Media Asuransi, GLOBAL – Mayoritas masyarakat India masih meremehkan lonjakan inflasi medis dan tingginya biaya perawatan kesehatan. Survei terbaru dari platform asuransi daring PolicyBazaar.com mengungkapkan lebih dari 75 persen warga India yang tidak memiliki asuransi ternyata tidak menyadari besarnya biaya yang dibutuhkan saat menghadapi krisis kesehatan atau kehidupan.
Melansir Asia Insurance Review, Rabu, 23 April 2025, dalam laporan bertajuk ‘How India Buys Insurance 2.0′ edisi kedua yang dirilis April 2025, disebutkan hampir 48 persen pemegang polis asuransi kesehatan di India hanya memiliki pertanggungan maksimal INR500.000 atau sekitar US$5.853. Padahal, biaya pengobatan penyakit kritis seperti kanker, gagal ginjal, atau prosedur jantung kini jauh lebih tinggi dari angka tersebut.
|Baca juga: Ciptakan Ekonomi Inklusif, BRI Group Berdayakan 14,4 Juta Pengusaha Wanita di Hari Kartini
|Baca juga: Waspada, Tarif AS Diramal Hantam Investasi dan Likuiditas Industri Perbankan RI!
Masih dalam laporan yang sama, disebutkan bahwa 47,6 persen masyarakat India tidak mengetahui tentang asuransi jiwa berjangka (term insurance) dan manfaatnya. Ini menunjukkan masih rendahnya tingkat literasi asuransi serta kesenjangan besar dalam kesiapan keuangan dan persepsi risiko di tengah masyarakat.
Meski asuransi kesehatan mulai dianggap sebagai salah satu dari tiga produk keuangan wajib oleh 28,3 persen responden, namun nyatanya sebagian besar pemegang polis tetap underinsured. Sekitar 75 persen pembeli asuransi kesehatan hanya memilih pertanggungan maksimal INR1 juta. Di India Selatan, kondisinya lebih mengkhawatirkan: 66 persen pemegang polis hanya memiliki perlindungan hingga INR500 ribu.
Tak hanya itu, 51 persen masyarakat yang belum membeli asuransi juga percaya bahwa biaya pengobatan penyakit kritis tak lebih dari INR500 ribu, angka yang tidak realistis dengan kondisi saat ini.
Kabar baiknya, kesadaran terhadap asuransi jiwa mulai meningkat. Industri mencatat pertumbuhan 18 persen dalam penjualan term insurance selama tahun keuangan 2023–2024, jauh di atas CAGR lima tahun terakhir yang hanya dua persen. Sebanyak 56 persen responden yang mengetahui tentang produk ini menunjukkan niat positif untuk membelinya.
Namun, masih banyak yang gagal memperhitungkan kebutuhan keuangan penting seperti pendidikan anak, biaya pernikahan, kewajiban utang, pensiun pasangan, dan keadaan darurat medis.
|Baca juga: Bertemu Dubes AS, Sri Mulyani Bahas Tarif Trump, APBN, hingga Makan Bergizi Gratis
|Baca juga: Efisiensi Perjalanan Dinas, Elnusa (ELSA) ‘Booking’ Pelita Air
Padahal, para ahli menyarankan agar seseorang memiliki asuransi jiwa dengan nilai pertanggungan 15 hingga 20 kali pendapatan tahunan agar keluarga bisa bertahan setidaknya 10 tahun ke depan. Sayangnya, hanya 13 persen dari mereka yang belum memiliki asuransi yang mampu memperkirakan kebutuhan secara tepat.
Joint Group CEO PB Fintech Sarbvir Singh menyayangkan masih banyak konsumen yang lebih memilih menjual aset warisan atau berutang saat krisis, alih-alih memanfaatkan solusi perlindungan sederhana seperti asuransi kesehatan dan jiwa.
“Sebagai industri, kita harus memperkuat edukasi dan meningkatkan pengalaman pelanggan agar adopsi asuransi semakin luas dan menjangkau seluruh lapisan masyarakat,” pungkasnya.
Editor: Angga Bratadharma
| Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News