1
1

Kurs Rupiah Cukup Kuat Dibanding Emerging Market Lain

    Bank Indonesia (BI) memprediksi pertumbuhan ekonomi 2019 tidak lebih dari 5,2 persen atau berada di titik tengah dari yang ditargetkan 5,1-5,4 persen. “Dengan adanya situasi dan kondisi global ini, pertumbuhan ekonomi Indonesia turut terpengaruh pertumbuhan ekonomi global yang kurang menguntungkan. Pertumbuhan ekonomi kita tidak lebih dari 5,2 persen. Atau berada di titik tengah dari yang ditargetkan 5,1-5,4 persen. Walaupun bagus, tapi nggak kuat,” kata Direktur Eksekutif Departemen Komunikasi BI Onny Widjanarko, dalam pelatihan wartawan ekonomi yang diadakan BI di Bali, 27 September 2019.

   Dia tambahkan, dengan pertumbuhan ekonomi Indonesia 5,2 persen bukan berarti perekonomian di negeri ini tidak kuat. Namun pendorongnya yang belum kuat seperti sektor investasi yang menurun dan sektor konsumsi masih rendah. “Pertumbuhan ekonomi kita lima persen, karena pendorongnya belum kuat, seperti konsumsi masih di lima persen dan investasi menurun. Faktor-faktor yang mendorong pertumbuhan ekonomi itu tidak kuat,” tegasnya.

  Onny menambahkan, kondisi perekonomian global saat ini kurang kondusif. Bahkan, pertumbuhan ekonomi dunia diprediksi turun lebih dalam dan melambat. BI juga menilai bahwa nilai tukar rupiah masih mampu menghadapi situasi yang kurang kondusif tersebut dan masih tetap menguat sepanjang tahun 2019, meski saat ini masih berfluktuasi terhadap dollar AS. “Rupiah menguat walaupun naik turun. Kenapa? Karena kurs rupiah cukup kuat dibanding dengan negara-negara emerging market lainnya,” katanya.

   Data Bank Indonesia menunjukkan bahwa, rupiah menguat sebesar 0,9 persen point to point (ptp) dan 1,0 persen secara rerata pada September 2019 dibanding Agustus 2019. “Kita masih cukup kuat di periode September dibanding Agustus. Nilai tukar rupiah waktu tahun 2018 terpuruk sampai Rp15.000. Saat ini masih cukup baik dan tetap kuat,” kata Onny.

  Penguatan itu ditopang beberapa hal, seperti lancarnya aliran modal asing yang masuk ke Indonesia. Aliran ini sejalan dengan prospek perekonomian nasional yang baik dan daya tarik investasi aset keuangan domestik yang tinggi. “Dengan perkembangan tersebut, sejak awal tahun hingga tanggal 18 September kemarin, rupiah sudah menguat 2,3 persen year to date (ytd),” jelas Direktur Eksekutif Departemen Komunikasi BI ini.

   Dalam kesempatan yang sama, Chief Economist PT Bank Mandiri Tbk (Mandiri) Andry Asmoro mengatakan bahwa perlambatan ekonomi terjadi hampir semua negara di dunia. Perlambatan pertumbuhan ekonomi dunia melemah akibat imbas terjadinya perang dagang antara Amerika Serikat dan Tiongkok.

    Andry Asmoro juga menegaskan bahwa ekonomi dunia tidak mengalami krisis. Alasannya saat ini pertumbuhan ekonomi dunia masih tumbuh positif namun pertumbuhannya hanya melambat. Sedangkan pengertian krisis yakni bila pertumbuhan ekonomi dalam dua kuartal berturut turut mengalami negatif. “Sekarang ‘kan pertumbuhan ekonomi masih positif dan hanya melambat. Hampir semua negara mengalami perlambatan pertumbuhan ekonomi akibat terkena dampak dari perang dagang Amerika Serikat dengan Tiongkok, “ katanya.

 Namun untuk Indonesia, menurutnya masih sangat jauh dari krisis ekonomi. Pasalnya pertumbuhan ekonomi Indonesia masih sangat bagus sekitar lima persen, walaupun pencapaiannya belum sesuai harapan. Dijelaskan bahwa pertumbuhan ekonomi Indonesia masih berada pada level lima persen, Malaysia 5,2 persen, Thailand 3,2 persen, Indonesia tujuh persen, dan Turki 4,9 persen, sedangkan rata-rata pertumbuhan ekonomi global sekitar 1,7 persen. “Pertumbuhan ekonomi Indonesia bagus dan investasi tetap masuk ke Indonesia,” tegas Andry.

   Onny Widjanarko menambahkan dengan pertumbuhan ekonomi dunia yang menurun dan juga volume perdagangan dunia yang menyusut, aliran modal asing diperkirakan akan masuk ke emerging market dengan volatilitas yang meningkat. “Masuknya ke negara mana? Itu tergantung dari kebijakan moneter, fiskal dan perekonomian masing-masing negara,” katanya.

   Bank Indonesia merespons hal itu dengan menurunkan suku bunga kebijakan. Dalam Rapat Dewan Gubernur (RDG) Bank Indonesia yang digelar 18-19 September 2019 lalu, telah diputuskan untuk menurunkan BI 7-day Reverse Repo Rate (BI7DRR) atau suku bunga acuan sebesar 25 bps menjadi 5,25. Tidak hanya BI, setidaknya 12 besar bank sentral di dunia juga melakukan langkah yang sama. S. Edi Santosa

| Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Related Posts
Prev Post Menerapkan Mobilisasi dan Orkestrasi di Era Disruptif
Next Post Sinergi CIMB Niaga Syariah-Badan Penyelenggara Jaminan Produk Halal

Member Login

or