Otoritas Jasa Keuangan (OJK) mengingatkan perusahaan asuransi yang memiliki Unit Usaha Syariah (UUS) untuk segera mempersiapkan pemisahan UUS (spin off). Deputi Komisioner Pengawas Industri Keuangan Non-Bank (IKNB) II OJK Moch Ichsanuddin mengingatkan bahwa keharusan spin off ini diatur dalam Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2014 tentang Perasuransian. Spin off ini paling lambat dilakukan 10 tahun setelah berlakunya UU tersebut, yakni 17 Oktober 2024 mendatang.
Kemudian berdasar Peraturan OJK Nomor 67/POJK.05/2016, perusahaan asuransi wajib menyampaikan rencana kerja spin off ke OJK, paling lambat tanggal 17 Oktober 2020. “Pada 17 Oktober 2020, sudah harus ada tahapan dan rencana kerja yang disampaikan kepada OJK, agar sudah jelas kapan rencana mereka. Karena dari 2020-2024, akan lebih fokus untuk penyelesaian spin off itu sendiri,” kata Ichsanuddin dalam diskusi dengan wartawan di Jakarta, 16 Mei 2019.
Dalam kesempatan yang sama, Direktur IKNB Syariah OJK Moch Muchlasin mengatakan bahwa hingga saat ini baru ada empat perusahaan asuransi syariah full fledged hasil dari spin off UUS. Keempat perusahaan asuransi full fledged hasil spin off tersebut adalah Jasindo Syariah dan Askrida Syariah (asuransi umum syariah), AJS Bumiputera (asuransi jiwa syariah), dan Reindo Syariah (reasuransi syariah).
Ditambahkan bahwa saat ini masih ada 48 UUS yang belum spin off, yakni 22 UUS asuransi jiwa, 24 UUS asuransi umum, dan dua UUS reasuransi. “Dari jumlah tersebut, sebanyak 10 asuransi telah menyampaikan menyampaikan rencana bisnis spin off. Ada dua asuransi jiwa dan delapan asuransi umum,” katanya.
Ichsanudin menuturkan bahwa isu yang paling banyak diperbincangkan di kalangan industri termasuk asosiasi, adalah perusahaan joint venture yang UUS-nya sudah besar. “Di lapangan kita temukan, beberapa asuransi jiwa joint venture ekuitas UUS-nya sangat besar. Bahkan mencapai Rp2 triliun. Nah, jika akan di-spin off, salah satu kendala paling berat yang dialami mereka adalah mencari investor lokal sebagai mitra pemegang saham saat UUS ini di-spin off,” tuturnya.
Hal ini disebabkan ada aturan dalam PP Nomor 14 tahun 2018 bahwa investor asing maksimal memiliki saham perusahaan asuransi sebesar 80 persen, sedangkan yang 20 persen harus dimiliki investor lokal. “Sebagai contoh, asuransi jiwa UUS terbesar saat ini memiliki ekuitas sekitar Rp2 triliun. Jika di-spin off lima tahun lagi, ekuitasnya lebih besar lagi,” jelasnya. Sehingga calon investor dalam negeri yang akan menjadi pemegang saham perusahaan asuransi syariah hasil spin off ini, harus memiliki uang dalam jumlah besar.
Ditambahkan Ichsanuddin, uang yang harus dikeluarkan investor dalam negeri untuk mengakuisisi 20 persen saham perusahaan asuransi syariah hasil spin off UUS, dapat lebih besar lagi jika nilai penjualan saham sampai di atas nilai buku (PBV/price to book value), misalnya dua kali nilai buku atau empat kali nilai buku. Sehingga uang yang diperlukan untuk membeli 20 persen saham ini, besar sekali.
Kalaupun ada yang punya dana besar, lanjut Ichsanuddin, belum tentu yang bersangkutan bersedia berbisnis di asuransi syariah. “Ini juga pekerjaan rumah bagi regulator untuk mencari jalan keluarnya. Harus ada sosialisasi kepada investor, agar 2024 ada banyak spin off UUS ini,” katanya.
Selain persoalan investor lokal, masih ada beberapa persyaratan yang harus dipenuhi saat akan melakukan spin off UUS. Salah satunya harus memenuhi syarat batas modal minimal yang disetor yakni sebesar Rp75 miliar. Dana itu berasal dari modal awal Rp50 miliar serta dana tambahan Rp25 miliar untuk cadangan dan existing.
Ichsanuddin menambahkan, saat ini OJK terus melakukan sosialisasi perlunya mempersiapkan mekanisme spin off. Pelaku industri akan dibekali dalam melakukan penguatan kapasitas perusahaan dalam mempersiapkan spin off ini. Sektor yang perlu dibenahi baik dari sisi sumber daya manusia (SDM) maupun infrastruktur yang mendukung bisnis syariah. S. Edi Santosa
| Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News