1
1

Pertumbuhan Ekonomi Global Melambat di 2022

Media Asuransi, JAKARTA – Normalisasi pertumbuhan ekonomi dan normalisasi kebijakan –moneter dan fiskal– akan menjadi tema utama pasar global di tahun depan. Setelah penurunan ekstrim di 2020 dan kenaikan massif di 2021, pertumbuhan ekonomi ke depan diperkirakan mulai bergerak ke arah normal, yang artinya pertumbuhan ekonomi global melambat di 2022 atau akan lebih rendah dibandingkan dengan 2021.

Senior Portfolio Manager Equity PT Manulife Aset Manajemen Indonesia (MAMI), Samuel Kesuma, menyatakan bahwa IMF memperkirakan pertumbuhan ekonomi global tumbuh sebesar 4,9 persen di 2022, lebih rendah dibandingkan dengan 5,9 persen di 2021. “Meskipun menurun, angka tersebut masih lebih tinggi dibandingkan rerata selama sepuluh tahun terakhir yang sebesar 2,2 persen,” katanya dalam keterangan resmi, Selasa, 21 Desember 2021.

Sementara itum dari sisi kebijakan moneter dan fiskal, seiring era normalisasi ekonomi global, bank sentral dan pemerintah dunia juga akan melakukan penyesuaian arah kebijakannya. Suku bunga diperkirakan meningkat secara gradual –sambil tetap mengamati kondisi pandemi– dan stimulus pandemi secara gradual akan dikurangi menuju ke level normal. Walaupun dikurangi, kebijakan dan stimulus fiskal baik di kawasan negara maju maupun berkembang tetap akan akomodatif dan lebih tinggi dari rerata jangka panjangnya.

Menurut Samuel Kesuma, saat ini pasar terlihat lebih siap dalam menghadapi perubahan kondisi ekonomi dan kebijakan di tahun 2022 mendatang. Mendekati akhir tahun 2021 ini penyesuaian ekspektasi pasar juga terus dilakukan, terlihat dari perubahan pada data konsensus yang menunjukkan pelaku pasar sudah ‘one step ahead’ dibandingkan dengan kondisi yang ada, sehingga diharapkan volatilitas di pasar keuangan juga akan lebih terkendali dan terukur. “Komunikasi yang seimbang dari bank sentral dan pemerintah dunia akan menjadi sangat penting dalam menjaga stabilitas di sektor keuangan,” katanya.

Dia tambahkan, normalisasi pertumbuhan dan perbaikan rantai pasokan global akan berdampak positif pada sektor manufaktur dan ekonomi Asia. Peran Asia sebagai produsen dunia akan diuntungkan dari tingginya aktivitas perdagangan yang menjadi proksi dari pertumbuhan ekonomi global.

|Baca juga: BI Proyeksikan Pertumbuhan Ekonomi 4,7 Persen-5,5 Persen Tahun 2022

Dari sisi fleksibilitas moneter, Asia memiliki ruang kebijakan yang lebih longgar didukung oleh inflasi yang terkendali dan tingkat suku bunga riil yang tinggi. Terutama ASEAN akan menjadi salah satu bintang yang cukup prospektif di kawasan Asia. “Setelah sempat tertinggal di 2021 –disebabkan oleh penanganan pandemi yang kurang optimal– pertumbuhan ekonomi Asia tahun 2022 diperkirakan akan melaju lebih tinggi dibandingkan tahun sebelumnya,” jelasnya.

MAMI memiliki outlook yang positif, pemulihan ekonomi yang lebih merata secara global akan berdampak positif bagi pasar yang sebelumnya tertinggal seperti pasar Asia. Selain itu daya tarik pasar saham Asia juga didukung oleh proyeksi pertumbuhan earnings yang baik, posisi kepemilikan asing yang relatif rendah, dan valuasinya yang relatif murah, mengingat saat ini berada pada 25 persen discount terhadap negara maju.

