Media Asuransi, JAKARTA – Warisan pemikiran Sumitro Djojohadikusumo kembali diangkat dalam wacana pembangunan nasional melalui Simposium Nasional bertajuk “Sumitronomics dan Arah Ekonomi Indonesia”.
Acara pada 3 Juni 2025 ini diselenggarakan oleh Ikatan Alumni Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia (ILUNI FEB UI), sebagai forum strategis untuk meninjau kembali relevansi pemikiran Sumitro dalam merespons tantangan pembangunan Indonesia saat ini.
Simposium dibuka dengan pidato kunci dari Dorodjatun Kuntjoro-Jakti, mantan Dekan Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia (sekarang FEB UI) tahun 1994-1997, Duta Besar RI untuk Amerika Serikat (1997-2001), Menko Perekonomian RI (2001-2004), serta Guru Besar FEB UI.
Dorodjatun yang merupakan asisten langsung Sumitro, mengulas bagaimana Sumitro menjadi salah satu ‘begawan’ yang membangun fondasi ekonomi nasional melalui perencanaan jangka panjang, penguatan birokrasi teknokratik, serta komitmen terhadap industrialisasi sebagai motor pencipta lapangan kerja.
|Baca juga: Bos LPS Sebut Sumitronomics Masih Relevan Dorong Pertumbuhan Ekonomi RI
Dalam keterangan resmi yang dikutip Kamis, 5 Juni 2025, disebutkan bahwa simposium ini terdiri dari dua sesi diskusi: sesi pertama bertajuk “Membedah Gagasan Sumitro: Negara sebagai Motor Pembangunan” menghadirkan empat intelektual terkemuka seperti Rektor Universitas Paramadina, Didik J. Rachbini, Pengajar FEB Universitas Gadjah Mada, Denni Puspa Purbasari, serta dua alumni FEB UI: Arianto Patunru dari Australian Nasional University dan Mantan Kepala LPEM FEB UI, serta Rizal Sidiq dari Leiden Universiteit, mantan pengajar dan peneliti FEB UI.
Keempatnya mengangkat pandangan Sumitro mengenai peran strategis pemerintah dalam membenahi serangkaian ketimpangan dan ketidakseimbangan yang bersifat struktural. Sesi ini dimoderatori oleh Rizki Nauli Siregar, Pengajar FEB UI dan Kepala Public Policy Unit ILUNI FEB UI
Didik Rachbini menyebutkan bahwa pemerintah yang kuat dapat bersanding dengan sektor swasta yang sehat. “Get the institutions right,” adalah kunci hubungan pemerintah dan swasta. Dia menekankan bagaimana kita dapat belajar dari Sumitro untuk disiplin menggunakan teori ekonomi yang matang dan kehati-hatian dalam merancang kebijakan, dengan memahami konteks sosial ekonomi.
|Baca juga: Indef: Harus Ada Upaya Ekstra untuk Akselerasi Pertumbuhan Ekonomi RI di 2026
Kemudian, Denni Puspa Purbasari merangkum pemikiran Sumitro dari buku-buku aslinya dan melihat Sumitro sebagai seorang visioner, yang mampu menceritakan Indonesia tahun 2000, di tahun 1975, atau 25 tahun sebelumnya.
Selanjutnya, Rizal Sidiq mengutip tulisan Sumitro tahun 1977, tentang empat syarat untuk pemerintahan yang efektif: pertama, adanya tanggung jawab sosial yang tinggi dari kelompok pimpinan politik. Kedua, tingkat pemahaman politik yang tinggi tentang berbagai masalah pembangunan, dilema, kepentingan strategis. Ketiga, ketersediaan tenaga teknis dan profesional yang memadai, guna mewujudkan tujuan melalui penyusunan dan pelaksanaan kebijakan yang efektif. Dan keempat, kerangka kekuasaan yang efektif guna mendorong partisipasi publik.
Terkait kebijakan perdagangan internasional, Patunru juga melihat relevansi dari deregulasi yang diusung oleh Presiden Prabowo Subianto dengan pemikiran Sumitro yang tidak setuju dengan restriksi perdagangan kuantitatif seperti kuota.
Dimoderatori oleh Komisaris Utama Allobank, Aviliani, sesi kedua bertema “Implementasi Sumitronomics untuk Mengejar Pertumbuhan dan Pemerataan Ekonomi” menampilkan tokoh-tokoh kabinet saat ini, Wakil Menteri BUMN, Kartika Wirjoatmodjo, Wakil Menteri Perumahan dan Kawasan Permukiman, Fahri Hamzah, dan Wakil Menteri Pendidikan Tinggi, Sains, dan Teknologi, Stella Christie. Sesi ini mendiskusikan bagaimana Sumitronomics dapat diterjemahkan menjadi kebijakan konkret yang mendorong pertumbuhan inklusif dan berkelanjutan.
Editor: S. Edi Santosa
| Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News