Media Asuransi, JAKARTA – Ada beberapa risiko yang perlu diperhatikan perbankan di masa depan. Risiko-risiko tersebut antara lain risiko pasar dan dampaknya pada risiko likuiditas terkait sentimen suku bunga global yang masih tetap tinggi. Kemudian potensi peningkatan risiko kredit menjelang berakhirnya masa relaksasi kredit restrukturisasi terkait Covid-19 pada akhir Maret 2024.
Risiko-risiko ini termuat dalam laporan Surveillance Perbankan Indonesia (LSPI) Triwulan IV/2023 yang diterbitkan Otoritas Jasa Keuangan (OJK). Laporan surveilance ini memuat overview dan analisis kondisi perekonomian global dan domestik serta kaitannya dengan perkembangan kinerja, penyaluran kredit dan atau pembiayaan, serta profil risiko yang dihadapi oleh perbankan.
Laporan ini mencakup kebijakan perbankan yang diterbitkan oleh OJK pada periode laporan, perkembangan kelembagaan perbankan, serta koordinasi antarlembaga terkait perbankan. “Selain itu, pada periode laporan ini terdapat pembahasan khusus mengenai peluang ekspansi bisnis perbankan di masa transisi menuju ekonomi rendah karbon,” kata Kepala Departemen Literasi, Inklusi Keuangan, dan Komunikasi OJK, Aman Santosa, dalam keterangan resmi Rabu, 27 Maret 2024.
|Baca juga: OJK Perketat Pendaftaran Peserta Regulatory Sandbox
Dia tambahkan, terkait kondisi terakhir, perbankan didorong meningkatkan daya tahannya melalui penguatan permodalan dan menjaga coverage CKPN secara memadai, serta secara rutin melakukan stress test untuk mengukur kemampuan permodalannya dalam menyerap potensi risiko khususnya terkait penurunan kualitas kredit restrukturisasi.
Perekonomian Global
Pada periode laporan, kondisi perekonomian global sedikit membaik meski pertumbuhan ekonomi beberapa negara masih terdivergensi. Sejalan dengan kondisi di beberapa negara yang masih cukup resilien, utamanya di AS dan negara emerging markets, IMF dalam World Economic Outlook (WEO) Januari 2024 memproyeksi pertumbuhan ekonomi global tahun 2023 dan tahun 2024 tumbuh stabil sebesar 3,1 persen year on year (yoy).
Ketidakpastian pasar keuangan global pada akhir tahun 2023 juga cenderung mereda, antara lain dipengaruhi oleh kejelasan stance kebijakan moneter bank sentral beberapa negara utama, salah satunya The Fed, untuk mempertahankan suku bunga acuannya lebih lama (high for longer), sejalan dengan tingkat inflasi yang masih belum mencapai target meski cenderung melandai.
|Baca juga: OJK Mendukung Langkah Kemenkeu Selesaikan Pembiayaan Bermasalah LPEI
Meskipun demikian, perlu diperhatikan faktor risiko antara lain perkembangan konflik geopolitik di Timur Tengah dan Ukraina serta gangguan jalur perdagangan di Laut Merah yang berpotensi memicu peningkatan harga komoditas dan inflasi ke depan.
Di tengah perkembangan global tersebut, pada kuartal IV/2023 ekonomi domestik mampu tumbuh kuat sebesar 5,04 persen yoy, meningkat dari 4,94 persen yoy pada kuartal III/2023, atau tumbuh 5,05 persen yoy untuk keseluruhan tahun 2023. Pertumbuhan didorong oleh konsumsi yang masih cukup solid sejalan momentum Natal dan Tahun Baru (Nataru) dan persiapan Pemilu 2024.
Selain itu, pertumbuhan juga didorong oleh investasi sejalan berlanjutnya pembangunan infrastruktur salah satunya terkait pembangunan Ibu Kota Nusantara (IKN), serta tumbuhnya pengeluaran pemerintah dan ekspor.
Indikator Perbankan
Ekonomi domestik yang relatif kuat juga terekam pada indikator perbankan. Hal ini terlihat pada pertumbuhan kredit (bank umum) yang masih cukup baik yaitu sebesar 10,38 persen yoy meskipun melambat dari periode yang sama tahun sebelumnya yakni 11,35 persen yoy.
Pertumbuhan kredit tersebut turut didorong oleh membaiknya aktivitas usaha dan meningkatnya tingkat keyakinan (optimisme) konsumen. Jika dilihat dari penyaluran kredit untuk tujuan konsumtif, kredit kepemilikan properti menunjukkan peningkatan pertumbuhan dari sebesar 7,55 persen yoy pada Desember 2022 menjadi 12,00 persen yoy di Desember 2023. Kredit kepemilikan kendaraan bermotor juga masih bertumbuh sebesar 13,34 persen yoy.
Di sisi lain, DPK juga masih tumbuh yaitu sebesar 3,73 persen yoy meskipun jauh lebih rendah dari tahun sebelumnya sebesar 9,01 persen yoy yang antara lain dipengaruhi oleh high based effect pertumbuhan DPK pada akhir 2022, adanya preferensi penggunaan dana internal korporasi untuk kebutuhan operasional dan ekspansi perusahaan, penggunaan dana/simpanan untuk konsumsi masyarakat yang kembali meningkat pasca pandemi, serta dampak dari perpindahan dana dari instrumen perbankan (DPK) ke alternatif investasi lainnya.
|Baca juga: Perbankan Indonesia Optimistis di Tengah Risiko Perlambatan Ekonomi Global
Dalam situasi demikian, kondisi likuiditas bank umum terpantau masih cukup memadai sebagaimana tecermin dari rasio AL/NCD dan AL/DPK masing-masing sebesar 127,07 persen dan 28,73 persen, masih jauh di atas threshold. Tingkat permodalan juga cukup solid dengan CAR sebesar 27,65 persen yang utamanya ditopang perbaikan tingkat rentabilitas (ROA). Risiko kredit juga terpantau membaik dengan rasio NPL gross dan NPL net yang menurun dan relatif stabil masing-masing menjadi 2,19 persen dan 0,71 persen.
Sejalan dengan kinerja bank umum, kinerja BPR dan BPRS juga cukup baik dengan kredit/pembiayaan dan DPK masih tumbuh tinggi meski relatif melambat dibandingkan tahun sebelumnya. Rasio permodalan juga cukup kuat dengan CAR BPR dan BPRS masing-masing sebesar 29,98 persen dan 23,21 persen.
Editor: S. Edi Santosa
| Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News