Masih membahas tentang era disruptif, setelah di edisi beberapa bulan lalu dipaparkan beberapa buku dengan seri yang sama karya Rhenald Kasali yang kini dikenal sebagai ‘Bapak Distruptif Indonesia’ karena banyaknya melakukan riset dalam “Series of Distruptif”. Dalam sejarah perubahan, belum pernah terjadi gelombang besar disruptif seperti yang terjadi saat ini. Saat teknologi berubah begitu dahsyat, dapat disaksikan raksasa-raksasa usaha yang selama puluhan tahun menguasai pelbagai bidang industri, kini mulai goyah.
Setiap kali ada temuan baru yang meluas dan viral, selalu ada saja yang gagal paham. Misalnya saat muncul ridesharing dengan ojek online atau taksi online, ada sebagian regulator yang sempat menghadang dan melarang. Namun pada akhirnya mereka sendiri juga ikut menikmatinya setelah terjadi perang mobilisasi. Mobilisasi ini pun tidak berdiri sendiri, berdampak luas dan menjadi indikator hadirnya praktik-praktik baru dalam kehidupan yang digerakkan oleh sosok orang hingga menjadi sebuah orkestra yang seirama dan harmonis. Artinya, di satu sisi ada mobilisasi dan di sisi lain ada orkestrasi.
Sebuah buku yang judulnya berupa simbol berbentuk tagar, yaitu #MO yang menggambarkan sebuah dunia baru dan membuat orang gagal paham. Penulis buku ini sengaja menampilkan judul seperti itu dengan makna besar yang terkadung di dalamnya. Bagi penulis, tagar (#) merupakan simbol yang banyak digunakan di media sosial untuk mempermudah pencarian yang berakibat suatu pesan menjadi tersebar luas. Jadi #MO merupakan pendekatan baru dalam industri berbasis revolusi industri 4.0 dengan enam pilar, yaitu internet of things, cloud computing, big data analytics, artificial intelligence, super apps, dan broadband infrastructure. Dengan poin-poin inilah manusia saling melakukan mobilisasi dan orkestrasi.
Dalam buku ini dijelaskan bahwa dalam era hyperconnected, tidak diperlukan kehebatan luar biasa. Cukup keterampilan mobilisasi. Sedangkan untuk orkestrasi dibutuhkan leadership dengan cara-cara terbaru. Tagar-tagar yang belakangan ini marak menjadi obyek komunikasi di media sosial membuat banyak orang gagal paham, yang dianggap sebagai mainan kawula muda saja. Padahal, melalui tagar-tagar tersebut tersirat niat-niat mobilisasi.
Dengan hadirnya buku ini, penulis berharap dapat membuka mata pembaca, bahwa kini kekuatan-kekuatan dunia lama tengah berhadapan dan berbenturan dengan kekuatan dunia baru dengan segala plus-minusnya. Penulis mengajak untuk mempelajari dan menguasai mobilisasi dan orkestrasi yang menjadi ruh dari new power yang akan menopang, agar tetap kokoh berdiri di tengah derasnya arus disrupsi. B. Firman
| Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News