Sementara itu, berbeda dengan beberapa kawasan yang mengalami normalisasi pertumbuhan, Indonesia justru diperkirakan akan mengalami akselerasi pertumbuhan ekonomi yang lebih optimal di 2022. Momentum pembukaan kembali ekonomi diperkirakan meningkat di kuartal pertama tahun depan, ketika cakupan vaksinasi sudah lebih luas yang diperkirakan akan mencapai 70 persen dari populasi. Demografi Indonesia yang didominasi oleh usia muda juga akan membawa keuntungan, mempercepat aktivitas ekonomi kembali normal terutama apabila pembelian booster semakin diperluas.

Terkait inflasi, Samuel Kesuma menambahkan bahwa sejauh ini MAMI memandang ekspektasi inflasi 2022 di Indonesia akan relatif terjaga. Memang, akan ada potensi peningkatan yang disebabkan beberapa faktor seperti momentum pemulihan ekonomi yang lebih kuat, peluang kenaikan administered price pada bahan bakar minyak dan listrik, dampak kenaikan PPN, dan kenaikan harga bahan baku yang dibebankan ke konsumen.

“Namun kami perkirakan tekanannya akan relatif terkendali dalam rentang 3 persen plus minus 1 persen. Kondisi ini memberikan ruang bagi Bank Indonesia untuk tetap menerapkan kebijakan yang mendukung pemulihan ekonomi,” tuturnya.

Sedangkan nilai tukar rupiah saat ini dinilai lebih kokoh dalam menghadapi perubahan sentimen global. Meskipun berpotensi melemah di tengah perubahan kebijakan moneter global dan normalisasi harga komoditas dunia, namun stabilitasnya masih akan terjaga ditopang oleh tiga pilar utama, yaitu kebijakan moneter prudensial yang diterapkan Bank Indonesia, ketahanan eksternal yang lebih kuat, dan cadangan devisa yang memadai. “Kepemilikan asing pada pasar obligasi Indonesia yang sudah jauh lebih rendah turut mengurangi potensi tekanan dari arus keluar dana asing,” katanya.

|Baca juga:Indonesia Pegang Presidensi G20, Pemulihan Ekonomi Global Jadi Fokus Utama 

Walaupun demikian, Samuel mengingatkan bahwa perkembangan varian baru pandemi dan efektivitas vaksin, serta komunikasi pemerintah dan bank sentral akan perubahan kebijakan moneter dan fiskal –besaran dan kecepatannya– merupakan beberapa faktor risiko utama yang perlu dicermati ke depannya. Kualitas rilis data ekonomi dalam beberapa bulan mendatang akan mempengaruhi bagaimana normalisasi kebijakan moneter global akan dilakukan.

Dalam kondisi seperti ini, guna menghasilkan dan mempertahankan alpha pada kinerja portofolio, strategi pengelolaan dibagi menjadi dua pendekatan. Pertama, alokasi strategis. “Mempertahankan posisi overweight pada sektor inti yang mendapatkan manfaat dari perubahan struktural, seperti: e-economy, green economy, dan telekomunikasi. Sektor-sektor tersebut menawarkan latar belakang fundamental yang kuat dan menjadi fokus investasi investor asing terutama active money,” kata Samuel.

Kedua, alokasi taktikal. Secara selektif mengambil posisi overweight pada beberapa sektor yang menjadi proksi pembukaan kembali ekonomi, seperti finansial, otomotif dan properti. “Di samping itu, kami juga terus mencermati likuiditas dan volatilitas untuk memastikan pengelolaan investasi memberikan hasil optimal dengan risiko yang terkendali,” tuturnya.

| Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Related Posts
Prev Post SoftBank Ventures Asia Pimpin Putaran Pendanaan Seri B+ CHAI senilai US$45 Juta
Next Post MARKET BRIEF: Indeks Utama AS Menguat Signifikan

Member Login

or