1
1

AI Diduga Ikut Melestarikan Bias Gender, Ini Kata UN Women

(Ka-ki) Koordinator Nasional Aliansi Laki-laki Baru Wawan Suwandi; Komisaris Independen OCBC Betti S. Alisjahbana; dan Head of Programmes Deputy UN Women Indonesia Dwi Yuliawati Faiz dalam media talk bertajuk 'Perjalanan Menuju Merdeka dari Bias Gender'. | Foto: Media Asuransi/Muh Fajrul Falah

Media Asuransi, JAKARTA – Head of Programmes/Deputy UN Women Indonesia Dwi Yuliawati Faiz menilai perkembangan kecerdasan buatan (AI) saat ini masih mereplikasi ketidaksetaraan gender yang sudah ada di lingkungan masyarakat.

Dwi menegaskan bias gender dalam AI terjadi sejak tahap awal hingga penerapannya, sehingga penting untuk membentuk regulasi yang mengatur hal tersebut dan di rancang secara bijak dan menyeluruh.

|Baca juga: 4 Saham Berikut Berpotensi Gaspol saat IHSG Diramal Tembus 8.000 Hari Ini

Menurutnya bias itu terlihat dari banyaknya asisten virtual populer seperti Alexa dan Siri yang menggunakan nama dan suara perempuan. Dwi menjelaskan hal ini mencerminkan pandangan lama yang masih menganggap perempuan hanya berperan sebagai pendukung atau pihak yang harus patuh.

“Kita harus sepakat memang AI atau perkembangan digital itu adalah mereplikasi ketidaksetaraan. Jadi dia tidak bekerja di sebuah sistem yang baku, tiba-tiba semua jadi setara, tidak bisa. Jadi AI itu mereplikasi. Kalau dari berbagai studi paling tidak ada di tiga tahap utama,” ujar Dwi, dalam Media Talk di OCBC Tower, Jakarta Selatan, Rabu, 13 Agustus 2025.

Ia menjelaskan bias pertama muncul dari sumber data yang dipakai untuk membuat AI. Data ini diambil dari dunia nyata yang memang sudah tidak seimbang, karena keterwakilan perempuan masih rendah di banyak bidang.

|Baca juga: Dorong Pertumbuhan PVML, OJK Siapkan Deregulasi dan Peta Jalan

|Baca juga: Berikut Kisah 4 Mitra Usaha Inspiratif yang Sukses Bersama GoFood

Bias kedua muncul saat proses pengembangan yang sebagian besar dikerjakan oleh laki-laki dengan sudut pandang yang sudah bias. Terakhir, pada tahap penerapan, teknologi AI sering kali tetap menguntungkan kelompok laki-laki dengan pola pikir yang sama.

“Makanya namanya (AI) nama perempuan. Karena masih bekerja di struktur gender yang tradisional tadi. Bahwa perempuan adalah pendukung. Ini sebenarnya AI itu kan perpanjangan tangan dari yang sebelumnya,” jelas Dwi.

Ia mencontohkan fenomena serupa pada era voicemail, ketika hampir semua asisten suara menggunakan suara perempuan karena dianggap lebih ramah. Terkait kebutuhan regulasi, Dwi menegaskan, aturan tidak boleh hanya berfokus pada tahap deployment saja, tetapi juga dari development.

“Kalau misalnya apakah perlu regulasi? Saya pikir regulasinya tidak hanya di deployment, tapi mulai dari development-nya. Sambil kita juga mengusahakan supaya world-nya, the universe di mana AI itu mengambil semua sumber data itu juga harus adil,” ujarnya.

Menurutnya jika sumber data yang digunakan tidak adil maka proses pengembangan dan penerapan AI juga akan tetap bias. Ia menekankan pentingnya keterlibatan lebih banyak perempuan dalam tahap pengembangan teknologi agar perspektif yang dihasilkan lebih setara.

|Baca juga: OJK: Aset PVML Tembus Rp1.049,63 Triliun, Pembiayaan UMKM Capai Rp272 Triliun

|Baca juga: OJK Terus Genjot Pembiayaan UMKM di Industri Perbankan

Dwi mengingatkan penerapan AI harus mempertimbangkan konteks tertentu. Dalam layanan untuk korban kekerasan terhadap perempuan, misalnya, penggunaan suara laki-laki dapat menimbulkan rasa takut.

“Kayak di beberapa negara Asia Selatan, Native Amerika, mereka sudah punya AI chatbot untuk layanan terhadap perempuan korban. Semuanya pakai nama perempuan. Karena dengan asumsi yang bisa mengerti situasi adalah perempuan. Atau ada dua opsi. Kalau nanti korbannya laki-laki gimana? Ada dua opsi. Oke, switch ke penerima chatbot-nya laki-laki,” katanya.

|Baca juga: Nama Adrian Gunadi Tidak Muncul di Daftar Red Notice Interpol, Bos OJK Tegaskan Hal Ini!

Lebih lanjut, Dwi menegaskan, pembahasan bias gender dalam AI tidak boleh hanya fokus pada tahap akhir, tetapi harus mencakup keseluruhan proses dari sumber data, pengembangan, hingga penerapan teknologi.

Editor: Angga Bratadharma

| Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Related Posts
Prev Post Bos OCBC Bilang Kesepakatan Finansial dalam Rumah Tangga Kunci Atasi Bias Gender
Next Post TransJakarta Diganjar Peringkat idAA+ dengan Prospek Stabil

Member Login

or