1
1

MAMI Prediksi Pertumbuhan Ekonomi Global 2023 Sangat Rendah

Chief Economist & Investment Strategist MAMI, Katarina Setiawan | Foto: Doc

Media Asuransi, JAKARTA – Kondisi perekonomian global di 2023 masih akan dipengaruhi oleh dinamika dari tahun 2022. Pertumbuhan ekonomi global pada tahun 2023 diperkirakan melemah sebagai dampak pengetatan likuiditas global secara agresif di 2022, karena terdapat dampak tertunda dari kenaikan suku bunga terhadap ekonomi.

PT Manulife Aset Manajemen Indonesia (MAMI) memperkirakan kawasan negara maju akan merasakan dampak pelemahan yang lebih besar karena kenaikan suku bunga yang lebih agresif dan inflasi tinggi di 2022. “Oleh karena itu kami memperkirakan pertumbuhan ekonomi global akan berada pada level sangat rendah di 2023 dan juga terdapat risiko resesi ekonomi di kawasan negara maju,” kata Chief Economist & Investment Strategist MAMI, Katarina Setiawan, dalam keterangan resmi, Minggu, 25 Desember 2022.

Menurut dia, kabar positifnya adalah kawasan Asia diperkirakan menjadi penyeimbang, karena risiko resesi negara-negara di kawasan Asia lebih rendah karena kenaikan suku bunga yang lebih kecil di 2022 dan inflasi yang relatif lebih terkendali. Kawasan Asia tidak terpapar masalah energi seberat di Eropa atau inflasi sektor tenaga kerja di AS. Selain itu ekonomi Asia juga ditopang oleh ekspektasi pulihnya ekonomi China seiring dengan pelonggaran kebijakan Zero Covid.

|Baca juga: OJK Dorong Peran Perempuan dalam Pemberdayaan Ekonomi Keluarga

MAMI melihat bahwa tekanan inflasi akan mengalami moderasi di 2023. Kenaikan suku bunga yang tinggi dan pengetatan kuantitatif yang dilakukan bank sentral Amerika dan Eropa akan mulai berdampak pada tingkat permintaan dan membantu menahan laju inflasi. Selain itu dari sisi suplai juga sudah terlihat adanya perbaikan rantai pasokan serta turunnya harga pangan dan komoditas yang akan mengurangi tekanan inflasi.

“Walau demikian, tingkat inflasi 2023 akan tetap relatif lebih tinggi dibandingkan rata-rata historis, dipengaruhi faktor non-regular seperti konflik Rusia-Ukraina dan inflasi sektor jasa yang relatif sticky karena beralihnya permintaan dari barang menuju jasa pasca pandemi,” kata Katarina.

Seiring dengan tekanan inflasi yang mereda dan pertumbuhan ekonomi yang melemah, MAMI melihat siklus kenaikan suku bunga bank sentral sudah mendekati puncaknya. Fokus berbagai bank sentral dunia ke depannya akan beralih menjadi lebih holistik dengan mempertimbangkan pengendalian inflasi dan kondisi ekonomi secara keseluruhan. “Kami memperkirakan puncak dari kenaikan suku bunga The Fed akan terjadi di paruh pertama 2023 dan bertahan hingga akhir tahun,” tuturnya.

Dia jelaskan bahwa ekonomi Asia dapat menjadi penyeimbang bagi ekonomi global di 2023 di tengah risiko resesi ekonomi di kawasan negara maju. Pengalaman masa lalu menunjukkan bahwa ekonomi Asia diuntungkan oleh kebijakan moneter Amerika Serikat pada level stabil atau akomodatif, serta ekonomi China yang kuat.

|Baca juga: Variabel Ekonomi Berperan Penting dalam Penentuan Premi dan Klaim Bruto

Kebijakan suku bunga Amerika yang stabil cenderung positif bagi arus dana ke Asia, sementara ekonomi China yang kuat akan berdampak positif pada perdagangan dan ekonomi Asia karena China merupakan partner dagang utama bagi kebanyakan negara Asia. Di tahun 2022, kedua faktor ini tidak suportif bagi Asia, karena ada kenaikan suku bunga Amerika yang agresif dan ekonomi China yang melemah.

“Di tahun 2023 kami melihat kedua faktor ini dapat menjadi lebih suportif, di mana suku bunga AS diperkirakan sudah memuncak dan lebih stabil, serta ekonomi China dapat membaik seiring pembukaan kembali ekonomi. Oleh karena itu kami melihat masih terdapat peluang di kawasan Asia di tengah risiko resesi ekonomi di kawasan negara maju,” jelas Katarina Setiawan.

