1
1

Mengenal Asuransi Syariah dan Perbedaannya dengan Asuransi Konvensional

Ilustrasi. | Foto: BRI Life

Media Asuransi, JAKARTA – Asuransi merupakan produk keuangan yang penting untuk melindungi diri dan keluarga dari berbagai risiko yang dapat terjadi di masa depan. Dengan adanya asuransi, kita bisa merasa lebih aman dan tenang dalam menghadapi kehidupan sehari-hari.

Seiring berkembangnya zaman, kini ada pilihan lain yang bisa Anda pertimbangkan, yaitu asuransi syariah. Asuransi syariah menawarkan beberapa perbedaan dibandingkan dengan asuransi konvensional. Perbedaan ini dapat dilihat dari segi kontrak, pengelolaan dana, pembagian surplus underwriting, pengawasan syariah, transaksi yang dilarang, serta status halalnya.

|Baca juga: Resesi hingga Ledakan Inflasi Jadi Kekhawatiran Para Pemimpin Bisnis di G20

|Baca juga: Abdul Ghofar Sah Jadi Preskom Tugu Insurance (TUGU)

Mengutip Tugu Insurance, Sabtu, 14 Desember 2024, asuransi syariah adalah produk asuransi yang beroperasi dengan menggunakan sistem tabarru’ atau sumbangan sukarela, yang berarti nasabah yang menjadi anggota asuransi syariah saling membantu dan menanggung risiko satu sama lain.

Asuransi syariah tidak mengenal konsep premi atau biaya asuransi, melainkan kontribusi atau iuran yang dibayarkan oleh nasabah sebagai bentuk partisipasi dalam asuransi syariah. Kontribusi ini kemudian dikelola oleh perusahaan asuransi syariah dalam bentuk dana tabarru’, yang digunakan untuk membayar klaim atau santunan kepada nasabah yang mengalami risiko.

|Baca juga: Pasar Asuransi Siber Global Diperkirakan Tembus US$97,3 Miliar di 2032

|Baca juga: Direktur Kredit dan Risiko Bank Maspion (BMAS) Mengundurkan Diri

Asuransi syariah memiliki beberapa perbedaan dengan asuransi konvensional, yang dapat dilihat dari beberapa aspek berikut:

1. Kontrak/Perjanjian/Akad

Kontrak atau perjanjian atau akad adalah dasar hukum yang mengikat antara nasabah dan perusahaan asuransi, yang mengatur tentang hak dan kewajiban masing-masing pihak. Dalam asuransi syariah, kontrak yang digunakan adalah akad tabarru’, yang berarti nasabah menyumbangkan sebagian dari kontribusinya kepada dana tabarru’, yang digunakan untuk membantu nasabah lain yang mengalami risiko yang diasuransikan.

Kontrak tabarru’ ini mengandung unsur sharing risk, yaitu pembagian risiko antara nasabah dan perusahaan asuransi. Selain akad tabarru’, asuransi syariah juga menggunakan akad-akad lain yang sesuai dengan syariah, seperti akad wakalah (perwakilan), akad mudharabah (kerjasama), atau akad ju’alah (imbalan).

2. Kepemilikan dana

Kepemilikan dana adalah status hukum yang menunjukkan siapa yang memiliki hak atas dana yang dikelola oleh perusahaan asuransi. Dalam asuransi syariah, dana yang berasal dari kontribusi yang dibayarkan oleh nasabah menjadi milik nasabah, yang kemudian dikelola oleh perusahaan asuransi syariah dalam bentuk dana tabarru’.

|Baca juga: Asuransi Digital Bersama akan Lepas 12,03% Lembar Saham Saat IPO

|Baca juga: Imam Teguh Saptono Jadi Dirut Bank Muamalat

Nasabah memiliki hak atas dana tersebut, baik untuk mendapatkan klaim, maupun untuk mendapatkan surplus underwriting, yaitu sisa dana tabarru’ setelah dikurangi klaim dan biaya operasional. Surplus underwriting ini dibagikan kepada nasabah secara proporsional sesuai dengan kontribusi yang mereka bayarkan.

3. Surplus underwriting

Surplus underwriting adalah kelebihan dana tabarru’ yang tersedia setelah dikurangi klaim dan biaya operasional. Surplus underwriting ini merupakan salah satu keunggulan asuransi syariah, karena menunjukkan asuransi syariah mampu mengelola dana tabarru’ dengan efisien dan efektif, sehingga dapat memberikan manfaat tambahan kepada nasabah.

Surplus underwriting ini dibagikan kepada nasabah secara proporsional sesuai dengan kontribusi yang mereka bayarkan, atau sesuai dengan kesepakatan antara nasabah dan perusahaan asuransi syariah.

Namun, perlu dicatat bahwa surplus underwriting ini sifatnya tidak dijamin, karena hanya terjadi apabila kontribusi yang masuk lebih banyak dibandingkan dengan klaim yang diambil. Jika sebaliknya, maka tidak ada surplus underwriting yang dibagikan, melainkan perusahaan asuransi syariah harus menambahkan dana tabarru’ dari dana cadangan atau dana lain yang sesuai dengan syariah.

4. Memiliki dewan pengawas syariah

Dewan Pengawas Syariah (DPS) adalah lembaga yang bertugas untuk mengawasi dan menjamin bahwa operasional dan produk asuransi syariah sesuai dengan syariah Islam. DPS terdiri dari para ulama, ahli syariah, dan praktisi asuransi syariah, yang memberikan fatwa, saran, dan rekomendasi kepada perusahaan asuransi syariah. DPS juga bertanggung jawab untuk mengaudit dan mengevaluasi kinerja asuransi syariah secara berkala.

5. Tidak melakukan transaksi yang dilarang dalam keuangan syariah

Transaksi yang dilarang dalam keuangan syariah adalah transaksi yang mengandung unsur-unsur yang bertentangan dengan syariah Islam, seperti riba (bunga), gharar (ketidakpastian), maysir (spekulasi), atau haram (terlarang). Transaksi-transaksi ini dianggap tidak adil, tidak etis, dan tidak sesuai dengan nilai-nilai kesejahteraan dan keadilan sosial yang diajarkan oleh Islam.

6. Halal

Dalam asuransi syariah, status halalnya sudah terjamin, karena tidak mengandung unsur-unsur yang dilarang dalam syariah Islam, melainkan mengikuti prinsip-prinsip syariah yang adil, etis, dan bermanfaat.

Editor: Angga Bratadharma

| Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Related Posts
Prev Post 6 Rekomendasi Aplikasi AI yang Bikin Pekerjaan Kamu Semakin Mudah
Next Post Survei Igloo Permintaan Asuransi Hewan Ras Terus Naik

Member Login

or