Media Asuransi, JAKARTA – PT Manulife Aset Manajemen Indonesia (MAMI) menilai pasar global bersiap memasuki era baru dengan semakin banyak negara mulai masuk dalam siklus pemangkasan suku bunga. Perubahan ekspektasi suku bunga global telah mengurangi tekanan terhadap Rupiah, dan diharapkan stabilitas rupiah yang berkesinambungan dapat menjadi kunci titik balik sentimen investor di pasar finansial Indonesia.
Pandangan tim investasi MAMI ini disampaikan dalam Indonesia Market Update: Wind of Change, secara daring pada Rabu, 14 Agustus 2024. Dalam acara tersebut hadir sebagai nara sumber adalah Director & Chief Investment Officer Fixed Income MAMI, Ezra Nazula, Chief Investment Officer Equity MAMI, Samuel Kesuma, dan Chief Economist & Investment Strategist MAMI, Katarina Setiawan.
Pasar Global dan Asia
Ezra Nazula mengatakan bahwa siklus pelonggaran moneter global telah dimulai. Sejumlah bank sentral di beberapa negara maju bahkan telah memangkas suku bunga mereka sejak kuartal pertama yang dilakukan untuk berbagai tujuan. Pertama, merespons inflasi yang terkendali seperti terjadi di Swiss, Kanada, zona Euro, dan Inggris Raya. Kedua, menjaga keseimbangan nilai tukar seperti Denmark. Ketiga, karena melemahnya permintaan domestik seperti di Swedia.
|Baca juga: MAMI Sarankan Investor Berhati-hati Mengantisipasi Kebijakan The Fed
“Adapun normalisasi inflasi dijadikan pertimbangan pemangkasan suku bunga bagi negara-negara berkembang di Amerika Latin yakni Brasil, Kolombia, dan Cili, serta di Eropa Tengah-Timur seperti Hungaria, Ceko, dan Rumania,” kata Ezra.
Dari Amerika Serikat (AS), salah satu pusat ekonomi dunia, The Fed dalam rapat FOMC di bulan Juli telah mengindikasikan potensi pemangkasan suku bunga di bulan September semakin terbuka. Secara eksplisit, The Fed juga mulai memperhatikan risiko pelemahan sektor tenaga kerja, dan menyatakan ke depannya akan memberikan fokus yang seimbang antara faktor inflasi dan sektor tenaga kerja.
“Meningkatnya optimisme pemangkasan suku bunga The Fed yang semakin mendekat, tecermin di pasar US Treasury (UST), yakni imbal hasil UST tenor pendek turun lebih banyak dibanding tenor panjang, dan selisih imbal hasil antara tenor 10Y dan 2Y semakin menipis, berada pada level terendah sejak kenaikan FFR agresif di 2022. Perubahan ekspektasi suku bunga juga terlihat dampaknya pada USD yang mulai melemah terhadap mata uang lainnya,” jelas Ezra.
Dia menambahkan, kawasan Asia menjadi yang akan diuntungkan oleh siklus pelonggaran moneter global. Secara historis, Asia diuntungkan saat USD melemah. Pada 24 tahun terakhir, pasar saham Asia 12 kali lebih unggul dibandingkan pasar saham global, dan dari 12 kali keunggulan tersebut 9 kali terjadi pada iklim pelemahan USD.
“Perekonomian Asia juga relatif kuat ditopang oleh membaiknya aktivitas perdagangan global. Hal tersebut berlawanan dengan ekonomi AS yang menunjukkan sinyal moderasi,” tuturnya.
Pasar domestik
Beralih ke dalam negeri, Katarina Setiawan, menyatakan bahwa perubahan ekspektasi The Fed di bulan Juli membuat tekanan terhadap rupiah mulai reda. Investor asing mulai mencatat pembelian bersih di pasar saham dan obligasi, setelah tiga bulan berturut-turut mencatat penjualan bersih. “Tekanan terhadap rupiah yang mereda juga diindikasikan oleh rata-rata imbal hasil lelang SRBI yang menurun,” katanya.
Katarina meyakini, stabilitas rupiah yang berkesinambungan akan menjadi kunci titik balik sentimen investor di pasar finansial Indonesia. Ke depan, faktor yang dapat mempengaruhi stabilitas rupiah di antaranya adalah perubahan ekspektasi FFR, pemilu AS, outlook postur RAPBN-2025, stabilitas inflasi domestik, dan kebijakan pemerintah baru.
“MAMI memperkirakan, rupiah hingga akhir tahun masih berada di kisaran Rp15.400 hingga Rp16.000 per dolar AS,” tuturnya.
|Baca juga: Masih Tinggi, Ketidakpastian Pasar Keuangan Global
Menurut Katarina, meredanya tekanan pada rupiah dan kembalinya arus dana asing ke pasar domestik menjadi faktor pendukung bagi kebijakan Bank Indonesia (BI). Inflasi domestik turun ke batas bawah target dan konsumsi domestik yang cenderung lemah dapat menjadi pertimbangan utama BI untuk memangkas suku bunga.
Namun di sisi lain, besaran pemangkasan suku bunga oleh BI diperkirakan lebih konservatif dibandingkan pemangkasan suku bunga The Fed. “Hal ini dilakukan untuk memperlebar selisih suku bunga dengan AS demi menjaga stabilitas rupiah. Hingga akhir 2025, pasar memperkirakan BI Rate akan turun 100 basis points (bps) dan suku bunga The Fed turun sebesar 150 bps,” kata Katarina.
Pemerintah telah menaikkan anggaran belanja negara 2024 menjadi Rp3.412 triliun, naik Rp87 triliun dari anggaran awal, terutama dialokasikan untuk belanja modal, material, dan subsidi. Akselerasi realisasi belanja negara diharapkan dapat menjadi faktor pendukung pertumbuhan ekonomi dan menopang likuiditas. Di paruh pertama 2024, realisasi anggaran baru mencapai sebesar Rp1.398 triliun atau 41 persen dari target.
Meski sinyal positif dari global dan domestik telah mulai terlihat, Katarina melihat investor tetap perlu memperhitungkan sejumlah faktor risiko. Beberapa di antaranya adalah risiko dampak dari eskalasi mendadak kondisi geopolitik dunia, khususnya di Timur Tengah yang masih berpotensi meningkat ketegangannya.
Risiko resesi di AS juga perlu dipertimbangkan, karena dampak dari pelemahan ekonomi AS yang sangat signifikan. Faktor risiko dari dalam negeri adalah kebijakan fiskal domestik dari pemerintahan baru, termasuk komunikasi dan implementasinya.
Editor: S. Edi Santosa
| Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News