Media Asuransi, JAKARTA – Saat ini Indonesia memiliki sembilan perusahaan reasuransi yang terdiri dari delapan perusahaan reasuransi konvensional dan satu reasuransi berbasis syariah. Meskipun banyak dalam jumlah, namun nilai kapasitas reasuransi di Indonesia dinilai masih kurang untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri.
Kondisi itu akhirnya membuat Otoritas Jasa Keuangan (OJK) terus menggaungkan peningkatan kapasitas pada reasuransi domestik.
Kepala Eksekutif Pengawas Perasuransian, Penjaminan, dan Dana Pensiun OJK Ogi Prastomiyono mengatakan, peran dari sektor reasuransi dalam mendukung pengelolaan risiko di sektor asuransi saat ini belum optimal, seperti yang ditunjukkan oleh data-data terkait proporsi premi dan neraca pembayaran industri asuransi.
|Baca juga: Akuisisi BTN terhadap Bank Syariah Masuk Proses Finalisasi
|Baca juga: OJK Gelar The 2nd OJK International Research Forum 2024
Ogi menyampaikan proporsi premi reasuransi ke luar negeri terhadap total premi asuransi pada 2022 mencapai 34,8 persen. Angka tersebut kemudian naik 38,1 persen pada 2023. Neraca pembayaran sektor asuransi tahun lalu juga tercatat defisit Rp10,2 triliun, atau meningkat 28,2 persen dari nilai defisit pada 2022 yang tercatat sebesar Rp7,95 triliun.
Direktur Utama Asrinda Arthasangga Eko Supriyanto Hadi menyatakan jumlah perusahaan reasuransi di Indonesia tidak perlu terlalu banyak. Yang lebih penting adalah perusahaan tersebut memiliki kapasitas reasuransi dan finansial yang kuat.
Dirinya menekankan pentingnya keseimbangan antara jumlah perusahaan reasuransi dan asuransi, seperti yang telah berhasil diterapkan di Malaysia. Dengan banyaknya perusahaan asuransi dan reasuransi, penerapan POJK 23/2023 mengenai pemodalan minimum dinilai sebagai langkah yang tepat untuk meningkatkan kesehatan industri perasuransian.
|Baca juga: PFI Mega Life Luncurkan Board Game “Maen Do It” untuk Tingkatkan Finansial Literasi
|Baca juga: Jasindo Syariah Bukukan Pertumbuhan 100% di Lini Bisnis Asuransi Perjalanan Umrah
Eko juga menyoroti perlunya peningkatan jumlah perusahaan reasuransi syariah, minimal dua perusahaan untuk memenuhi kebutuhan yang terus meningkat seiring dengan pertumbuhan industri asuransi syariah.
“Sebaiknya jumlah reasuransi syariah itu memang jangan satu, tapi juga jangan terlalu banyak, idealnya Itu reasuransi syariah ya minimal dua atau tiga, itu bagusnya seperti itu. Tapi kembali lagi kepada kapasitasnya,” ujar Eko, kepada Media Asuransi, dikutip Kamis, 21 November 2024.
Eko menambahkan sesungguhnya beberapa tahun yang lalu pemerintah melalui Kementerian BUMN pernah mencanangkan adanya ide pembentukan ‘Giant Re’ di mana terdapat hanya satu perusahaan reasuransi BUMN besar yang didukung dengan kekuatan finansial yang mumpuni.
Perusahaan Giant Re tersebut digadang-gadang memiliki empat anak perusahaan yaitu, perusahaan reasuransi umum, jiwa, syariah dan penjaminan.
Perusahaan reasuransi khusus untuk penjaminan dinilai sangat penting karena saat ini belum ada dan bisnis penjaminan di Indonesia masih memerlukan dukungan yang kuat dari pemerintah untuk menjaga stabilitas perekonomian Indonesia.
|Baca juga: Prudential Syariah Berpartisipasi dalam Indonesia Economy & Financial Outlook 2025
|Baca juga: OJK: Industri Asuransi Harus Tumbuh Bersama di 2025
Menurut Eko, saat ini ide pembentukan perusahaan Giant Re masih relevan untuk memenuhi kebutuhan domestik. Untuk menciptakan persaingan yang sehat, diperlukan juga adanya perusahaan reasuransi nasional yang dikelola oleh swasta.
Meski demikian, Eko mengakui pendapatnya mengenai jumlah ideal perusahaan reasuransi masih bersifat sementara dan perlu kajian lebih lanjut. Ia berharap, dengan adanya perusahaan reasuransi yang lebih sedikit namun lebih kuat, industri perasuransian Indonesia, termasuk sektor syariah, dapat berkembang lebih pesat.
Editor: Angga Bratadharma
| Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News