1
1

Memahami Gen Z di Dunia Kerja

Pembicara diskusi daring diadakan Universitas Paramadina. | Foto: Univ. Paramadina

Media Asuransi, JAKARTA – Banyak Gen Z yang kurang menghargai proses, membuat mereka cepat berpindah pekerjaan dan menuntut lingkungan kerja yang fleksibel. Di sisi lain, kesulitan ekonomi dan sulitnya akses perumahan menjadi masalah serius bagi Gen Z.

Hal itu disampaikan para pembicara dalam diskusi daring bertajuk “Gen Z & Work Ethic Problem” yang diadakan Universitas Paramadina Jakarta, Jumat, 25 Oktober 2024. Hadi dalam pembicara:  Director Corporate Affairs GoTo, termasuk Nila Marita, psikolog Tia Rahmania, Ketua Program Studi Manajemen Universitas Paramadina, Adrian Wijanarko, serta Coach Rene Suhardono.

Nila Marita memaparkan bahwa Gen Z sangat menghargai transparansi informasi, peluang untuk menunjukkan kemampuan, serta perlunya apresiasi melalui umpan balik. “GoTo menyediakan pelatihan khusus seperti engineering bootcamp dan associate product manager bootcamp untuk membantu Gen Z mengembangkan keterampilan mereka. Karyawan kami merasa lebih bermakna dan merasakan dampak langsung dari pekerjaan mereka,” ujarnya.

|Baca juga: 78% Milenial dan Gen Z Adopsi Fintech

Tia Rahmania menjelaskan bahwa Gen Z yang diprediksi akan mencakup 27 persen populasi tenaga kerja di tahun 2025, sering kali menghadapi tekanan tinggi akibat ekspektasi yang berorientasi pada hasil instan dan kebutuhan akan keseimbangan hidup.

“Banyak Gen Z yang mengalami stres karena terlalu fokus pada hasil akhir dan kurang menghargai proses. Ini kerap kali menjadikan mereka cepat berpindah pekerjaan dan menuntut lingkungan kerja yang tidak toxic serta fleksibel,” ungkap Tia.

Sementara itu, Adrian Wijanarko mengungkapkan bahwa kesulitan ekonomi dan sulitnya akses perumahan menjadi masalah serius bagi Gen Z. Terlebih dengan ketidakpastian ekonomi global saat ini. “Hasil riset kami menunjukkan bahwa 62 persen Gen-Z merasa perlu mendapatkan pengakuan atas harga dirinya dalam mencari pekerjaan, misalnya untuk soal gaji atau kompensasi,” katanya.

Lebih lanjut dia jelaskan bahwa Gen Z menginginkan pekerjaan yang shortterm maka shortwin atau kecepatan kompensasi setelah proyek berhasil dikerjakan. “Pola pengupahan juga harus disesuaikan, karena Gen Z juga ingin memilih sendiri benefit semisal tunjangan kendaraan, komunikasi dan lain sebagainya” tegas Adrian.

|Baca juga: Media Sosial adalah Kunci bagi Peritel untuk Menarik Konsumen Gen Z dan Gen Alpha

Sementara itu, Rene Suhardono menekankan bahwa Gen Z tak dapat dianggap sebagai generasi yang seragam atau monolitik. “Setiap individu memiliki keunikan tersendiri, dan generalisasi semacam ini hanya akan menciptakan jarak antar generasi,” jelasnya.

Dia menambahkan bahwa orang tua juga memegang peran penting dalam membantu Gen Z mengelola tekanan dari dunia digital yang serba cepat. “Jika ada yang perlu dievaluasi, mungkin adalah bagaimana orang tua memberikan pemahaman terkait penggunaan teknologi dan media sosial yang sehat,” tuturnya.

Mengutip Ryan Jenkins, Rene menambahkan bahwa keunikan Gen Z adalah bagian dari siklus generasi, seperti halnya keunikan setiap generasi sebelumnya. Namun, kita perlu melihat mereka sebagai pembawa harapan yang akan menciptakan perubahan positif di masa depan.

“Dengan memberikan kesempatan yang sesuai, Gen Z dapat menjadi agen perubahan yang kuat bagi lingkungan kerja dan masyarakat,” katanya.

Editor: S. Edi Santosa

| Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Related Posts
Prev Post Pantai Indah Kapuk Dua (PANI) Naikkan Target Prapenjualan 2024 Jadi Rp6 Triliun
Next Post Coalition Tunjuk 3 Pakar untuk Perkuat Tim Keamanan Siber di Australia

Member Login

or