1
1

Tarif Amerika Serikat Turun, Indonesia Bakal Untung atau Buntung?

Ilustrasi. | Foto: Pexel

Media Asuransi, JAKARTA – Penurunan tarif impor oleh Amerika Serikat (AS) yang baru-baru ini disepakati telah memicu berbagai pandangan di kalangan pakar ekonomi Indonesia. Apakah ini benar-benar membawa keuntungan bagi Indonesia atau justru menyisakan tantangan yang perlu diwaspadai?

Kesepakatan dagang terbaru antara Indonesia dan Amerika Serikat, diumumkan pada 15 Juli 2025, menurunkan tarif impor barang Indonesia ke AS dari 32 persen menjadi 19 persen, sementara produk AS masuk ke Indonesia dengan tarif nol persen.

Indonesia juga berkomitmen membeli produk energi AS senilai US$15 miliar, pertanian US$4,5 miliar, dan 50 pesawat Boeing. Kesepakatan ini membuka peluang ekspor sektor unggulan Indonesia seperti tekstil dan elektronik, dengan tarif lebih kompetitif dibandingkan dengan negara ASEAN lain.

|Baca juga: Mirae Asset Resmikan Cabang Terbesar, Jumlah Nasabah Dibidik 1 Juta pada 2026

|Baca juga: Mau Ketiban Durian Runtuh Hari Ini? Coba Pantau 4 Saham Berikut!

Namun, masuknya produk pangan AS tanpa tarif berisiko bagi petani lokal dan program swasembada pangan. Klausul transhipment juga menyulitkan strategi ekspor berbasis bahan baku impor. Dari sisi fiskal, komitmen pembelian produk AS, terutama pesawat, dapat membebani BUMN dan mengganggu stabilitas neraca perdagangan serta nilai tukar.

Direktur Eksekutif Indef Esther Sri Astuti menjelaskan lima negara importir terbesar ke Indonesia adalah China (73,85), Singapura (21,53), Jepang (14,38), Amerika Serikat (12,02), dan Malaysia (10,92), dengan total kontribusi sebesar 56,68 persen terhadap nilai impor nasional.

Ia menyoroti ketergantungan Indonesia pada pasar tertentu, terutama Amerika Serikat, dapat memunculkan risiko besar apabila terjadi fluktuasi kebijakan tarif, seperti pada era pemerintahan Trump. Karena itu, Indonesia tidak boleh hanya terpaku pada pasar AS, sebab data BPS menunjukkan potensi besar juga terdapat di China dan Uni Eropa, selain ASEAN.

“Produk yang biasanya diekspor ke Uni Eropa, seperti minyak nabati, produk hewani, dan mineral (yang bersifat padat karya), juga merupakan komoditas serupa yang dikirim ke pasar AS. Artinya, ketika pasar AS sedang tidak menguntungkan, Uni Eropa bisa menjadi alternatif utama,” kata Esther, dikutip dari press brief Indef, Jumat, 25 Juli 2025.

|Baca juga: Premi ke Luar Negeri Masih Tinggi, OJK Terapkan 3 Jurus Ini di Industri Reasuransi RI

|Baca juga: Nyaris Separuh Warga RI Rentan Risiko Keuangan, OJK Soroti 5 Ancaman Serius Asuransi di 2025

Esther menyarankan strategi ekspansi perdagangan melalui diversifikasi pasar, penguatan hubungan ekonomi internasional, penciptaan iklim investasi yang kondusif, serta diversifikasi produk. Strategi seperti ini telah diterapkan oleh Vietnam dan terbukti menguntungkan dalam konteks perang dagang global.

Peneliti Pusat Industri, Perdagangan, dan Investasi, Indef Ahmad Heri Firdaus menambahkan meskipun pangsa pasar AS terhadap Indonesia tidak besar, yakni sekitar 10 persen, namun produk utama Indonesia seperti tekstil, pakaian jadi, dan alas kaki banyak dikirim ke sana.

Ketika tarif impor diberlakukan, produk Indonesia akan menghadapi persaingan ketat dengan negara lain, apalagi 26 negara lain juga terkena tarif baru, bahkan ada yang mencapai 50 persen. Di sisi lain, AS mensyaratkan tarif nol persen untuk produk mereka yang masuk ke Indonesia, yang berisiko membanjiri pasar domestik dengan barang-barang impor.

Heri menekankan pentingnya Indonesia menganalisis apa yang sebenarnya akan diimpor dari AS dan bagaimana dampaknya terhadap industri dalam negeri. Ia menyebut tarif kecil bukan berarti aman. Sebab, dengan struktur produk Indonesia yang padat karya, kenaikan harga sedikit saja bisa berdampak besar.

Simulasi menunjukkan pertumbuhan ekonomi Indonesia turun sebesar 0,031 persen karena pengenaan tarif ini. Selain itu, investasi berpotensi turun 2,5 persen, dan ekspor-impor produk padat karya turun 0,08 persen.

Menurut Heri, negara lain mungkin tetap kuat karena efisiensi biaya produksinya lebih baik, seperti Vietnam yang lebih kompetitif daripada Indonesia meskipun terkena tarif lebih tinggi. Skor core competitiveness Indonesia juga masih di bawah negara-negara pesaing seperti Vietnam.

Dari sisi ketenagakerjaan, penurunan terjadi pada sektor padat karya seperti tekstil dan alas kaki, baik pekerja kasar maupun profesional. Untuk produk berbasis kelapa sawit, Indonesia masih unggul karena memiliki keunggulan komparatif.

