1
1

Berbisnis Asuransi Itu Tidak Mudah

Aktivitas di Gedung Otoritas Jasa Keuangan (OJK), Jakarta. | Foto: Media Asuransi/Arief Wahyudi

Kabar adanya dua perusahaan asuransi yang akan mengembalikan izin usaha kepada Otoritas Jasa Keuangan (OJK) alias lempar handuk, menunjukkan bahwa menjalankan bisnis asuransi itu bukan perkara yang mudah. Saking beratnya, mungkin sebenarnya tidak hanya dua perusahaan itu yang mau ‘menyerah’ tapi bisa jadi lebih banyak dari itu. Kebanyakan mungkin masih pasang mode wait and see sembari tetap berusaha memperbaiki kinerja dan berupaya mematuhi ketentuan regulasi yang berlaku.

Bahwa menjalankan bisnis asuransi itu tidak mudah terkonfirmasi dari hasil survei persepsi kemudahan bisnis asuransi yang dilakukan oleh Lembaga Riset Media Asuransi (LRMA). Sebanyak 83 persen eksekutif perasuransian yang disurvei menyatakan bahwa menjalankan usaha asuransi di Indonesia tidak mudah. Sisanya 17 persen responden menyatakan sebaliknya.

Mayoritas responden menyatakan bahwa salah satu faktor yang memberatkan dalam berbisnis asuransi adalah soal regulasi. Faktor lainnya adalah rendahnya tingkat literasi asuransi. Regulasi yang dianggap memberatkan adalah regulasi terkait permodalan. Hal ini bisa dimengerti karena ketentuan peningkatan permodalan ini keluar di saat industri asuransi sedang tidak baik-baik saja setelah dihantam pandemi Covid-19. Sebenarnya tujuannya baik tapi dengan timing yang tidak tepat justru malah kontraproduktif terhadap perkembangan industri yang penetrasinya masih berkutat di kisaran dua persen hingga tiga persen.

Alhasil, cara-cara organik pun sulit untuk ditempuh guna memenuhi aturan permodalan baru tersebut. Pasalnya, secara bisnis sangat berat di tengah kondisi hardening market, lonjakan rasio klaim, dan kompetisi yang kian sengit serta regulasi yang kian ketat. Ditambah lagi, rendahnya tingkat literasi dan inklusi asuransi yang masih menjadi masalah klasik di republik ini. Di sisi lain, muncul sejumlah kasus gagal bayar dan sengketa klaim yang mempengaruhi tingkat kepercayaan masyarakat terhadap asuransi. Bak dihantam dari segala penjuru, sampai-sampai industri ini sulit untuk bangkit, apalagi untuk meningkatkan permodalannya.

Untuk menuju threshold permodalan di 2026 mungkin masih banyak perusahaan asuransi yang bisa melewatinya, tetapi untuk sampai di 2028 tampaknya akan berat. Hasil riset LRMA menunjukkan bahwa hanya sepertiga dari perusahaan asuransi dan reasuransi baik konvensional maupun syariah yang bakal lolos ketentuan permodalan secara organik.

Sementara itu, opsi suntik modal dari pemegang saham pun juga bukan perkara gampang di tengah kinerja return on equity (RoE) dan return on investment (RoI) industri asuransi nasional yang rendah. Tidak mengherankan bila pada akhirnya sejumlah pemilik perusahaan asuransi memilih untuk menutup atau menjual perusahaannya. Dan memang itulah yang sebenarnya menjadi tujuan OJK saat merancang regulasi permodalan ini yaitu mendorong konsolidasi di industri asuransi nasional.

Konsolidasi sebenarnya bukan hal tabu dan dilarang tapi justru bagus untuk memperkuat pondasi sebuah industri jasa keuangan. Namun, konsolidasi juga harus disertai dengan perbaikan dari sisi pasarnya yaitu penciptaan iklim usaha yang sehat, peningkatan daya beli masyarakat, peningkatan literasi asuransi, dan adanya kemudahan berbisnis (ease of doing business) yang baik. Sebagai analogi, seorang petani yang memiliki fisik kuat dan berbadan tinggi besar tidak akan bisa bercocok tanam di lahan yang tandus. Ujungnya dia akan mati kelaparan karena tidak ada panen yang dihasilkan.

Berpijak pada analogi petani tersebut jangan sampai perusahaan asuransi hasil konsolidasi akan bernasib seperti si petani, yaitu besar dan kuat tapi tak bisa menjalankan bisnis dengan baik karena bukan soal aktornya yang bermasalah tapi soal lahan bisnisnya yang tidak subur karena tandus.

Selain soal permodalan, regulasi lain juga dianggap tidak memberikan ruang pengembangan yang memadai bila dikaitkan dengan perkembangan perekonomian baik regional maupun global. Misalnya soal sertifikasi dan pengembangan SDM, perizinan dan kelembagaan, dan pemasaran produk.

Oleh karena itu, selain memperkuat aktornya, penciptaan kemudahan berbisnis di industri asuransi juga menjadi faktor penting yang tidak boleh dilupakan. Bicara potensi bisnis asuransi memang besar bila dikaitkan dengan posisi penetrasi asuransi saat ini dan jumlah penduduk Indonesia yang begitu besar. Namun potensi akan sekadar menjadi potensi bila pelaku usahanya tidak dapat menggarap karena tingkat ease of doing business-nya bermasalah.

| Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Related Posts
Prev Post Di Balik Rendahnya Angka Inklusi Asuransi
Next Post Tri Djoko Santoso: Edukasi Jadi Kunci Bangun Pemahaman

Member Login

or