1
1

Mencermati Putusan MK No. 83/PUU-XXII-2024 Uji Materi Pasal 251 KUHD

Ketua Komisi Hukum dan Kepatuhan Dewan Asuransi Indonesia (DAI) Nugraha Adi. | Foto: Nugraha Adi

Oleh: Nugraha Budi S. MarE, Dipl.IIMS, SH, ICAP, FIFAA, ANZIIF (Assoc) CIP*

 

Selamat Tahun Baru 2025

Merupakan “Kado Istimewa”, Mahkamah Konstitusi (MK) mengabulkan permohonan uji materi atau Judicial Review nomor Perkara 83/PUU-XXII/2024 terkait Pasal 251 Kitab Undang-Undang Hukum Dagang (KUHD) yang dimohonkan oleh pemohon Maribati Duha dalam Rapat Permusyawaratan Hakim oleh sembilan Hakim Konstitusi, yaitu Suhartoyo selaku Ketua merangkap Anggota, Saldi Isra, Ridwan Mansyur, M Guntur Hamzah, Daniel Yusmic P Foekh, Anwar Usman, Arief Hidayat, Enny Nurbaningsih, dan Arsul Sani, masing-masing sebagai Anggota, pada hari Jumat, 20 Desember 2024, yang diucapkan dalam Sidang Pleno Mahkamah Konstitusi terbuka untuk umum pada hari Jumat, 3 Januari 2025, selesai diucapkan pukul 09.28 WIB.

 

AMAR PUTUSAN

Mengadili:

  1. Mengabulkan permohonan Pemohon untuk sebagian;
  2. Menyatakan norma Pasal 251 Kitab Undang-Undang Hukum Dagang (Staatsblad Tahun 1847 Nomor 23) bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat secara bersyarat sepanjang tidak dimaknai “termasuk berkaitan dengan pembatalan pertanggungan harus didasarkan atas kesepakatan penanggung dan tertanggung atau berdasarkan putusan pengadilan”;
  3. Memerintahkan pemuatan putusan ini dalam Berita Negara Republik Indonesia sebagaimana mestinya;
  4. Menolak permohonan Pemohon untuk selain dan selebihnya.

 

Barangkali masyarakat dan kalangan praktisi industri perasuransian bertanya tanya, apa sesungguhnya implikasi dan makna dari Putusan MK aquo.

Mari kita lihat bahwa Putusan MK antara lain:

  1. Tidak dapat diterima (Niet ontvankelijk verklaard)

Bahwa apabila permohonan pengujian materi mengandung cacat formil, tidak mempunyai legal standing atau MK tidak mempunyai kewenangan memeriksa, mengadili, dan memutuskan permohonan pemohon.

  1. Ditolak

Bahwa apabila undang-undang yang dimohonkan uji meteri tersebut tidak bertentangan dengan UUD 1945, baik mengenai pembentukan maupun materinya sebagian atau keseluruhan.

  1. Dikabulkan

Bahwa apabila permohonan pemohon beralasan dan permohonan dikabulkan, MK menyatakan dengan tegas materi muatan ayat, pasal, dan/atau bagian dari undang-undang yang bertentangan dengan UUD 1945.

  1. Konstitusional Bersyarat (Conditionally Constitutional).
  2. Inkonstitusional Bersyarat (Conditionally Unconstitutional).

Putusan model inkonstitusional bersyarat merupakan kebalikan dari putusan konstitusional bersyarat yang berarti pasal yang dimohonkan untuk diuji, dinyatakan bertentangan secara bersyarat dengan UUD 1945.

Artinya, pasal yang dimohonkan diuji tersebut adalah inkonstitusional jika syarat yang ditetapkan oleh MK tidak dipenuhi. Dengan demikian pasal yang dimohonkan diuji tersebut pada saat putusan dibacakan adalah inkonstitusional dan akan menjadi konstitusional apabila syarat sebagaimana ditetapkan oleh MK dipenuhi oleh Putusan MK.

Putusan MK Perkara 83/PUU-XXII/2024 menurut kami adalah jenis putusan Inkonstitusional Bersyarat (Conditionally Unconstitutional), dalam Perimbangan Hukum Nomor (3.19), Majelis Hakim MK bijaksana dan rasional. 