Heri menyoroti sektor jasa, khususnya jasa teknologi dan ICT dari AS, adalah sektor yang Indonesia tidak bisa hindari. Ketergantungan ini perlu ditinjau ulang karena penurunan tarif untuk barang-barang AS, khususnya teknologi, akan memperkuat dominasi dan ketergantungan, serta berpotensi memicu kecemburuan negara lain.

|Baca juga: OJK Bawa Kabar Buruk, Gejolak Israel-Iran Disebut Berpotensi Hantam Produk Unitlink!

|Baca juga: OJK Wanti-wanti Industri Asuransi soal Aktuaris, Ini Langkah Cegah Tenaga Ahli Kabur

Ia juga mengkritik kebijakan pembebasan bea masuk tanpa pertimbangan kredibilitas dan keadilan perdagangan internasional. Jika Indonesia terlalu tunduk pada tekanan AS, sementara memiliki kontrak jangka panjang dengan negara lain seperti Australia, hal ini akan merusak kredibilitas Indonesia di mata mitra dagang global.

“Indonesia perlu menegosiasikan ulang secara tegas dan tidak semata-mata mengikuti kemauan AS,” ucapnya.

Kepala Pusat Makroekonomi dan Keuangan Inded M Rizal Taufikurahman menjelaskan kebijakan reciprocal tax oleh AS dimulai dari tarif 32 persen atas produk ekspor Indonesia karena dianggap mendapatkan keuntungan tidak adil dari hubungan dagang bilateral dan keterlibatan dalam BRICS.

Setelah negosiasi yang berlangsung April-Juli 2025, tarif berhasil ditekan menjadi 19 persen. Namun, dengan kompensasi besar dan harga mahal, Indonesia harus membeli 50 unit pesawat Boeing (US$10 miliar), mengimpor LNG dan energi terbarukan dari perusahaan AS (US$15 miliar).

Kesepakatan ini bersifat sementara dan berbasis transaksi, bukan preferensi jangka panjang sehingga menyisakan risiko besar. Berdasarkan simulasi GTAP 2025 oleh Indef, kebijakan tarif ini menyebabkan kontraksi ekonomi Indonesia sebesar 0,113 persen, yang merupakan penurunan tertinggi di antara negara terdampak.

Investasi domestik juga menurun 0,061 persen, daya beli rumah tangga turun 0,091 persen, dan kapasitas fiskal berkurang 0,122 persen. Ekspor Indonesia turun 0,251 persen, sedangkan impor turun 0,197 persen. Kondisi ini berdampak pada sektor padat karya seperti manufaktur ringan, tekstil, dan CPO, dan menurunkan tabungan domestik (-0,026 persen).

Penurunan ini juga menyebabkan turunnya penyerapan tenaga kerja (-0,064 persen) dan melemahnya terms of trade (-0,070 persen). Selain itu, kondisi tersebut menunjukkan gejala deflasi yang timbul akibat menurunnya daya beli masyarakat.

|Baca juga: Respons Putusan MK soal Pasal 251 KUHD, OJK Pantau Ketat Penyesuaian Polis Asuransi

|Baca juga: CUAP Bareng Prudential Meluncur, Tawarkan Penghasilan Tambahan bagi Gen Z hingga Ibu Rumah Tangga

“Kebijakan ini menciptakan ketergantungan dan guncangan eksternal yang tidak hanya berdampak pada perdagangan, tetapi juga makroekonomi dan kesejahteraan rumah tangga Indonesia,” jelasnya.

Selanjutnya, Rizal menyarankan formulasi kebijakan jangka pendek dan panjang untuk memitigasi dampak tersebut. Dalam jangka pendek, ia menyarankan pemberian insentif fiskal untuk sektor ekspor, bantuan sosial terarah, kompensasi fiskal ke daerah ekspor, stabilisasi nilai tukar dan harga impor strategis, serta pengalihan proyek infrastruktur ke proyek padat karya.

Dalam jangka panjang, strategi diarahkan pada diversifikasi pasar ekspor (FTA dengan India, Timur Tengah, Afrika, BRICS, dan ASEAN), hilirisasi produk ekspor, reformasi regulasi OSS-RBA, peningkatan keterampilan tenaga kerja melalui pelatihan vokasi, serta penguatan ketahanan fiskal lewat diversifikasi pembiayaan seperti Green Bond dan Sukuk.

|Baca juga: Riset DBS: Optimalisasi Modal, AI, dan ESG Jadi Prioritas Utama Bisnis di Indonesia

|Baca juga: Bye-bye Ketidakpastian! Polis Asuransi Bakal Dijamin LPS Mulai 2028

Diakhir sesi, ia menutup dengan peringatan membanjirnya produk konsumsi AS ke Indonesia dapat menurunkan harga barang dalam jangka pendek, tetapi akan melemahkan sektor produksi domestik dalam jangka panjang, terutama jika tidak diimbangi dengan peningkatan ekspor.

“Hal ini akan memperburuk posisi fiskal dan mengancam pertumbuhan berkelanjutan Indonesia,” pungkasnya.

Editor: Angga Bratadharma

| Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Related Posts
Prev Post Punya Peranan Inti di Industri Asuransi, Unit Aktuaria Siap Dibentuk di OJK dan Kemenkeu
Next Post PAI Prediksi Ada 1.000 Aktuaris Bersertifikasi ASAI hingga FSAI di RI

Member Login

or