1
1

MAMI: Pasar Lebih Siap Hadapi The Fed Tapering Saat Ini

Chief Economist & Investment Strategist MAMI, Katarina Setiawan | Foto: Doc

Media Asuransi, JAKARTA – Wacana tapering oleh Federal Reserve (The Fed) ini menjadi topik hangat di pasar. Hal ini disebabkan proses tapering yang dilakukan The Fed sebelumnya pada tahun 2013 menyebabkan volatilitas yang tinggi di pasar finansial global, terutama bagi kawasan negara berkembang yang mengalami outflow dana asing, pelemahan pasar saham dan obligasi, depresiasi nilai tukar, dan melebarnya defisit transaksi berjalan.

Oleh karena itu terdapat kekhawatiran di pasar apakah volatilitas seperti di 2013 tersebut dapat terulang kembali pada tapering kali ini.

Untuk menstimulasi perekonomian yang melemah pada masa pandemi Covid-19, bank sentral Amerika Serikat (The Fed) memberikan stimulus ekonomi dalam bentuk limpahan likuiditas ke perekonomian yang dilakukan dengan cara membeli aset-aset dari pasar finansial sebesar US$120 miliar per bulan.

Hal ini telah dilakukan sejak Maret 2020. Namun dengan membaiknya kondisi ekonomi Amerika Serikat saat ini, ada wacana bahwa pembelian aset ini sudah tidak terlalu dibutuhkan lagi, dan akan dikurangi secara bertahap. Pengurangan stimulus atau pengurangan jumlah pembelian aset inilah yang dimaksud dengan tapering.

Menurut Chief Economist & Investment Strategist PT Manulife Aset Manajemen Indonesia (MAMI), Katarina Setiawan, saat ini pasar finansial global sudah lebih siap menghadapi Fed tapering, sehingga risiko terjadinya kepanikan pasar seperti di 2013 menjadi lebih rendah.

“Di tahun 2013 adalah pertama kalinya sepanjang sejarah tapering dilakukan oleh The Fed, sehingga banyak ketidakpastian di pasar mengenai bagaimana proses tapering ini akan dilakukan dan apakah ekonomi sudah cukup pulih menghadapi pengurangan stimulus. Komunikasi The Fed yang dinilai kurang transparan saat itu juga meningkatkan kekhawatiran,” katanya dalam keterangan resmi, Senin, 20 September 2021.

Katarina menjelaskan bahwa Saat ini kondisinya berbeda, pasar sudah memiliki gambaran bagaimana proses tapering akan dilakukan, belajar dari proses yang terjadi sebelumnya di 2013. Komunikasi dari The Fed saat ini juga lebih baik dalam memberi sinyal akan dilakukannya tapering sejak jauh hari sehingga memberikan transparansi dan ketenangan bagi pasar. Hal ini tercermin di kondisi pasar yang tetap stabil di akhir Agustus setelah The Fed memberi sinyal rencana tapering di akhir tahun ini, sangat kontras dengan volatilitas pasar yang tinggi di Mei 2013.

|Baca juga: MAMI Kelola Dana Rp104,7 Triliun dari 1,1 Juta Investor Indonesia

“Terlepas dari faktor psikologis tersebut, kondisi ekonomi saat ini juga relatif lebih baik dibandingkan kondisi pada tahun 2013 baik di Amerika Serikat maupun di kawasan negara berkembang,” katanya.

Dia tambahkan, indikator ekonomi Amerika seperti tingkat pengangguran, pertumbuhan ekonomi, dan inflasi saat ini lebih baik dibandingkan di 2013. Sementara itu di kawasan negara berkembang –yang sangat terdampak oleh tapering pada tahun 2013– juga memiliki kondisi makroekonomi yang lebih baik, terlihat dari tingkat cadangan devisa yang lebih tinggi, inflasi pada level rendah, aktivitas perdagangan yang tinggi, dan kinerja korporasi yang lebih baik sehingga lebih siap menghadapi Fed tapering.

Sementara itu, untuk menganalisa kondisi ekonomi Indonesia, menurut Katarina, kita bisa melakukan analisa SWOT (strength, weakness, opportunity, threat). Pertama, strength. Kekuatan Indonesia adalah fundamental ekonomi yang tetap stabil di tengah kondisi pandemi. Stabilitas makroekonomi merupakan faktor penting untuk menjaga daya tarik investasi di Indonesia.

Cadangan devisa pada level tertinggi sepanjang sejarah, dan surplus neraca perdagangan menjaga defisit neraca berjalan pada level rendah. Selain itu stabilitas makroekonomi juga didukung oleh kredibilitas pemerintah dan bank sentral yang krusial untuk menjaga keyakinan investor terhadap Indonesia.

