Media Asuransi, GLOBAL – Pasar asuransi siber global diprediksi meledak dalam beberapa tahun ke depan. Menurut laporan terbaru Munich Re, nilai premi global akan naik dua kali lipat menjadi US$32,4 miliar pada 2030, dari estimasi US$16,3 miliar pada 2025.
Melansir Insurance Asia, Selasa, 15 April 2025, untuk tahun ini saja nilai preminya diperkirakan mencapai US$15,3 miliar atau masih di bawah satu persen dari total premi asuransi properti dan kecelakaan di seluruh dunia.
|Baca juga: AdMedika Perluas Jaringan Layanan Berkolaborasi dengan RS Kuningan Medical Center
|Baca juga: Perry Warjiyo Rombak Jabatan Strategis di BI, Siapa Saja yang Tergeser?
Wilayah Asia/Oceania disebut bakal menjadi salah satu wilayah dengan pertumbuhan tercepat. Pangsa pasar kawasan ini diprediksi naik jadi delapan persen pada 2027. Meski belum sebesar Amerika Utara, namun tren ini menunjukkan peningkatan minat dan kesadaran akan pentingnya perlindungan digital di kawasan Asia Pasifik.
Amerika Utara masih memimpin pasar dengan nilai premi mencapai US$10,6 miliar atau 69 persen dari total global. Sementara Eropa berada di posisi kedua dengan US$3,3 miliar, menyumbang sekitar 21 persen dari total pasar. Menariknya, pertumbuhan tahunan gabungan (CAGR) Eropa dari 2020 hingga 2024 mencapai 26 persen.
Munich Re mencatat sebagian besar permintaan asuransi siber masih didominasi oleh perusahaan besar. Namun, sektor UMKM masih belum tersentuh secara optimal, disebabkan oleh minimnya kesadaran dan pemahaman risiko serangan siber di kalangan pelaku usaha kecil.
|Baca juga: IHSG Membara, Perusahaan Asuransi Jiwa Perlu Kurangi Porsi Investasi di Pasar Modal?
|Baca juga: Dorong Proyek Raksasa Non-APBN, Bappenas-Danantara Teken MoU Demi Capai Target Ekonomi 8%
Laporan ini juga mengungkap tiga sektor yang paling rentan terkena serangan siber di 2024, yaitu transportasi, ritel, dan pendidikan. Dalam survei global Munich Re, sebanyak 87 persen eksekutif C-level mengaku perlindungan siber perusahaannya belum memadai. Hal ini menunjukkan adanya celah besar yang perlu segera ditangani.
Editor: Angga Bratadharma
| Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News