Dua gempa bumi berkekuatan besar terjadi dalam rentang waktu dua bulan. Kali ini gempa mengguncang Sulawesi Tengah, pada akhir September 2018. Menyusul kejadian serupa di Lombok pada akhir Juli 2018. Sebutan Indonesia berada di kawasan ‘ring of fire’ kembali mendapat penegasan dari kejadian yang menelan korban jiwa dan harta benda ini.
Badan Meteorologi dan Geofisika (BMKG) melaporkan, pada hari Jumat, 28 September 2018 pukul 17:02:44 WIB, telah terjadi gempa bumi tektonik dengan skala magnitudo 7,4 Mw pada kedalaman 11 kilometer (7,5 Mw pada kedalaman 10 km menurut USGS). Lokasi episenter gempa bumi tersebut berada pada bibir pantai berjarak lebih kurang 26 kilometer sebelah utara Kota Donggala, Sulawesi Tengah. Berdasarkan mekanisme fokus, sumber gempa bumi disebabkan oleh aktivitas patahan sesar mendatar yang dikenal sebagai Sesar Palu-Koro.
Hingga artikel ini ditulis, berdasarkan data yang dihimpun Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) jumlah korban meninggal dunia akibat gempa dan tsunami di Sulawesi Tengah telah mencapai 1.234 orang. Selain itu, sebanyak 799 orang mengalami luka berat. “Korban meninggal dunia disebabkan gempa terutama karena tertimpa reruntuhan bangunan dan tersapu tsunami,” kata Kepala Pusat Data Informasi dan Humas BNPB Sutopo Purwo Nugroho saat memberikan keterangan. Ditambahkan, korban meninggal berasal dari Palu, Donggala, Parigi Moutong, dan Sigi.
Direktur Utama PT Reasuransi MAIPARK Indonesia Ahmad Fauzie Darwis mengatakan bahwa Kota Palu dan Kabupaten Donggala menjadi kota dan kabupaten yang paling terdampak atas gempa bumi ini, selain kabupaten lain di Sulawesi Tengah dan sekitarnya. “Magnitude gempa di Palu dan Donggala ini lebih besar dibandingkan dengan di Lombok. Masih ditambah dengan tsunami di Palu. Dengan demikian potential loss-nya lebih besar dari Lombok,” katanya saat ditemui Media Asuransi di kantornya, di kawasan Kuningan, Jakarta.
Direktur Teknik PT Reasuransi MAIPARK Indonesia Heddy Agus Pritasa yang mendampingi Fauzie, menambahkan bahwa dari sisi besarnya magnitude, gempa di Palu lebih besar dari gempa di Lombok. Namun dari segi kerugian, mungkin Lombok lebih besar. “Karena di Lombok lebih banyak sentra bisnis seperti sektor pariwisata, banyak hotel internasional atau resort yang diasuransikan. Memang perlu dikonfirmasi lagi besarnya kerugian, karena data dari Palu belum masuk,” jelasnya.
Ahmad Fauzie juga menjelaskan, berdasarkan zona asuransi gempa bumi Indonesia terbaru yang diberlakukan sejak Januari tahun 2017, Kabupaten Donggala masuk ke zona IV (empat) dan Kota Palu masuk ke zona V (lima). Ini merupakan zona tertinggi yang diterapkan tarif asuransi tertinggi, sesuai Surat Edaran OJK No. 6/SEOJK.05/2017. “Berdasarkan database di MAIPARK, nilai harta benda yang diasuransikan (eksposur) di Kota Palu, Kabupaten Donggala, dan Kabupaten Sigi berjumlah Rp2,29 triliun dengan jumlah risiko sebanyak 753 unit bangunan atau kelompok bangunan,” jelasnya dalam keterangan resminya.
Dijelaskan, MAIPARK sedang melakukan pemodelan detail per risiko untuk mendapatkan estimasi kerugian asuransi dari kejadian gempa dan tsunami di Palu dengan menggunakan software pemodelan MAIPARK Catastrophe Model (MCM). Permodelan ini akan meliputi estimasi kerugian karena risiko getaran gempabumi dan gelombang tsunami. “Estimasi kerugian tersebut akan segera diinformasikan kepada perusahaan asuransi umum dalam waktu dekat,” tutur Ahmad Fauzie. Saat ini Maipark masih menunggu laporan dari ceding company mengenai klaim yang masuk.
Sementara itu Direktur Eksekutif Asosiasi Asuransi Umum Indonesia (AAUI) Dody AS Dalimunthe menyatakan, pihaknya masih menunggu laporan klaim dari semua perusahaan asuransi umum. Menurut dia, perusahaan asuransi umum yang menerbitkan polis asuransi dan menjamin risiko atas kejadian gempa bumi di wilayah terdampak Kota Palu, Kabupaten Donggala dan wilayah lain di Provinsi Sulawesi Tengah dan sekitarnya, akan segera melakukan langkah-langkah proses penanganan klaim sesuai dengan liability penanggung sesuai etika penangan klaim.
Dody menegaskan, AAUI mendorong anggota AAUI untuk menginventarisasi dampak gempa bumi berupa kerugian per lini bisnis asuransi. Dia menyadari, dengan kondisi lapangan yang masih kurang kondusif, dibutuhkan waktu untuk memproses dan menghitung potensi klaim. “Untuk memudahkan koordinasi penanganan klaim, perusahaan asuransi umum juga diharapkan segera melakukan proses penanganan klaim secara profesional dan jika perlu menyediakan call center dan posko penanganan klaim serta melakukan jemput bola agar meringankan beban masyarakat yang tertimpa musibah,” tuturnya dalam rilis yang diterima redaksi. S. Edi Santosa
| Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News