Salah satu keputusan Rapat Dewan Gubernur Bank Indonesia (BI) 20-21 Maret 2019 adalah memperkuat kebijakan makroprudensial yang akomodatif, dengan menaikkan kisaran batasan Rasio Intermediasi Makroprudensial (RIM) dari 80-92 persen menjadi 84-94 persen, untuk mendukung pembiayaan perbankan bagi dunia usaha. Menurut Deputi Direktur Departemen Kebijakan Makroprudensial BI Ita Rulina, kebijakan ini akan mulai berlaku pada tanggal 1 Juli 2019. “Dengan pelonggaran kebijakan makroprudensial ini, BI ingin memastikan rentang pertumbuhan kredit tahun 10-12 persen, dengan bias ke atas yakni 12 persen,” kata Ita dalam Acara Pelatihan Wartawan Ekonomi & Moneter yang diadakan BI di Yogyakarta, 23 Maret 2019.
Acara pelatihan yang diikuti sekitar 70 wartawan dari Jakarta dan Yogyakarta ini, dibuka oleh Direktur Eksekutif Departemen Komunikasi BI Onny Widjanarko. Diskusi untuk pendalaman materi dibagi dalam dua sesi. Pada sesi pertama, selain Ita Rulina, hadir dua pembicara lainnya yakni Chief Economist PT Bank Negara Indonesia Tbk (BNI) Ryan Kiryanto dan Deputi Direktur Departemen Kebijakan Ekonomi dan Moneter BI IGP Wira Kusuma. Sedangkan di sesi kedua hanya ada dua pembicara yakni Direktur Eksekutif Departemen Pengelolaan Moneter BI Nanang Hendarsah dan Direktur Departemen Pendalaman Pasar Keuangan BI Yoga Affandi.
Menurut Ita Rulina, peningkatan RIM ini sebagai sinyal BI memberi kelonggaran bagi perbankan untuk menyalurkan kredit, sehingga dapat menggerakkan perekonomian dalam negeri. Saat ini kondisi likuiditas perbankan cukup memadai, tercermin dari rasio alat likuiditas per dana pihak ketiga (AL/DPK) sebesar 20,25 persen pada Januari 2019. Lebih tinggi dibanding per Desember 2018 sebesar 19,31 persen. Namun, rasio kredit terhadap produk domestik bruto (credit to GDP gap) Indonesia masih cukup rendah, tahun lalu rasionya berada di kisaran lima persen.
Untuk menjaga momentum pertumbuhan ekonomi, BI fokus mendorong permintaan domestik sebagai sumber pertumbuhan ekonomi, BI mengeluarkan sejumlah kebijakan. Wira Kusuma menyampaikan bahwa memasuki tahun 2019 ini terjadi perubahan dinamika, yakni perekonomian dunia mengalami perlambatan. Di sisi lan, ketidakpastian pasar keuangan global menjadi berkurang, sebab kebijakan suku bunga acuan Fed Fund Rate (FFR) oleh bank sentral Amerika Serikat (Federal Reserve) cenderung lebih dovish atau tidak agresif. “Dengan kondisi eksternal yang sedemikian rupa, penting sekali menjaga momentum pertumbuhan, khususnya permintaan domestik sebagai sumber pertumbuhan ekonomi kita,” katanya.
Risiko esternal menurut Wira juga perlu diwaspadai karena perekonomian global belum terlalu kondusif, sehingga dapat berdampak pada perekonomian domestik. Perlambatan ekonomi global diprediksi akan membuat bank-bank di negara maju menerapkan kebijakan yang lebih dovish atau longgar terkait penerapan suku bunga acuannya. Sebagai contoh, bank sentral AS The Fed dan bank sentral Eropa ECB, diperkirakan menahan suku bunga acuannya dan tidak seagresif tahun lalu.
Menurut Ryan Kiryanto, secara keseluruhan pertumbuhan ekonomi Indonesia diprediksi bisa menembus 5,2 persen. Akan ada tambahan stimulus pertumbuhan ekonomi dari kegiatan yang terkait dengan Pemilu tahun ini. “Kontribusi Pemilu terhadap perekonomian Indonesia ini sudah terbukti pada 2009 dan 2014. Dari pengalaman 2009 dan 2014 lalu, Pemilu telah menyumbang PDB sekitar 0,2-0,3 persen untuk pertumbuhan ekonomi yang berasal dari political spending seperti buat kaos dan spanduk,” ujarnya.
Lebih lanjut dijelaskan, kalau baseline pertumbuhan ekonomi Indonesia sekarang itu lima persen, jika ditambah kegiatan politik maka bisa dapat 5,2 persen. Meskipun demikian, Ryan mengingatkan bahwa pemerintah perlu memperhatikan berbagai aspek dalam mengejar pertumbuhan ekonomi. Salah satunya dengan menggenjot pertumbuhan sektor domestik. “Populasi besar penduduk Indonesia itu sangat potensial digarap oleh produsen domestik. Pemerintah harus menjaga agar konsumsi domestik tidak jatuh,” ujarnya. S Edi Santosa
| Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News