Media Asuransi, JAKARTA – Indonesia termasuk dalam klasifikasi sebagai negara yang mengalami middle income trap. Hal ini disampaikan Dekan Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Paramadina, Iin Mayasari, dalam webinar Transformasi Ekonomi Indonesia: Menyiasati Jebakan Middle Income Trap.
Middle income trap, sebuah istilah yang mengacu pada keadaan ketika sebuah negara berhasil mencapai ke tingkat pendapatan menengah, tetapi tidak dapat keluar dari tingkatan tersebut untuk menjadi negara maju. Negara berpenghasilan menengah (MIC) tidak hanya mengalami kesulitan untuk bersaing dengan low-wage countries, tetapi juga kesulitan untuk bersaing dengan high-technology countries.
“Negara yang terjebak dalam middle income trap disebabkan oleh sejumlah faktor yaitu kurangnya perlindungan sosial, rendahnya infrastruktur, kurangnya kemandirian pangan, birokrasi, kurangnya profesionalisme, dan kurangnya supremasi hukum,” kata Iin.
|Baca juga: Indonesia Pegang Presidensi G20, Pemulihan Ekonomi Global Jadi Fokus Utama
Pada pertengahan 2020, Indonesia berada pada upper middle income country. Pada Juli 2021, Indonesia kembali ke lower middle income country. “Hal ini ditunjukkan dengan adanya GNI Indonesia di tahun 2020 turun menjadi 3.870 dolar yang sebelumnya 4.050 dolar. Indikator hal tersebut adalah perubahan indikator dari kelas menengah atas, pertumbuhan ekonomi, inflasi, nilai tukar, dan pertumbuhan populasi,” ujarnya.
Sementara itu, Rektor Universitas Paramadina, Didik J Rachbini, menyatakan bahwa krisis membuat Indonesia turun lagi menjadi negara berpendapat menengah bawah karena pendapatan per kapita turun di bawah batas 4045 dollar AS.
“World Bank mengklasifikasikan negara berpendapatan menengah bawah atau lower middle income atau pendapatan menengah ke bawah, antara USD 1.036 hingga 4.045. Sementara itu, kelompok negara berpendapatan menengah atas atau upper middle income pendapatan menengah ke atas, antara USD 4.046 hingga 12.535,” katanya.
Negara yang tidak bisa menerobos menjadi negara maju berpendapatan tinggi dan terus terjebak sangat lama dalam pendapatan di bawah 12 ribu dollar AS per kapita akan mengalami banyak masalah ekonomi dan sosial politik. “Tingkat kemiskinan masih tinggi diikuti oleh kesenjangan yang lebar. Ini memicu masalah sosial dan stabilitas politik yang rapuh,” kata Didik.
|Baca juga: Prospek Pemulihan Ekonomi Tergantung Penangan Varian Delta Covid-19
Dia tambahkan, Indonesia sebagai negara dengan klasifikasi pendapatan middle income mengalami middle income trap. “Karena itu, tidak ada jalan lain bagi Indonesia kecuali dari jebakan negara berpendapatan menengah dengan menjalankan outward looking strategy, strategi daya saing, dan orientasi ekspor,” katanya.
Menurut Didik, kebijakan ini pernah dijalankan oleh Indonesia pada tahun 1980-an dan 1990-an dan menghasilkan tingkat pertumbuhan 7 persen rata-rata per tahun. Tetapi sayang itu tidak berlanjut sekarang karena tingkat pertumbuhan stagnan di tingkat 5 persen atau di bawahnya.
Kekuatan ekonomi, lanjut Didik, diukur dengan seberapa jauh Indonesia bisa bersaing dengan negara lain. “Karena itu, kemampuan ekspor harus kuat dengan produk-produk industri bernilai tambah tinggi, bukan ekspor bahan mentah seperti sekarang, industrialisasi dan hilirisasi perlu dikuatkan,” katanya.
Menyinggung strategi promosi ekspor Didik memandang perlunya menghapus kendala melalui penyesuaian struktur untuk produksi yang efisien dan mampu bersaing di pasar internasional. “Birokrasi harus efisien dan mendukung dunia usaha untuk masuk ke pasar internasional,” jelasnya.
Terkait dengan strategi promosi ekspor tersebut ia mengurai sejumlah dampak yang diharapkan “Memperkuat posisi eksternal, memacu ekspor mencari peluang pasar, memperkuat dan memperluas ekspor komoditas tradisional, meningkatkan penerimaan produsen dan eksportir, menguatkan kepastian usaha karena pasar tidak terbatas, penyerapan tenaga kerja, proses substitusi barang manufaktur,” pungkas Didik J Rachbini. Edi (Edi)
| Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News