50 persen)

Jika tren ini meluas, proyeksi inflasi medis nasional dapat melaju dari 13 persen ke atas 16-19 persen per tahun (Mercer, 2023).

 

Bagaimana Jika CoB Dibarengi Managed Care Murni?

Jika penerapan CoB juga disertai penerapan sistem managed care murni termasuk gatekeeper, DCP, adjudikasi AI, dan telemedicine sebagai kanal awal triase, maka efisiensi biaya akan meningkat lebih besar.

Tambahan penting lainnya adalah kebijakan copayment atau iuran bersama. Studi oleh Buchmueller et al. (2013) dan Chan (2016) menunjukkan bahwa pemberlakuan copay yang tepat dapat menurunkan utilisasi layanan non-esensial dan menekan pertumbuhan biaya medis tahunan sebesar 0,5-1,8 persen tergantung pada desain copay dan segmentasi peserta. Copay berfungsi sebagai instrumen pengendali moral hazard dan mendorong pasien lebih bijak dalam menggunakan layanan kesehatan.

Namun, copay juga harus dirancang hati-hati agar tidak menjadi hambatan akses layanan penting.

Komponen Tanpa CoB CoB Bebas CoB + Managed Care
Rata-rata klaim/tahun Rp4.200.000 Rp6.300.000 Rp3.900.000
Efisiensi dibanding CoB bebas – – ↓ Rp30 M (48 persen)

Catatan penting: Angka Rp3.900.000 pada skenario CoB + managed care lebih tinggi dari Rp3.100.000 yang digunakan pada simulasi sebelumnya karena segmen CoB secara alami memilih layanan kelas lebih tinggi. Mereka tetap naik kelas (misalnya ke VIP), sehingga biaya tetap lebih besar daripada peserta non-CoB. Namun, dengan penerapan gatekeeper, DCP, dan AI, biaya tetap dapat ditekan jauh di bawah skenario bebas kendali.

Rerata Rp3.100.000= biaya peserta reguler dalam sistem managed care penuh.

Rerata Rp3.900.000=biaya peserta CoB yang naik kelas, tapi dalam sistem managed care terkendali.

 

Catatan Tambahan tentang Efisiensi

Sebagai perbandingan makro, BPJS Kesehatan pada Maret 2024 mencatat total peserta aktif mencapai 268,7 juta jiwa. Dari jumlah ini, sekitar 60-65 persen tercatat memanfaatkan layanan JKN secara aktif per tahun (Kemenkes, 2024; BPJS, 2024). Jika pendekatan managed care diterapkan secara nasional dan asumsi efisiensi minimum mencapai Rp1 juta per peserta aktif per tahun, maka: efisiensi tahunan potensial nasional sebesar Rp160-Rp170 triliun. Ini setara dengan pengendalian lebih dari 40 persen biaya klaim aktual nasional, dan menjadi bukti bahwa transformasi gatekeeping bukan hanya strategi medis, tapi strategi fiskal negara.

Catatan penting: Estimasi efisiensi awal sebesar Rp24 miliar adalah hasil konservatif dari dampak penerapan gatekeeper, DCP, dan AI adjudikasi terhadap peserta CoB yang naik kelas. Namun, jika ditambahkan efisiensi dari dua intervensi tambahan yaitu: telemedicine sebagai kanal awal triase digital, dan copayment untuk mengendalikan moral hazard penggunaan layanan,maka total efisiensi tahunan dapat meningkat menjadi:

– Rp24 miliar (core managed care)
– + Rp6 miliar tambahan (estimasi agresif 2,5 persen dari baseline biaya Rp6,3 juta/peserta)
– → Total efisiensi=Rp30 miliar per 10.000 peserta CoB per tahun

Artinya, dengan pendekatan agresif yang mengasumsikan penurunan inflasi medis tahunan sebesar tiga persen dari telemedicine dan 1,5 persen efisiensi dari copayment, total penghematan terhadap skenario bebas kendali meningkat menjadi 48 persen dibanding baseline klaim Rp6,3 juta/peserta.

 

Rekomendasi Strategis

Agar KMK 1366/2025 tidak menjadi pemicu inflasi medis baru, perlu empat langkah pengaman:

  1. Rujukan digital wajib dari FKTP/Klinik Utama sebelum ke RS.
  2. Integrasi Dynamic Clinical Pathway (DCP) sebagai prasyarat klaim.
  3. Klaim CoB harus masuk sistem adjudikasi berbasis AI.
  4. Insentif kepada fasilitas kesehatan berbasis outcome, bukan volume layanan.

 

Jangan Tunggu Sistem Kolaps

Sebagai pelaku industri & pengamat, saya ingin menyampaikan hal ini dengan jujur:

– Kita tidak dapat lagi membiarkan sistem pelayanan spesialistik dibuka lebar tanpa kontrol.
– Tanpa intervensi gatekeeper yang nyata, kita hanya menunggu inflasi medis menghancurkan sistem dari dalam.

Managed care murni bukan hal ekstrem, namun merupakan strategi pengendalian biaya medis yang terbukti efektif secara global dan kini terbukti layak secara ekonomi dan teknologi untuk diterapkan di Indonesia. Dengan penerapan gatekeeper digital, DCP, adjudikasi AI, dan insentif berbasis outcome, kita memiliki perangkat yang diperlukan untuk menekan inflasi medis dan meningkatkan efisiensi tanpa mengorbankan mutu layanan. Ini  adalah langkah logis dan terukur untuk menyelamatkan keberlanjutan pembiayaan kesehatan kita.

Jika Anda merupakan regulator, pembuat kebijakan, atau pimpinan di sektor asuransi, mari duduk bersama. Kita sudah tahu apa yang salah. Sekarang saatnya bertindak.

 

Penulis adalah seorang IoMT Enthusiast dan Health Ecosystem Creator

 

| Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Related Posts
Prev Post Nyaris Separuh Warga RI Rentan Risiko Keuangan, OJK Soroti 5 Ancaman Serius Asuransi di 2025
Next Post Mau Ketiban Durian Runtuh Hari Ini? Coba Pantau 4 Saham Berikut!

Member Login

or