Sebagai negara kepulauan dengan luas wilayah daratan hampir 2 juta kilo meter per segi, aset pemerintah pun tersebar dari Sabang sampai Merauke. Merujuk Laporan Keuangan Pemerintah Pusat (LKPP) 2020, total nilai aset negara tersebut mencapai Rp11.098,67 triliun atau naik Rp631,14 triliun dari nilai aset negara pada tahun 2019 yaitu Rp10.467,53 triliun.
Dari jumlah tersebut, hampir 60 persennya merupakan aset tetap alias Barang Milik Negara (BMN). Aset BMN itu terdiri dari tanah, gedung & bangunan, peralatan & mesin, jalan, irigasi & jaringan, konstruksi dalam pengerjaan, serta aset tetap lainnya. Pada tahun 2020, nilai aset tetap mengalami kenaikan sebesar Rp185,6 triliun atau 2,81 persen menjadi Rp5.976,01 triliun dibandingkan dengan tahun 2019. Aset-aset BMN ini tersebar di 89 Kementerian/Lembaga (K/L) dimana lebih dari 90 persen nilai BMN tercatat pada 10 K/L.
Secara geografis, susunan wilayah Indonesia yang terdiri dari pulau-pulau memiliki risiko potensi bencana. Pasalnya, Indonesia berada pada pertemuan empat lempeng tektonik yaitu lempeng Benua Asia, Benua Australia, lempeng Samudera Hindia, dan Samudera Pasifik. Pada bagian selatan dan timur Indonesia terdapat sabuk vulkanik, sedangkan daratan Indonesia termasuk rendah yang sebagian didominasi oleh rawa-rawa. Kondisi tersebut membuat Indonesia sangat rawan terjadi bencana letusan gunung berapi, gempa bumi, tsunami, banjir, dan tanah longsor.
Hingga 13 September 2021, data Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) mencatat 1.883 kejadian bencana meliputi 23 gempa bumi, 208 Karhutla, 8 kekeringan, 780 banjir, 357 tanah longsor, 485 puting beliung, dan 22 gelombang pasang/abrasi.
Menyadari akan pentingnya mitigasi risiko terutama terkait dana penanggulangan dampak bencana alam, pemerintah pada 13 Agustus 2021 menerbitkan Peraturan Presiden Nomor 75/2021 tentang Dana Bersama Penanggulangan Bencana atau Pooling Fund Bencana (PFB). Kajian Kementerian Keuangan pada 2020 menunjukkan bahwa rata-rata nilai kerusakan langsung yang dialami Indonesia dalam 15 tahun terakhir mencapai sekitar Rp20 triliun per tahun. Masalahnya, sejak 2004 dana cadangan pemerintah dalam APBN untuk mendanai tanggap darurat dan hibah rehabilitasi & rekonstruksi kepada pemerintah daerah masih berada di bawah nilai kerusakan dan kerugian tersebut yaitu Rp5 triliun-Rp10 triliun per tahun. Artinya, ada gap pendanaan yang harus ditutupi oleh pemerintah.
Dalam skema PFB ini, pemerintah akan menyetorkan dana kelolaan awal sebesar Rp7,3 triliun yang akan dikelola oleh Badan Layanan Umum (BLU) di Kemenkeu. Selain memobilisasi dana, BLU ini juga akan melakukan investasi serta boleh memindahkan risikonya kepada pihak ketiga melalui pengasuransian aset pemerintah dan masyarakat. Artinya, klaim asuransi tetap menjadi salah satu sumber dana bersama penanggulangan bencana. Dalam 2 tahun-3 tahun ke depan, pemerintah menargetkan PFB bakal mendanai pembelian premi asuransi seluruh gedung/bangunan milik K/L dan bergotong-royong untuk cofinancing dengan pemerintah daerah untuk pengasuransian aset daerah.
Jauh sebelum PFB ini dibentuk, pemerintah sudah ‘mencicil’ pengasuransian BMN melalui program Asuransi Barang Milik Negara (BMN). Per 31 Agustus 2021, pemerintah telah mengasuransikan 4.334 nomor urut pendaftaran (NUP) atau aset BMN dari 51 K/L dengan premi sebesar Rp49,13 miliar. Adapun total nilai pertanggungan dari seluruh aset tersebut adalah Rp32,41 triliun. Nilai asuransi tersebut dikelola oleh konsorsium yang terdiri dari 50 perusahaan asuransi umum dan 6 perusahaan reasuransi. Total kapasitas konsorsium ini mencapai Rp1,4 triliun per risiko.
Pada satu sisi, pengelolaan risiko aset negara ini menjadi peluang bisnis bagi industri perasuransian Tanah Air. Akan tetapi di sisi lain, besarnya nilai aset negara yang di-cover membuat kapasitas industri asuransi perlu ditingkatkan lagi, termasuk salah satunya dengan melibatkan perusahaan asuransi umum syariah ke dalam konsorsium. Saat ini, tercatat ada 72 perusahaan asuransi umum dengan nilai aset mencapai Rp183 triliun per Juni 2021 dan 6 perusahaan reasuransi dengan nilai aset sebesar Rp30 triliun per Juni 2021.
Dengan nilai aset industri asuransi umum yang hanya Rp183 triliun ini, tentu tidak akan cukup untuk meng-cover seluruh aset BMN yang secara nilai hampir mencapai Rp6.000 triliun. Harapannya, ceruk bisnis yang besar ini bisa memantik lahirnya pemain-pemain baru, terutama pemain lokal, sehingga bisa meningkatkan penetrasi dan densitas asuransi umum nasional. Lebih dari itu, peningkatan kapasitas industri asuransi umum domestik juga diharapkan dapat berperan dalam mengurangi defisit transaksi berjalan yang masih menjadi momok fundamental ekonomi Indonesia. Â Achmad Aris
| Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News