1
1

Bos Bank DBS Ungkap 5 Tren yang Membentuk Arah Sustainable Financing saat Ini

Media Asuransi, JAKARTA – Setiap berita belakangan mengingatkan kita bahwa dunia sedang berubah yakni suhu meningkat, cuaca yang tidak dapat diprediksi, dan garis pantai yang menghilang bukan lagi peringatan yang jauh, melainkan kenyataan yang membentuk cara kita hidup, bekerja, dan berkembang.

Seiring meningkatnya urgensi, pertanyaannya bukan lagi apakah kita harus bertindak, tetapi bagaimana kita dapat membangun perekonomian yang tumbuh tanpa merugikan planet. Di seluruh dunia, pemerintah dan investor sedang meninjau kembali makna kemajuan, menjadikan keberlanjutan sebagai inti dari pertumbuhan masa depan.

|Baca juga: PAYDI Terpengaruh Awan Gelap IHSG, Pengamat: Lebih Baik Perusahaan Asuransi Kembali Jual Proteksi Murni!

|Baca juga: Pertumbuhan Ekonomi RI Masih Positif, BI: Ditopang Kenaikan Ekspor

Dari energi bersih hingga konservasi laut, gagasan ekonomi hijau (green economy) dan ekonomi biru (blue economy) kini muncul sebagai fondasi baru dalam merancang masa depan yang lebih inklusif dan tangguh.

Transformasi ini menuntut sistem keuangan untuk beradaptasi dengan cepat. Pembiayaan berkelanjutan kini tidak hanya tentang menyalurkan dana ke proyek hijau, tetapi juga tentang mendukung sektor-sektor yang sedang bertransisi menuju praktik yang lebih ramah lingkungan dan sosial.

Chief Sustainability Officer DBS Bank Helge Muenkel menyatakan para pihak terkait perlu segera bertindak menghadapi krisis alam, karena krisis iklim tidak akan terselesaikan tanpa mengatasi hilangnya keanekaragaman hayati. Dampak finansial dari krisis ini sudah terasa, tambahnya, mulai dari terganggunya rantai pasok hingga menurunnya hasil pertanian.

Bagi sektor-sektor yang bergantung pada sumber daya alam seperti pangan, pertanian, dan pertambangan, hal ini bukan lagi risiko masa depan, melainkan realitas keuangan saat ini. Karena itu, pembiayaan berkelanjutan bukan lagi sekadar tren, tetapi kebutuhan mendesak untuk menjaga ketahanan bisnis jangka panjang dan stabilitas ekonomi.

|Baca juga: Kredit Perbankan Hanya Tumbuh 7,70% di September, Bos BI: Pelaku Usaha Masih Wait and See!

|Baca juga: 2 Pejabat Antam Dipanggil KPK, Manajemen Tegaskan Dukung Penegakan Hukum

“Kita perlu mengubah cara pandang terhadap kemajuan, dari sekadar mengejar pertumbuhan jangka pendek menjadi menciptakan kesejahteraan jangka panjang bagi manusia dan alam,” ujar Helge Muenkel, dikutip dari keterangan resminya, Minggu, 26 Oktober 2025.

Di tengah tantangan geopolitik, volatilitas pasar, serta kebutuhan akan keadilan sosial, Helge melihat munculnya lima tren yang membentuk masa depan pembiayaan berkelanjutan sebagai berikut:

1. Transition finance hubungkan pertumbuhan dan keberlanjutan

Transition finance merujuk pada pembiayaan yang membantu perusahaan dan perekonomian bertransisi secara bertahap menuju emisi lebih rendah dan operasi yang lebih berkelanjutan, meskipun belum sepenuhnya ‘hijau’.

Alih-alih hanya berfokus pada proyek yang sudah ramah lingkungan, pendekatan ini mendukung upaya-upaya seperti pembaruan teknologi, peningkatan efisiensi energi, dan pengurangan emisi operasional. Dalam dua tahun terakhir, istilah ini semakin mendapat perhatian di dunia keuangan global.

|Baca juga: OJK Komitmen Dorong Manajer Investasi segera Dirikan DPLK, Sudah Tahap Apa?

|Baca juga: Bank Mega Syariah Catat Pembiayaan Syariah Card Capai Rp222,06 Miliar hingga September 2025

Kondisi itu seiring dengan meningkatnya kesadaran investor dan pembuat kebijakan bahwa proses dekarbonisasi harus mencakup sektor-sektor yang sulit untuk mengurangi emisinya. Bagi negara berkembang seperti Indonesia, pendekatan ini dinilai sangat relevan.