Sementara itu di dalam negeri, pertumbuhan PDB 2023 diperkirakan sedikit lebih rendah dibandingkan 2022, terdampak kenaikan suku bunga, normalisasi harga komoditas dan perlambatan ekonomi global yang menekan ekspor. Meskipun demikian, pertumbuhan Indonesia masih relatif stabil dan cukup jauh dari kemungkinan resesi yang diperkirakan terjadi di kawasan negara maju.

Ekonomi Indonesia masih tertopang oleh konsumsi domestik yang terjaga, karena konsumsi rumah tangga menyumbang lebih dari 50 persen terhadap pertumbuhan ekonomi. Kenaikan UMR yang tinggi untuk 2023 menjadi salah satu faktor yang dapat mendukung daya beli konsumen di tahun depan.

“Secara keseluruhan kami memperkirakan pertumbuhan PDB 2023 di kisaran 4,5 persen hingga 5,0 persen,” tutur Katarina.

Sementara itu terkait dengan tren kenaikan suku bunga, MAMI memandang Bank Indonesia sudah mendekati puncak dari siklus kenaikan suku bunganya. Dari sisi inflasi tingkat inflasi berpotensi menjinak di 2023 karena efek dari normalisasi harga pangan dan minyak dunia, serta redanya dampak kenaikan harga BBM.

Selain itu ekspektasi kenaikan suku bunga Amerika yang lebih terbatas akan mengurangi tekanan bagi BI untuk menaikkan suku bunga. “Oleh karena itu kami melihat Bank Indonesia akan mencapai puncak suku bunganya di paruh pertama 2023, di kisaran 5,50 persen hingga 5,75 persen, dan kemudian bertahan di level tersebut hingga akhir tahun,” jelas Katarina.

|Baca juga: Mastercard Economics Institute: Ekonomi Global Masuki Era ‘Multi-Kecepatan’

Di pasar modal, MAMI melihat bahwa sepanjang 2022 ini, kinerja pasar obligasi tertekan oleh tren kenaikan suku bunga. Kurva imbal hasil obligasi pemerintah Indonesia mengalami kenaikan di semua tenor, memberikan tantangan bagi kelas aset obligasi. Untuk 2023, MAMI melihat ada potensi perbaikan iklim pasar obligasi didukung tekanan kenaikan suku global yang sudah berkurang.

“Kami juga melihat potensi kembalinya investor asing ke pasar obligasi Indonesia di 2023 seiring dengan pulihnya selera investasi setelah tekanan kenaikan suku bunga dan penguatan US dolar mereda,” katanya.

Dia tambahkan, di akhir tahun 2022 sudah terlihat investor asing kembali masuk ke pasar obligasi Indonesia, setelah sepanjang tahun terus mencatat jual bersih. “Pada tahun 2023 kami memperkirakan imbal hasil obligasi pemerintah 10 tahun di kisaran 6,50 persen hingga 6,75 persen.

Pasar saham Indonesia mencatat kinerja yang baik di 2022, mengungguli kinerja pasar saham global dan regional, didukung stabilitas kondisi makroekonomi domestik. Untuk 2023 MAMI memandang stabilitas makroekonomi Indonesia masih akan menjadi faktor pendukung bagi pasar saham. Terutama apabila kita bandingkan secara relatif dengan berbagai negara lain yang pertumbuhan ekonominya dapat tertekan.

Selain itu potensi perbaikan selera investasi terhadap pasar Asia juga dapat berimbas positif bagi pasar saham Indonesia yang juga akan mendapat inflow dana asing. “Pada akhir tahun 2023 kami memperkirakan IHSG dapat mencapai level 8040,” tutur Katarina.

Namun dia mengingatkan bahwa masih terdapat tantangan bagi investor di 2023. Volatilitas pasar diperkirakan tetap tinggi karena pasar masih akan terus memperhatikan arah kebijakan suku bunga dan juga seberapa dalam pelemahan ekonomi yang dapat terjadi di 2023.

“Oleh karena itu kami menyarankan investor untuk melakukan diversifikasi investasi dengan memiliki eksposur di aset yang dapat menawarkan potensi pertumbuhan tinggi, seperti saham dan juga aset yang menawarkan stabilitas seperti obligasi. Diversifikasi menurunkan risiko volatilitas dan memberi fleksibilitas bagi investor untuk stay invested di pasar namun tetap dapat memanfaatkan peluang ketika terjadi volatilitas pasar,” katanya.

Editor: S. Edi Santsosa

| Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Related Posts
Prev Post Peringkat Obligasi Jatuh Tempo Rp1,8 Triliun BRI Ditegaskan idAAA
Next Post Perkembangan Indikator Stabilitas Nilai Rupiah

Member Login

or