1
1

Daya Beli Masyarakat di 2026 Masih Lemah

Presiden Direktur & CEO CIMB Niaga, Lani Darmawan. | Foto: Edi Santosa/Media Asuransi

Media Asuransi, JAKARTA – Dalam hitungan hari, kita akan memasuki tahun 2026. Di tahun depan, sejumlah analis pasar global dan pelaku industri perbankan memperkirakan daya beli masyarakat belum cukup kuat. Percepatan belanja negara akan menjadi faktor penentu utama bagi prospek ekonomi Indonesia pada tahun depan.

Hal ini disampaikan oleh Presiden Direktur & CEO PT Bank CIMB Niaga Tbk (BNGA) atau CIMB Niaga, Lani Darmawan, saat berdiskusi dengan wartawan di Jakarta, beberapa waktu lalu.

Lani bercerita bahwa dalam pertemuan dengan analis global, khususnya dari kawasan Asia,  dan asosiasi industri manufaktur, tren konsumsi pada tahun depan mengarah pada penurunan daya beli. Data dari asosiasi ritel, menurutnya, memperlihatkan perubahan signifikan dalam pola konsumsi masyarakat.

|Baca juga:Pemerintah Klaim Terus Berkomitmen Jaga Daya Beli Masyarakat

Dia jelaskan bahwa masyarakat kini semakin banyak memilih produk dengan ukuran lebih kecil sebagai strategi berhemat. “Masyarakat kini memilih untuk membeli sampo, dari biasanya dalam kemasan botol 125 ml menjadi dalam bentuk sachet. Begitu pula mereka membeli deterjen dalam kemasan yang lebih kecil. Pembelian pasta gigi juga menunjukkan kecenderungan masyarakat untuk membeli dalam ukuran tube yang lebih kecil,” ujarnya.

Kondisi tersebut membuat produsen dan peritel beradaptasi dengan meningkatkan produksi kemasan kecil untuk mempertahankan penjualan. “Daya beli tahun ini dinilai tidak Ok, dan prediksinya untuk tahun 2026 belum bisa kembali normal,” jelasnya.

|Baca juga:Riset Populix Ungkap Faktor Baru yang Menentukan Relevansi Brand di 2026, Akibat Gen MZ Ubah Aturan Main

Lani menyampaikan, terdapat dua faktor utama yang akan sangat berpengaruh terhadap pertumbuhan ekonomi 2026. Pertama, percepatan belanja negara. Kedua, investasi sektor swasta.

Dia menekankan pentingnya pemerintah segera mendorong realisasi belanja negara agar aktivitas ekonomi bergerak. “Jika tidak ada government spending, dampaknya berantai. Proyek-proyek akan tertunda atau tidak ada, penyerapan tenaga kerja berkurang, uang beredar di masyarakat sedikit, dan daya beli tetap kecil,” katanya.

Di sisi lain, Lani menceritakan bahwa dalam pertemuan dengan berbagai segmen nasabah, mulai korporasi hingga pelaku usaha kecil, menunjukkan adanya kecenderungan pelaku usaha untuk menahan ekspansi dan investasi. “Penundaan yang dilakukan perusahaan menahan rencana memperluas pabrik atau menambah produksi. Bukan tidak punya uang, likuiditasnya ada, melainkan karena mereka berhati-hati dalam berinvestasi,” ungkapnya.

Sejalan dengan hal itu, dia memperkirakan kondisi ekonomi pada semester pertama 2026 tidak akan jauh berbeda dengan situasi saat ini. Prospek pertumbuhan baru akan terlihat pada semester kedua, dengan catatan bahwa belanja negara terealisasi dan sektor riil mulai bergerak.

Editor: S. Edi Santosa

 

| Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Related Posts
Prev Post Lippo General Insurance Terus Pertahankan Rating dengan Kinerja Bagus
Next Post 5 Langkah Financial Wellness untuk Sambut 2026 Lebih Terencana

Member Login

or