Media Asuransi, JAKARTA – Dewan Asuransi Indonesia (DAI) saat ini sedang menganalisa dampak dari putusan Mahkamah Konstitusi (MK) mengenai uji materiil Pasal 251 KUHD. MK menyatakan bahwa norma Pasal 251 KUHD yang dimohonkan oleh Pemohon inkonstitusional bersyarat.
“Saya tidak akan berpendapat dulu soal isi putusan saat ini. Kami dan tim sedang menganalisa dulu dampak dari putusan ini. DAI sudah memikirkan untuk langkah lanjutan bila skenario perubahan terjadi, arah dari langkah itu adalah mengamankan perjanjian polis ke depannya,” kata Ketua Umum DAI, Yulius Bhayangkara, kepada Media Asuransi, Jumat malam, 3 Januari 2025.
Sebelumnya, Mahkamah Konstitusi (MK) menggelar sidang Pengucapan Putusan Nomor 83/PUU-XXII/2024 dalam perkara Pengujian Materiil Kitab Undang-Undang Hukum Dagang (KUHD) yang dimohonkan oleh Maribati Duha, pada Jumat, 3 Januari 2025. Dalam Amar Putusannya, Mahkamah menyatakan bahwa norma Pasal 251 KUHD yang dimohonkan oleh Pemohon inkonstitusional bersyarat.
|Baca juga: Mencermati Putusan MK No. 83/PUU-XXII-2024 Uji Materi Pasal 251 KUHD
“Menyatakan norma Pasal 251 Kitab Undang-Undang Hukum Dagang (Staatsblad Tahun 1847 Nomor 23) bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat secara bersyarat sepanjang tidak dimaknai, “termasuk berkaitan dengan pembatalan pertanggungan harus didasarkan atas kesepakatan penanggung dan tertanggung berdasarkan putusan pengadilan,” ucap Suhartoyo saat pembacaan amar Putusan Nomor 83/PUU-XXII/2024, dikutip dari keterangan resmi, Jumat, 3 Januari 2024.
Pertimbangan hukum Mahkamah sebagaimana yang dibacakan oleh Hakim Ridwan Mansyur menyatakan bahwa yang menyebabkan norma Pasal 251 KUHD inkonsitusional bersyarat karena berpotensi menimbulkan adanya tafsir yang beragam. Terutama jika dikaitkan dengan syarat batalnya perjanjian asuransi yang terdapat adanya persoalan yang berkenaan dengan adanya unsur yang disembunyikan oleh tertanggung sekalipun dengan iktikad baik.
Hal ini dikarenakan Pasal 251 KUHD tidak secara tegas mengatur mekanisme syarat batal atau cara pembatalan dilakukan jika terdapat hal-hal yang disembunyikan dalam membuat perjanjian, kecuali sekadar ada pilihan akibat yang timbul. Yaitu perjanjian tersebut batal atau perjanjian tersebut tidak akan diadakan atau akan diadakan dengan syarat yang berbeda, jika hal-hal yang keliru atau disembunyikan diketahui sebelumnya.
|Baca juga: MK: Pasal 251 KUHD adalah Produk Hukum Belanda sehingga Tak Relevan Lagi
“Norma Pasal 251 KUHD setelah dicermati secara seksama oleh Mahkamah merupakan norma yang berpotensi menimbulkan adanya tafsir yang beragam, khususnya jika dikaitkan dengan syarat batalnya perjanjian asuransi yang terdapat adanya persoalan yang berkenaan dengan adanya unsur yang disembunyikan oleh tertanggung sekalipun dengan iktikad baik,” katanya.
Sebab, norma Pasal 251 KUHD tidak secara tegas mengatur mekanisme syarat batal atau cara pembatalan dilakukan jika terdapat hal-hal yang disembunyikan dalam membuat perjanjian, kecuali sekadar ada pilihan akibat yang timbul. Yaitu perjanjian tersebut batal atau perjanjian tersebut tidak akan diadakan atau akan diadakan dengan syarat yang berbeda, jika hal-hal yang keliru atau disembunyikan tersebut diketahui sebelumnya.
|Baca juga: MK Nyatakan Norma Pasal 251 KUHD Inkonstitusional Bersyarat
“Oleh karena itu, tampak dengan nyata tidak terdapatnya penegasan berkenaan dengan tata cara pembatalan akibat adanya hal-hal yang keliru atau disembunyikan dalam pemberitahuan oleh pihak tertanggung berkaitan dengan perjanjian yang dibuat oleh penanggung,” ucap Ridwan saat Pembacaan Pertimbangan Hukum.
Padahal, sifat suatu perjanjian seharusnya memberikan posisi yang seimbang atas dasar prinsip-prinsip perjanjian. Sementara, addresat norma Pasal 251 KUHD hanya ditujukan untuk memberi peringatan kepada tertanggung tanpa memberikan keseimbangan hak dari pihak tertanggung atas perjanjian yang dibuat bersama dengan pihak penanggung. Karena itu, Mahkamah akhirnya memberikan penegasan dan pemaknaan terhadap norma ketentuan Pasal 251 KUHD.
“Sifat suatu perjanjian yang seharusnya memberikan posisi yang seimbang atas dasar prinsip-prinsip perjanjian, yang di antaranya syarat kebebasan berkontrak dan harus adanya kesepakatan para pihak, di samping prinsip-prinsip yang lainnya, maka addresat norma Pasal 251 KUHD yang seolah-olah hanya ditujukan untuk memberi peringatan kepada tertanggung saja, tanpa memberikan keseimbangan hak dari pihak tertanggung atas perjanjian yang dibuat bersama dengan pihak penanggung, sehingga telah menjadi kesepakatan adalah norma yang tidak memberikan pelindungan dan kepastian hukum yang adil khususnya bagi tertanggung,” jelas Ridwan saat Pembacaan Pertimbangan Hukum.
Editor: S. Edi Santosa
| Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News