[3.19] Menimbang bahwa berdasarkan pertimbangan hukum tersebut di atas, Mahkamah akan mempertimbangkan lebih lanjut berkaitan dengan dalil Pemohon yang mempersoalkan konstitusionalitas norma Pasal 251 KUHD yang mengatur batalnya pertanggungan karena pemberitahuan yang keliru atau tidak benar, atau semua penyembunyian keadaan yang diketahui oleh tertanggung, meskipun dilakukan dengan iktikad baik. Terhadap dalil norma a quo, Mahkamah mempertimbangkan bahwa prinsip iktikad baik sempurna atau prinsip iktikad baik yang sebaik-baiknya (principle of utmost good faith) dalam perjanjian Asuransi adalah syarat utama yang bersifat fundamental dan menjadi instrumen untuk mendapatkan perlindungan hukum yang diberikan kepada pihak-pihak yang melakukan perjanjian asuransi, baik penanggung maupun tertanggung. Hal demikian penting ditekankan karena sebagaimana telah dipertimbangkan sebelumnya, bahwa perjanjian asuransi adalah jenis perjanjian yang bersifat khusus, di mana salah satunya adalah perjanjian untung-untungan, yaitu suatu perjanjian yang didasarkan pada suatu peristiwa hukum yang belum tentu terjadi.

Oleh karena itu, sebagai pihak yang akan menerima pengalihan risiko dari kemungkinan penyalahgunaan keadaan atau jebakan (trap) akibat ketidakseimbangan penguasaan informasi dan faktor risiko yang diperjanjikan harus dihindarkan. Demikian pula terhadap pihak yang akan mendapatkan jaminan pemenuhan penggantian risiko juga harus diberikan perlindungan. Oleh karena itu, unsur iktikad baik menjadi kunci utama atau dasar diadakannya perjanjian asuransi. Namun demikian, sebagaimana pada umumnya dalam suatu perjanjian kemungkinan adanya salah satu pihak yang tidak memenuhi isi perjanjian baik dengan unsur yang disengaja maupun tidak disengaja adalah menjadi salah satu sebab yang tidak dapat dihindarkan dan hal tersebut menjadi permasalahan hukum yang krusial bagi para pihak dalam menyelesaikannya dengan argumentasi hukum yang berbeda antara pihak yang satu dan pihak yang lainnya, in casu penanggung dan tertanggung.

Prinsip itikad baik ini berhubungan dengan Pasal 1320, 1321, 1323, 1328 dan 1338 KUH Perdata serta Pasal 251 KUHD. Yang dimaksud dengan itikad baik dalam Pasal 1338 ayat (3) KUH Perdata adalah bahwa perjanjian harus dilaksanakan secara pantas dan patut. Itikad baik bukan saja harus ada pada saat pelaksanaan perjanjian, tetapi juga pada saat dibuatnya atau ditandatanganinya suatu perjanjian.

Pasal 251 KUHD membebankan suatu kewajiban kepada tertanggung untuk menyampaikan keadaan yang sesungguhnya dengan itkad baik kepada penanggung, sebelum Perjanjian Asuransi disepakati, dengan risiko membuat pertanggungan itu batal,  namun Putusan MK telah memutus bahwa Pasal 251 KUHD tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat secara bersyarat sepanjang tidak dimaknai “termasuk berkaitan dengan pembatalan pertanggungan harus didasarkan atas kesepakatan penanggung dan tertanggung atau berdasarkan putusan pengadilan”;

Berdasarkan hal hal tersebut di atas, maka Penanggung tidak dapat dengan serta-merta melakukan tindakan pembatalan Polis Asuransi Tertanggung tanpa didasarkan atas kesepakatan penanggung dan tertanggung atau berdasarkan putusan pengadilan.

Mari kita hormati Putusan MK ini kemudian menjadikan momen yang penting di Tahun 2025 untuk melakukan perbaikan secara komprehensif sehingga terciptanya Industri Perasuransian yang sehat dan kuat dalam rangka meningkatkan kesejahteraan masyarakat Indonesia dan menunju Indonesia Emas.

 

*Penulis adalah Advokat, Pengurus & Kurator. Selain itu, penulis adalah  Ketua Komisi Hukum dan Kepatuhan Dewan Asuransi Indonesia (DAI)

 

| Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Related Posts
Prev Post Resolusi Keuangan Tahun Baru untuk 2025: Langkah Realistis Menuju Kesejahteraan Finansial
Next Post Bank Mandiri Tunjuk M Ashidiq Iswara sebagai Corporate Secretary

Member Login

or