Kedua, weakness. P­­­­­eningkatan vaksinasi masih menjadi tantangan, sejauh ini Jawa-Bali menjadi fokus pemerintah karena tingginya mobilitas dan menjadi pusat kegiatan ekonomi. Di luar Jawa-Bali, tingkat vaksinasi masih relatif rendah; ketersediaan vaksin dan distribusi menjadi tantangan utama.

Selain itu pelemahan aktivitas ekonomi yang disebabkan oleh pandemi menyebabkan rasio perpajakan yang semakin menurun. Kondisi ini menjadi tantangan di tengah kebutuhan pembiayaan yang tetap tinggi untuk pemulihan ekonomi dan mitigasi pandemi.

|Baca juga: MAMI: Pemulihan Ekonomi Berlanjut di Paruh Kedua 2021

Ketiga, opportunity. Sektor new economy berpotensi menjadi sumber pertumbuhan ekonomi baru bagi Indonesia. Tingginya potensi ekonomi digital Indonesia mendorong berbagai perusahaan teknologi untuk mengembangkan bisnisnya di Indonesia.

Riset dari Google, Temasek, dan Bain memperkirakan ekonomi digital Indonesia dapat tumbuh 23 persen per tahun hingga 2025, jauh lebih tinggi dibandingkan dengan pertumbuhan PDB nominal Indonesia. Selain ekonomi digital, Indonesia juga memiliki potensi di sektor energi terbarukan. Indonesia memiliki cadangan nikel terbesar di dunia, bahan baku utama untuk baterai bagi kendaraan listrik (EV), yang membuka peluang kita untuk memiliki peranan penting dalam rantai pasokan industri EV dunia.

Keempat, threat. Tantangan dalam jangka pendek adalah reaksi pasar terhadap Fed tapering. Tapi dengan pasar yang lebih siap menghadapi tapering komunikasi The Fed yang lebih baik, dan kondisi makroekonomi domestik yang lebih baik dibanding 2013, risiko volatilitas pasar terkait tapering kali ini menjadi lebih rendah.

“Secara keseluruhan tantangan dan dinamika pasar akan selalu ada bagi pasar finansial Indonesia dari waktu ke waktu. Namun kami percaya pada daya tarik investasi di pasar Indonesia karena dukungan fundamental ekonomi yang baik, dan peluang di sektor-sektor ekonomi baru yang dapat menjadi sumber pertumbuhan ekonomi ke depannya,” jelas Katarina Setiawan.

Saham sektor teknologi di IHSG mencatat kinerja tertinggi sepanjang tahun ini hingga Agustus tumbuh 486,7 persen). Dalam pandangan MAMI, sektor teknologi memiliki outlook jangka panjang yang menarik. Indonesia memiliki populasi yang besar sehingga potensi ekonomi digital Indonesia juga sangat besar.

Ppertumbuhan ekonomi digital Indonesia diperkirakan dapat mencapai 23 persen per tahun hingga 2025, menjadi yang terbesar di ASEAN. Sementara itu sektor teknologi belum direpresentasikan dengan baik di IHSG, karena bobot sektor teknologi di IHSG hanya sekitar 6,5 persen. Sedangkan di indeks saham luar negeri bobotnya sudah jauh lebih tinggi, seperti pada indeks MSCI Asia Pacific bobotnya di kisaran 18,8 persen atau di MSCI World yang mencapai 22,5 persen.

“Peningkatan bobot sektor teknologi di pasar saham Indonesia dapat meningkatkan daya tarik Indonesia di mata investor. Oleh karena itu kami positif terhadap outlook sektor teknologi di Indonesia, dan peranannya yang dapat semakin meningkat di pasar saham Indonesia,” kata Katarina.

Saat ditanya mengenai mana yang lebih baik dipilih antara reksa dana saham atau reksa dana obligasi, Chief Economist & Investment Strategist MAMI ini mengatakan bahwa keduanya memiliki tempat dalam portofolio investor.

Dalam siklus pemulihan ekonomi seperti saat ini kelas aset saham diuntungkan dari potensi pemulihan ekonomi dan perbaikan kinerja emiten. Sementara itu kelas aset obligasi menawarkan stabilitas didukung oleh era suku bunga rendah dan kebijakan fiskal pemerintah yang suportif bagi pasar obligasi.

“Keputusan investasi sebaiknya disesuaikan dengan profil risiko dan tujuan finansial investor karena kedua faktor tersebut akan lebih berpengaruh pada kinerja jangka panjang portofolio. Di lain pihak, market timing dapat meningkatkan risiko kehilangan momentum pasar atau risiko pengambilan keputusan yang salah,” kata Katarina Setiawan. (Edi)

| Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Related Posts
Prev Post Dukung Bali Bangkit, AXA Mandiri Tuntaskan Vaksinasi Kedua bagi Warga Bali
Next Post Transformasi Ekonomi Indonesia, Menyiasati Middle Income Trap

Member Login

or