Perekonomian nasional masih sangat bergantung pada energi fosil, sementara kebutuhan akan pertumbuhan sosial-ekonomi tetap tinggi. Transition finance menjadi jembatan antara kebutuhan pembangunan saat ini dan komitmen menuju masa depan rendah karbon, sekaligus membuka ruang bagi inovasi dan inklusi finansial yang lebih luas.

2. Mendefinisikan ulang pembiayaan melalui inovasi untuk mendorong transformasi iklim

Jalur menuju net zero tidak hanya membutuhkan teknologi baru, tetapi cara berpikir baru tentang pembiayaan. Model pendanaan tradisional sering kali belum mampu memenuhi kebutuhan pendanaan besar untuk dekarbonisasi dan adaptasi. Di sini inovasi keuangan berperan penting dalam menciptakan mekanisme yang menghubungkan kinerja iklim dengan nilai finansial.

|Baca juga: Kemenkeu Sebut Aset Dana Pensiun Indonesia Melesat, tapi Masih Tertinggal dari Negara OECD

|Baca juga: Investasi Dapen Masih Didominasi SBN dan Deposito, Bos OJK Beberkan Alasannya!

Salah satu inovasi yang menonjol adalah sistem carbon credit, yang memungkinkan pasar untuk memberikan nilai pada pengurangan emisi, memberikan penghargaan atas kemajuan yang terukur, dan menyalurkan modal ke arah transformasi nyata di lapangan.

3. Keberlanjutan adalah bisnis yang baik

Salah satu pergeseran tren paling penting dalam dunia pembiayaan berkelanjutan adalah tumbuhnya keyakinan bahwa keberlanjutan kini bukan sekadar kewajiban moral, melainkan pendorong utama keberhasilan bisnis jangka panjang.

Helge menegaskan perusahaan yang mengintegrasikan pertimbangan iklim dan sosial ke dalam strateginya tidak hanya melakukan hal yang baik, tetapi juga membangun organisasi yang lebih kuat dan adaptif di tengah volatilitas global.

Data dari Corporate Governance Institute menunjukkan perusahaan yang menerapkan prinsip Environmental, Social, and Governance (ESG) dalam model bisnisnya cenderung memiliki risiko operasional yang lebih rendah, loyalitas pelanggan yang lebih tinggi, serta daya tarik investasi yang lebih besar.

|Baca juga: Waduh! OJK Bilang Banyak Warga RI Belum Punya Jaminan Pendapatan Usai Pensiun

|Baca juga: BPJS Ketenagakerjaan Kaji Ulang Target Perlindungan bagi 70 Juta Pekerja di 2026, Ada Apa?

“Seiring dengan berkembangnya pasar investasi hijau, keberlanjutan kini bukan lagi sekadar isu etika, tetapi menjadi keunggulan kompetitif yang menentukan daya tahan bisnis di masa depan,” katanya.

4. Melindungi alam berarti melindungi perekonomian

Laporan dari PwC global bertajuk ‘Centre for Nature Positive Business‘ menunjukkan lebih dari US$58 triliun atau sekitar 55 persen dari PDB global sangat bergantung pada alam, baik secara tinggi maupun sedang.

|Baca juga: Kemenkeu Beberkan Kepesertaan Dana Pensiun Masih Rendah, Baru 23,6 Juta dari 144 Juta Pekerja Terdaftar!

|Baca juga: Pemerintah Sebut Dana Pensiun Bisa Putus Mata Rantai Sandwich Generation di Indonesia

Namun, temuan World Benchmarking Alliance mengungkapkan masih kurang dari satu persen perusahaan di seluruh dunia benar-benar menyadari sejauh mana operasi mereka bergantung pada alam. Karena itu, melindungi alam bukan hanya sebuah keharusan lingkungan, tetapi juga kebutuhan ekonomi.

5. Kerja sama lintas sektor merupakan kunci untuk mempercepat transisi hijau

Transisi menuju ekonomi hijau dan biru tidak dapat dicapai oleh satu pihak saja. Helge menekankan pentingnya kolaborasi lintas sektor antara pemerintah, regulator, pelaku industri, lembaga keuangan, dan masyarakat sipil untuk menghadirkan solusi yang lebih inovatif, terukur, dan berkelanjutan.

Pendekatan yang melibatkan seluruh sektor ini memungkinkan pembagian risiko dan percepatan pembiayaan untuk proyek-proyek transisi yang sebelumnya sulit diakses melalui pasar konvensional.

Editor: Angga Bratadharma

| Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Related Posts
Prev Post Bukan Cuma tentang Ide, Berikut 5 Hal yang Bikin Proposal Bisnismu Ditolak Investor!
Next Post Mengapa Kita Perlu Melakukan Screening Retina?

Member Login

or