Media Asuransi, JAKARTA – Ketidakpastian ekonomi saat ini sangat dipengaruhi oleh tantangan perekonomian global antara lain kekhawatiran kebijakan tarif Trump yang akan mengganggu rantai pasok (supply chain) barang dan jasa, mendorong kenaikan inflasi global, serta memperlambat laju pertumbuhan ekonomi. Produk-produk utama ekspor Indonesia ke AS juga dikhawatirkan menghadapi tekanan akibat meningkatnya biaya impor.
“Berdasarkan hal tersebut, terdapat peningkatan risiko kredit pada beberapa sektor, utamanya yang terkait produk-produk utama ekspor Indonesia ke AS, antara lain produk tekstil dan alas kaki, mesin-mesin elektronik, produk perikanan dan kelapa sawit,” Kepala Eksekutif Pengawas Perbankan (KE PBKN) Otoritas Jasa Keuangan (OJK), Dian Ediana Rae, dalam keterangan resmi yang dikutip Selasa, 29 April 2025.
Dia tambahkan, OJK melakukan stress test baik secara berkala maupun sewaktu-waktu untuk melihat dampak dari perubahan kondisi ekonomi, termasuk pengaruh penerapan tarif impor AS dan pelemahan nilai tukar rupiah, terhadap perbankan. “Sejauh ini, OJK menilai bahwa rasio permodalan (capital adequacy ratio/CAR) perbankan tergolong tinggi, yakni 26,95 persen per Februari 2025, dan mampu menyerap potensi peningkatan risiko kredit, risiko pasar, dan risiko likuiditas,” jelas Dian.
|Baca juga: Ekspor Alat Kesehatan Indonesia Tembus US$273 Juta, Apa Dampak untuk Industri?
Selanjutnya disampaikan bahwa pada Februari 2025, kinerja intermediasi perbankan relatif stabil dengan profil risiko yang terjaga yakni NPL gross sebesar 2,22 persen dan NPL net sebesar 0,81 persen, serta LaR sebesar 9,77 persen. Kredit perbankan tetap melanjutkan double digit growth sebesar 10,30 persen year on year (yoy) menjadi Rp7.825 triliun dengan Kredit Investasi tumbuh tertinggi yaitu sebesar 14,62 persen, diikuti oleh Kredit Konsumsi 10,31 persen, sedangkan Kredit Modal Kerja tumbuh 7,66 persen.
“Ditinjau dari kepemilikan, bank BUMN menjadi pendorong utama pertumbuhan kredit yaitu sebesar 10,93 persen yoy dan berdasarkan kategori debitur, kredit korporasi tumbuh sebesar 15,95 persen yoy, sementara kredit UMKM tumbuh sebesar 2,51 persen yoy,” tuturnya.
|Baca juga: OJK Akui Perang Tarif AS Berpotensi Tingkatkan Risiko Klaim Asuransi Kredit
Menurut Dian, sektor ekonomi pendorong kenaikan kredit secara tahunan meliputi tiga sektor utama, yaitu industri pengolahan, transportasi dan pergudangan, serta pertambangan. Industri pengolahan utamanya industri minyak goreng dan kelapa sawit mentah, industri kertas, dan industri logam dasar bukan besi, sedangkan pada sektor pertambangan utamanya pada pertambangan logam dan biji timah, serta batu bara dan gambut.
“Industri perbankan perlu memetakan lebih jauh sektor-sektor dan debitur-debitur yang dapat terdampak dari ketidakpastian global utamanya yang dapat mengalami penurunan kemampuan membayar, senantiasa antisipatif dalam memitigasi peningkatan risiko kredit dengan pembentukan CKPN yang memadai, serta mengedepankan prinsip kehati-hatian dalam penyaluran dan monitoring kredit,” kata Dian.
OJK juga meminta kepada perbankan agar secara proaktif melakukan asesmen terhadap perkembangan yang terjadi di global maupun domestik dan mempersiapkan langkah-langkah yang dibutuhkan untuk mengantisipasi perkembangan dimaksud. Selain itu, OJK juga terus berupaya memperkuat fondasi sistem keuangan salah satunya melalui upaya pendalaman pasar keuangan, guna meningkatkan ketahanan dan efisiensi intermediasi perbankan di tengah gejolak global.
Editor: S. Edi Santosa
| Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News